Langkah ini dinilai sebagai kemajuan dalam penegakan hukum kejahatan pembakaran hutan, mengingat sebelumnya pencabutan/pembekuan izin baru bisa dilakukan setelah ada putusan pengadilan. Di tengah ketidakberdayaan kita melawan kebakaran hutan dan asap, langkah ini diharapkan bisa menambah efek jera pelaku.
Kita tak bisa berharap pada pendekatanbusiness as usual untuk memutus siklus bencana kebakaran hutan dan asap yang berlangsung secara sistematis selama ini. Perlu langkah luar biasa untuk mengatasi krisis lingkungan, yang tidak hanya sudah mengakibatkan bencana masif lingkungan, sosial, dan ekonomi, tetapi juga mengancam kelangsungan serta kesinambungan lingkungan dan manusia itu sendiri.
Banyak pertanyaan bisa kita lontarkan. Benarkah kebakaran tak bisa dicegah/dikendalikan, padahal faktor pemicu sudah bisa diidentifikasi/dipetakan? Tindakan mitigasi apa yang sudah dilakukan? Mengapa bencana serupa tak terjadi di Malaysia yang juga punya lahan sawit luas?
Kita sering berbusa-busa bicara kualitas pertumbuhan, pertumbuhan hijau, ekonomi hijau, atau kesinambungan pertumbuhan; sementara yang terjadi di depan mata ekstrem kebalikannya. Krisis asap sekarang ini tak terlepas dari keserakahan manusia yang berpikir jangka pendek. Ironisnya, negara ikut andil di hulu persoalan, melalui paradigma kebijakan pembangunan di mana kesadaran aspek lingkungan dan keberlanjutan bukan faktor terpenting.
Pada era Orde Baru, kebutuhan menggenjot pertumbuhan dan mengatasi kemiskinan dengan cepat membuat eksploitasi eksesif hutan dan pertambangan menjadi tumpuan penting strategi pembangunan. Kesadaran lingkungan baru belakangan muncul, tetapi tidak hadir dalam praktiknya.
Ini kian menjadi-jadi setelah adanya ambisi pemerintah menjadikan Indonesia sebagai produsen nomor satu sawit dunia. Sawit merambah hutan produksi, hutan lindung, dan kawasan konversi. Ambisi pemerintah bertemu nafsu serakah korporasi yang menghalalkan segala cara, termasuk membakar lahan. Ini dibiarkan berlangsung puluhan tahun tanpa sanksi memadai. Akibatnya, kita jadi bangsa bodoh, tak belajar dari sejarah, menerima bencana sebagai rutinitas.
Praktik bunuh diri lingkungan terus berlangsung dengan peran aktif pemerintah, termasuk lewat berbagai perda yang mengobral perizinan kehutanan serta amburadulnya tata kelola dan tata ruang. Korporasi terus leluasa menjarah SDA dan merusak lingkungan. Ketergantungan laten pada industri ekstraktif membuat kepentingan menyeimbangkan pertumbuhan dan sustainabilitas lingkungan tersisihkan.
Pemerintah sering kali tak berdaya. Tindakan hukum jarang menyentuh hingga otak atau pemilik konsesi. Jokowi berkesempatan membuat perubahan, salah satunya lewat reformasi kebijakan dari hulu hingga hilir, bukan dengan justru ikut larut dalam paradigma eksploitatif lingkungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar