Hampir tiap tahun selalu terjadi ketegangan antara pekerja/serikat pekerja dan pengusaha/asosiasi pengusaha. Pekerja meminta kenaikan upah, sementara pengusaha berusaha menekan upah pekerja. Akibatnya, dalam rapat tripartit (pekerja, pengusaha, dan pemerintah), selalu terjadi ketegangan yang kadang menguras energi.
Terjadinya ketegangan sebenarnya wajar karena memang ada dua kelompok yang punya kepentingan bertolak belakang. Kelompok pekerja ingin terus meningkatkan kesejahteraannya yang memang masih banyak di bawah kebutuhan hidup layak (KHL). Pemenuhan KHL, seperti penyediaan rumah susun, sebenarnya bisa dilakukan pemerintah.
Sementara di sisi lain, pengusaha berupaya menekan upah demi keberlangsungan perusahaan ataupun demi penumpukan laba itu sendiri. Masalah menjadi kian kompleks ketika penentuan upah minimum provinsi (UMP) dilakukan menjelang pemilihan kepala daerah. Potensi suara pekerja menjadi pertimbangan utama untuk menentukan besarnya kenaikan UMP yang membawa dampak kepada perusahaan.
Mengambil momentum pelambatan ekonomi dan ancaman pemutusan hubungan kerja, Presiden Joko Widodo menata ulang penentuan UMP. Dalam paket deregulasi kebijakan sektor ketenagakerjaan, Presiden Joko Widodo membuat formula baru dalam penentuan UMP. Dalam formula baru bisa dipastikan gaji pekerja akan naik tiap tahun yang besarnya ditentukan oleh inflasi dan produk domestik bruto. Akan tetapi, di sisi lain, pengusaha pun sudah bisa melakukan kalkulasi usaha.
Langkah terobosan ini patut diapresiasi. Paling tidak, penentuan UMP bisa dikalkulasikan oleh pekerja ataupun oleh pengusaha. Kelompok pengusaha menyambut baik formula baru penetapan UMP. Meski demikian, kelompok pekerja masih mempersoalkan penetapan UMP yang tidak berpihak kepada pekerja. Adanya perbedaan pandangan itu wajar karena memang ada perbedaan di sana. Dalam sebuah kebijakan tetap terbuka ruang untuk evaluasi.
Masalahnya adalah bagaimana pemerintah memfasilitasi dialog pekerja dan pengusaha sehingga tercapai kesepahaman. Pekerja adalah mitra pengusaha. Meningkatnya kesejahteraan pekerja harus juga bermuara pada meningkatnya produktivitas pekerja. Dialog yang tulus dan jujur itulah yang diperlukan karena tidak mungkin ada perusahaan tanpa pekerja dan tak mungkin juga ada pekerja tanpa perusahaan, kecuali menjadi wiraswasta.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "Formula Baru Upah Pekerja".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar