Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 26 November 2015

Tajuk Rencana: Pertaruhan Lembaga DPR (Kompas)

Persidangan etika Ketua DPR Setya Novanto di Mahkamah Kehormatan Dewan merupakan pertaruhan kredibilitas lembaga DPR dan juga negara.

Setya merupakan politisi Partai Golkar dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Timur. Ia dilaporkan melakukan tindakan tidak terpuji ketika bertemu dengan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin dan pengusaha minyak Muhammad Riza Chalid. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said melaporkan Setya ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dengan bukti rekaman percakapan mereka bertiga.

Masalah ini sebenarnya mudah diselesaikan seandainya politik Indonesia punya tradisi mundur. Namun, kenyataannya, Setya tidak pernah merasa bersalah dengan serial pertemuan tersebut. Ia bahkan merasa dijebak karena percakapan yang dianggapnya sebagai bercanda dan ngobrol-ngobrolitu direkam dan dijadikan bukti laporan.

Boleh jadi memang ada standar nilai yang berbeda antara Setya dan sejumlah pendukungnya serta mayoritas publik. Pilihan politik Fraksi Partai Golkar untuk membela Setya juga sah saja secara politik. Namun, yang harus disadari, keyakinan itu juga diperhadapkan dengan rasionalitas dan moralitas publik. Berbagai petisi digital bisa ditemukan di dunia maya. Ada petisi yang meminta Setya mundur, ada yang meminta MKD bersidang secara terbuka. Itulah aspirasi publik yang disampaikan dalam bentuk petisi di era demokrasi digital yang akan mengawal proses di MKD.

Inilah tantangan bagi MKD untuk memutuskannya. Putusan MKD akan mempertaruhkan kredibilitas lembaga DPR yang sedang terpuruk dan negara ini. Dalam era serba transparan, posisi politik setiap partai juga kian mudah diidentifikasi. Ini tren baik agar publik bisa mencatat posisi politik itu.

Kita dorong MKD mengambil langkah yang pernah dilakukan Mahkamah Konstitusi yang dipimpin Ketua MK Mahfud MD. MK dalam persidangan terbuka pernah memutar rekaman hasil sadapan Anggodo Widjojo dengan penegak hukum. Dalam rekaman itu kemudian terbuka bagaimana kriminalisasi terhadap pimpinan KPK.

Dengan membuka rekaman itu, publik bisa mengetahui duduk soal perkara itu. Apakah sekadar ngobrol dan bercanda atau memang sebuah pembicaraan bisnis dengan memanfaatkan pengaruh kekuasaan? Dari rekaman itu akan ketahuan apakah memang ada pelanggaran etika atau malah lebih jauh dari itu. Benar kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir bahwa putusan MKD akan mempertaruhkan kehormatan bangsa. Kita tunggu.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 November 2015, di halaman 6 dengan judul "Pertaruhan Lembaga DPR".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger