Hingga kemarin, sejak pecah kekerasan dan kerusuhan di Jerusalem, antara rakyat Palestina dan pihak keamanan Israel, tercatat sudah puluhan orang Palestina tewas, dan ratusan lain terluka, baik di Tepi Barat, Jerusalem, maupun Jalur Gaza. Beberapa orang Israel tewas.
Kerusuhan terjadi sebagai reaksi penyerangan Israel terhadap Masjid Al-Aqsa dan penutupan jalan ke arah Masjid Al-Aqsa oleh aparat keamanan Israel. Dari waktu ke waktu, sejak September lalu, situasi dan kondisi dari Kota Tua, Jerusalem Timur, hingga kompleks Masjid Al-Aqsa semakin memburuk, yang oleh Dubes Palestina untuk PBB Riyad Mansour disebut sebagai "berdaya ledak tinggi".
Sangat masuk akal kalau Palestina menyerukan agar PBB mengirimkan pasukan untuk meredam kekerasan. Dan, sudah semestinya PBB segera bertindak untuk mencegah agar kerusuhan dan kekerasan tidak berlanjut dan menjadi semakin besar tak terkontrol.
Situasi seperti itulah yang memunculkan kekhawatiran akan pecahnya Intifadah Ketiga, perlawanan rakyat Palestina terhadap pasukan pendudukan Israel. Intifadah Pertama pecah pada 1987 dan berakhir pada 1993 dengan ditandatanganinya Persetujuan Oslo dan pembentukan Otoritas Nasional Palestina. Namun, Perjanjian itu sekarang ini sudah tidak dihormati lagi.
Intifadah Kedua yang juga disebut sebagai Intifadah Al-Aqsa adalah konflik berdarah Israel-Palestina yang dimulai pada 29 September 2000. Perlawanan itu terjadi setelah Perdana Menteri Israel Ariel Sharon dan rombongan sekitar 1.000 orang bersenjata memasuki lingkungan Masjid Al-Aqsa. Intifadah ini berakhir pada 8 Februari 2005 setelah kedua pihak setuju berdamai. Kedua Intifadah itu merenggut begitu banyak korban jiwa, yakni sekitar 5.000 orang Palestina dan 1.400 orang Israel.
Kalau Intifadah Ketiga akhirnya pecah, ini kemunduran besar dalam mengusahakan perdamaian. Kemungkinan pecahnya Intifadah Ketiga tidak tertutup karena, antara lain, ada kelompok di Palestina yang lebih menyukai jalan kekerasan; demikian pula ada kelompok di Israel yang memancing terjadinya kekerasan.
Mengapa semua itu terjadi? Salah satu sebabnya adalah tiadanya inisiatif politik dari kedua belah pihak untuk mengusahakan perdamaian. Proses perdamaian Israel-Palestina sekarang ini dapat dikatakan mati. Baik Israel maupun Palestina tidak berinisiatif melanjutkan perundingan. Semua dibiarkan status quo. Kondisi seperti itu, terutama di kalangan Palestina, menimbulkan frustrasi. Karena itu, sangat perlu PBB dan negara-negara besar yang mendukung perdamaian mengajak Israel dan Palestina kembali ke meja perundingan.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "Mencegah Intifadah Ketiga Terjadi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar