Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 28 November 2015

Belenggu Teori Raskolnikov (KURNIA JR)

Tanpa sadar kita hidup dalam kerangka teori buatan Raskolnikov, karakter cerdas, tetapi miskin, dalam novel Dostoyevsky, Crime and Punishment.

Mahasiswa yang kehabisan duit itu menyusun teori moral yang anti moral, sejenis exploitation de l'homme par l'homme.

Dalam teorinya, manusia terbagi dua, manusia biasa dan genius. Manusia biasa senang dikuasai, ditertibkan. Mereka ada untuk meneruskan keturunan. Yang menguasai mereka ialah para genius, manusia yang membuat perubahan di dunia.

Untuk membuat dunia baru, para genius bisa membunuh. Demi rakyat, mereka bisa melanggar peraturan. Untuk manusia biasa, para genius membuat peraturan dan hukuman. Singkatnya, para genius di atas hukum.

Jika Anda menolak realitas dominasi teori ini, bagaimana sikap Anda ketika menonton KPK kewalahan menjerat pejabat-pejabat korup dari lembaga-lembaga tertentu yang dengan hebat melawan balik? Bagaimana jika akhirnya justru terjadi hal-hal di luar dugaan? Apakah Anda sebagai penonton mampu melakukan sesuatu untuk menyokong KPK agar badan anti korupsi ini berhasil meringkus koruptor dan kenyataannya gagal? Jika jawabannya negatif, berarti Anda harus menerima kenyataan hidup dalam teori Raskolnikov.

Menguji teori

Kini kita menghadapi kasus baru untuk menguji teori itu. Seorang menteri mengungkap polah anggota parlemen yang mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden sehubungan dengan perpanjangan kontrak Freeport. Terjadilah hal-hal absurd di dalam parlemen. Beberapa politikus mendorong dan menyeret kasus itu ke konteks politik tanpa peduli pada wacana hukum yang sewajarnya dan seharusnya.

Saking seringnya hal demikian terjadi, tidak usah heran jika publik tergoda mereka-reka skenario: apa kira-kira akrobat politikus yang dituduh mencatut nama tersebut untuk meloloskan diri dari jerat hukum?

Dalam perjuangan KPK melawan korupsi, jarang ada tersangka yang gampang menyerah begitu saja. Apabila si pencatut nama mengatakan bahwa yang dia lakukan justru demi rakyat, dia hanya menjiplak pikiran Raskolnikov: "Satu atau dua perbuatan jahat bisa dimaafkan kalau itu demi kebaikan."

Jika kita ringkas penjabaran teologis dari berbagai agama mengenai eksistensi iblis dan sepak terjangnya, satu frasa rasanya sudah memadai, yaitu tipu daya.

Adam dan Hawa terusir dari surga karena jurus itu. Aneka cerita kita dapati dari segala sumber dan kitab suci, semua menunjukkan satu ciri: kelicikan, bujuk rayu, kasak-kusuk di balik tabir, yang semuanya hanya variasi dari tindakan tipu daya.

Dalam konteks negara yang tengah melawan kebusukan birokrasi dan mentalitas korup pejabat dan politikus, kita akrab dengan itu. Publik sebagai penonton, politikus dan penyelenggara negara yang terlibat penyalahgunaan jabatan atau wewenang sebagai pelaku. Mereka memiliki kekuasaan dan keleluasaan untuk merekayasa peraturan dan hukuman dengan tipu daya.

Tipu daya

Kamus menyebutkan, tipu adalah perbuatan atau perkataan yang tidak jujur (bohong, palsu, dan sebagainya) dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali, atau mencari untung; kecoh;tipu daya adalah bermacam-macam tipu; berbagai daya upaya yang buruk; muslihat.

 Jika sudi saling berterus terang, kita secara bersama-sama telah membangun dan hidup di dalam konstruksi permakluman rekayasa sosial demi kesantunan publik. Inilah Indonesia kita. Ketika kesabaran sedang habis, entah karena stres atau putus asa, kehabisan akal atau terlalu jengkel, tak jarang kita mengumpati koruptor dengan kutukan hukuman mati atau dengan hal-hal mengerikan yang semacam itu.

Di radio, suatu pagi, sang penyiar mengajak pendengar mendiskusikan masalah sampah DKI. Seorang pendengar dari Jakarta Selatan tanpa tedeng aling-aling menyebut perusahaan pengelola sampah rekanan Pemerintah Provinsi DKI sebagai licik. Menurut dia, dengan tameng kerabat yang jadi anggota parlemen dan pengacara mahal, perusahaan itu bisa lolos jerat hukum.

 Lain halnya saat kita berdiskusi di ruang seminar masalah HAM, humanisme, adab dan budaya, moral publik, "merawat toleransi dalam kemajemukan", maka kita mengatur kalimat etis sembari membuang yang "tidak etis". Entah salahnya di mana, yang terjadi malah "permakluman sosial" yang meluas sehingga kita seperti lumpuh tatkala sang tersangka yang sudah dibelenggu setumpuk bukti tiba-tiba lolos setelah "wakil Tuhan" menyatakan dia harus bebas "demi hukum". Protes tentang tipisnya rasa keadilan hanya dianggap keceriwisan sesaat dan itu benar.

"Demi kebaikan"

 Akankah para pencatut nama juga lolos apabila sabda hukum berpihak kepada mereka biarpun ada bukti memberatkan? Mungkin kalimat ini tidak etis, tetapi hukum apa yang mengekang dan mengatur konstruksi linguistik di benak publik?

Untuk mempraktikkan teorinya, sebagai sang genius Raskolnikov membunuh Aryona, si nenek rentenir, "demi kebaikan": hidup si tua bangka sudah tidak berguna, lebih baik mati dan uangnya bisa digunakan oleh orang yang lebih pantas. Dia juga membunuh saksi mata, Rizabeta, adik Aryona.

Dengan keyakinan atas teorinya dan berkat kecerdikannya, Raskolnikov memang lolos. Namun, ternyata ia menderita tekanan batin akibat kejahatannya. Menjawab pertanyaan kalau para genius berhak membuat peraturan dan hukuman, siapa yang akan menghukum mereka, Raskolnikov berkata, "Kemungkinannya, mereka menghukum diri sendiri." Hal itu digenapkan di ujung cerita. Lantaran tak sanggup menanggungkan rasa bersalah, ia menyerahkan diri kepada polisi.

 Celah korup di dalam teori Raskolnikov adalah dia tak mampu memberi batasan tentang manusia genius dan bagaimana membedakan manusia biasa dan genius. Dalam subyektivitas pemaknaannya, di dalam konteks exploitation de l'homme par l'homme, manusia menindas sesamanya, para genius dalam konteks sosial-politik-hukum kita adalah pemegang otoritas, kaum elite yang punya kuasa membuat peraturan dan hukuman. Genius yang bersinonim dengan kecerdikan dan kelicikan.

KURNIA JR

Sastrawan

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 November 2015, di halaman 7 dengan judul "Belenggu Teori Raskolnikov".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger