Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 13 November 2015

Pulau Sensor di Samudra Informasi (SENO GUMIRA AJIDARMA)

Terdapat suatu mitos bahwa ideologi yang terbangun dan disebarkan oleh media massa berperan dalam pembentukan hegemoni budaya.

Mitos ini digugurkan oleh fakta bahwa teks media massa itu polisemik atau bermakna banyak sehingga pemirsa (maupun penonton/pembaca/pendengar/ konsumen) dapat melakukan eksplorasi dalam produksi makna yang aktif.

Jadi, identifikasi terdapatnya ideologi bukanlah sekaligus berarti ideologi itu akan ditelan mentah-mentah oleh konsumennya. Pendapat bahwa kepentingan media massa akan membatasi makna tekstual—karena tersituasi dan berlangsung terus-menerus dalam kegiatan hidup sehari-hari sehingga membentuk kerangka budaya atas waktu, ruang, dan rutinitas—telah ditolak.

Kesimpulan tentang daya media yang berlebihan semacam itu datang dari kajian sosiologis awal atas media massa dalam konteks "teori masyarakat massa" tahun 1930-1950-an, tempat kata "massa" disebut dalam fungsinya yang peyoratif (merendahkan), sesuai dengan karakteristik negatif yang diberikan kepada gagasan "budaya massa". Pandangan ini dari tahun ke tahun berubah.

Mula-mula oleh pendekatan yang melakukan eksplorasi atas berbagai penggunaan dan pemanfaatan pemirsa atas media. Kemudian, sejak 1980-an, muncul paradigma pemirsa aktif (the active audience) yang akan dijelaskan lebih lanjut. Keduanya mengurangi tekanan atas kuasa media untuk memengaruhi pemirsa, dan lebih memberi jalan kepada gagasan bahwa media adalah sumber bagi pemirsa dalam produksi makna (Barker, 2004: 117-8).

Paradigma pemirsa aktif

Konsep pemirsa sebagai the active audience adalah paradigma yang lahir sebagai reaksi terhadap riset komunikasi, yang mempelajari pemirsa dengan pandangan seolah mereka begitu mudah terserap makna dan pesan media populer.

Dalam konsep ini, pemirsa dihargai sebagai produsen makna, karena pesan apa pun yang disampaikan pembuat film atau produser televisi dalam prosesencoding ("pemberian kode") akan selalu mengalami decoding ("pemecahan kode") dalam konteks, wacana, dan politik yang berbeda. Akibatnya, disepakati bahwa makna tidak terletak di dalam teks (baca: naratif media), tetapi pada permainan-antara (interplay) dari teks dan pemirsa (Ibid.,1-2).

Dengan konsep the active audience ini, media audio visual tidak dianggap memengaruhi pemirsa sebagaimana terandaikan dari pandangan bahwa pemirsa itu pasif; melainkan ditanggapi dalam tiga posisi hipotetis: yang dominan, bernegosiasi, dan beroposisi. Dalam ketiga posisi ini, peranannya aktif sebagai produsen makna. Artinya, jika ia menyukai sebuah film bukanlah melulu karena tergiring arahan pembuatnya, melainkan karena bermakna bagi diri dan kehidupannya, demi kepentingannya sendiri. Jadi, makna bagi pemirsa bukan suatu konsumsi, melainkan produksi.

Konsensus baru

Dalam pendekatan kajian media, misalnya saja institusi sensor resmi yang mana pun, adalah representasi faktor negara, maupun faktor regulasi, yang merupakan faktor determinan dalam hubungan-hubungan kuasa, yang membangun keberhinggaan wacana kontemporer. Dengan wacana kontemporer dimaksudkan himpunan gagasan dan praksis sosial yang membentuk manusia sebagai subyek sosial, dan karena itu mengarahkan caranya berpikir tentang dunia, dalam hal ini dunia masa kini.

Masalahnya, negara dan regulasi bukanlah satu-satunya faktor determinan yang membentuk relasi kuasa dewasa ini. Sebab, terdapat juga faktor distribusi ideologi dan institusi pendidikan, yang pada dasarnya melalui pasar dan demokratisasi pembelajaran telah membuat politik sensor dan regulasi yang membenarkan kehadirannya ibarat "pulau sensor di samudra informasi". Bahwa, apa pun yang disensornya telah hadir di mana-mana.

Dengan demikian, pertanyaan dan gugatan terhadap politik sensor ini dapat dibaca sebagai bagian dari wacana kontemporer, yang tampaknya melihat dunia akan menjadi lebih baik tanpa kehadiran institusi sensor. Mungkinkah? Bagaimana dengan opsi lembaga kontrol, sebagai alternatif maupun sebagai pasangan kerja oposisional? Ibarat kata aparatus keamanan mengawasi khalayak, lembaga kontrol khalayak akan mengawasi aparatus. Fenomena media sosial menunjukkan betapa fungsi kontrol khalayak ini bahkan sudah berlangsung.

Ini berarti suatu konsensus sosial yang baru diperlukan, sebelum mengubah dan berubah, dalam perkembangan zaman yang akan seterusnya menjadi situs perjuangan ideologis, bagi kelompok yang dominan maupun yang terbawahkan.

SENO GUMIRA AJIDARMA, SASTRAWAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 November 2015, di halaman 6 dengan judul "Pulau Sensor di Samudra Informasi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger