Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 26 Oktober 2015

TAJUK RENCANA: Politisasi Kasus Hukum (Kompas)

Mencuatnya berita mantan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sebagai tersangka menunjukkan semrawutnya sistem penegakan hukum pidana Indonesia.

Berita bahwa Risma menjadi tersangka mencuat pertama kali dari Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Romy Arizyanto yang dikutip media daring (online). Romy mendasarkan informasi status tersangka itu pada surat perintah dimulainya penyidikan dari Kepolisian Daerah Jatim. Risma disangka melanggar Pasal 402 KUHP dalam kasus pembangunan Pasar Turi.

Belum lama isu itu beredar, pihak Polda Jatim melalui Kapolda Jatim Inspektur Jenderal Anton Setiadi membantah bahwa Polda Jatim telah menetapkan Risma sebagai tersangka. Bukan hanya Kapolda Jatim, Kapolri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti pun membantah adanya penetapan status tersangka untuk Risma. Bahkan, Badrodin menegaskan, penyidikan perkara pembangunan Pasar Turi sudah dihentikan karena tidak cukup bukti.

Akan tetapi, Jaksa Agung HM Prasetyo, seperti dikutip media daring, justru mempertanyakan ketidaktahuan Kapolda soal surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP). "Tapi, kalau Kapolda menyatakan tidak, ya, aneh itu," ujar Prasetyo sebagaimana dikutip media daring. SPDP Nomor B/415/V/15/Reskrinum yang dikirim Polda Jatim menetapkan Risma sebagai tersangka pada 28 Mei 2015. SPDP diterima kejaksaan pada 30 September 2015.

Penilaian bahwa mencuatnya status Risma sebagai tersangka bermuatan politik atau memanfaatkan hukum untuk kepentingan politik masuk akal. Hal itu pulalah yang memancing Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo berkomentar di harian ini, "Sebaiknya orang-orang yang membuat kegaduhan dicopot dari jabatannya." Pernyataan Tjahjo kian mengukuhkan, ada motif politik di balik itu semua. Risma merupakan calon wali kota Surabaya dalam pilkada 9 Desember. Sejak awal, perjalanan politik wali kota dengan sejumlah penghargaan itu dicoba diganjal dengan berbagai manuver.

Apa yang terjadi dalam kasus Risma menunjukkan, sistem hukum pidana masih rentan terhadap berbagai upaya politisasi. Menjadi pertanyaan, apa motivasi Kejaksaan Tinggi merilis informasi bahwa Risma ditetapkan sebagai tersangka menjelang pilkada. Apalagi, menurut Kapolri, penyidikan kasus Risma sudah dihentikan. Kapolri sebaiknya membuka kepada publik surat perintah pemberhentian penyidikan (SP3) dan kapan SP3 diterbitkan dalam kasus Risma sehingga masalahnya menjadi jelas.

Kita berharap situasi menjelang pilkada 9 Desember tidak diganggu berbagai manuver politik yang tidak perlu, apalagi memanfaatkan hukum untuk kepentingan politik menjatuhkan atau menaikkan lawan.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "Politisasi Kasus Hukum".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger