Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 02 Desember 2015

COP 21 Paris dan Bank Hijau Indonesia (LUHUR FAJAR MARTHA)

Saat ini para pemimpin dunia berkumpul dalam Konferensi Perubahan Iklim, yang lebih dikenal dengan istilah COP 21, di Paris, Perancis. Tujuannya ialah untuk merumuskan pembangunan yang berkelanjutan bagi dunia. Berbicara soal pembangunan, tidak bisa dilepaskan dari peran perbankan yang mengambil fungsi intermediasi. Ironisnya, perbankan kini masih bergantung pada usaha-usaha yang merusak lingkungan.

Hingga kini, kinerja perbankan masih bergantung pada penyaluran kredit bagi usaha-usaha yang cenderung memberi ancaman bagi lingkungan. Perbankan di Indonesia pun demikian. Kelapa sawit, batubara, dan pertambangan lain menjadi sasaran penyaluran kredit yang memberikan keuntungan besar bagi perbankan.

Dalam dasawarsa terakhir, perbankan Indonesia menikmati pertumbuhan yang tergolong tinggi. Laba bersih bank-bank di Indonesia meningkat di atas 20 persen setiap tahun. Akumulasi keuntungan ini membuat nilai asetnya pun semakin besar. Dalam kurun waktu yang sama, aset perbankan tercatat tumbuh rata-rata 16 persen setiap tahun.

Sejak dua tahun lalu, total aset perbankan nasional telah melampaui angka Rp 5.000 triliun. Dengan jumlah ini, nilai aset lebih dari 100 bank di Indonesia setara dengan sekitar 55 persen nilai produk domestik bruto (PDB) nasional. Rasio aset terhadap PDB ini terus meningkat setelah krisis global pada 2008-2009.

Tahun 2011 bisa dikatakan sebagai tahun terbaik bagi perbankan nasional. Saat itu, aset perbankan tumbuh hingga 21,4 persen. Kemudian, penyaluran dana kredit telah melampaui Rp 3.400 triliun atau naik sekitar 23,4 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Laba bersih perbankan pun naik tajam, yaitu sekitar 31 persen. Pada tahun itu pula, perbankan Indonesia berhasil mendongkrak rasio laba bersih terhadap aset menjadi di atas dua persen.

Sebagaimana halnya sistem di negara lain, perbankan Indonesia pun tidak dapat dipisahkan dengan sistem perekonomian nasional. Perbankan nasional menjadi salah satu bagian vital dalam perekonomian Indonesia. Secara simultan, kegiatan ekonomi dan perbankan saling menopang untuk terus tumbuh. Di satu sisi, melajunya perekonomian bisa menarik (backward linkage) sektor perbankan. Kemudian, di sisi lain, sektor perbankan juga memiliki peran untuk mendorong (forward linkage) berbagai kegiatan ekonomi.

Sektor perbankan Indonesia merupakan salah satu sektor non-tradeable yang tumbuh lebih tinggi dibandingkan perekonomian nasional. Terlebih dalam tiga tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan sektor yang menjadi bagian dari sektor keuangan ini, 1,3 kali lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi. Sektor perbankan tercatat tumbuh rata-rata 8,13 persen, sedangkan pertumbuhan ekonomi nasional hanya sekitar 6,18 persen. Secara langsung, perbankan turut memberi sumbangan yang positif bagi pertumbuhan ekonomi.

"Ekonomi hijau"

Pada masa kini, seiring dengan menguatnya perhatian dunia terhadap persoalan-persoalan lingkungan, perbankan melakukan transformasi dalam perilaku dan kegiatannya. Konsep "ekonomi hijau", yang pada dasarnya mendorong agar setiap kegiatan ekonomi harus meminimalisasi dampaknya bagi lingkungan, juga diadopsi oleh dunia perbankan. Salah satunya melalui konsepgreen banking atau "bank hijau".

Bank hijau ini diterjemahkan sebagai upaya perbankan untuk mengutamakan pemenuhan keberlanjutan dalam penyaluran kredit atau kegiatan operasionalnya. Bank, secara langsung, memang tidak tergolong sebagai penyumbang pencemaran lingkungan yang tinggi. Penggunaan energi, air, dan sumber daya alam lainnya dalam kegiatan perbankan tidaklah separah penggunaan oleh sektor-sektor lain, seperti pertambangan dan industri pengolahan.

Menteri  Ekologi, Pembangunan Berkelanjutan dan Energi Perancis Segolene Royal (kanan) dan aktivis lingkungan  Perancis, Nicolas Hulot (kiri), menghadiri acara Climate Generations yang merupakan rangkaian Konferensi Perubahan Iklim COP 21, Selasa (1/12) di Le Bourget, Paris, Perancis.
AFP/ERIC FEFERBERG
Menteri Ekologi, Pembangunan Berkelanjutan dan Energi Perancis Segolene Royal (kanan) dan aktivis lingkungan Perancis, Nicolas Hulot (kiri), menghadiri acara Climate Generations yang merupakan rangkaian Konferensi Perubahan Iklim COP 21, Selasa (1/12) di Le Bourget, Paris, Perancis.
Suasana  di luar ruangan Konferensi Perubahan Iklim COP 21 di Le Bourget, Paris, Perancis, Selasa (1/12).
AFP/LOIC VENANCE
Suasana di luar ruangan Konferensi Perubahan Iklim COP 21 di Le Bourget, Paris, Perancis, Selasa (1/12).

Meski demikian, perbankan tidak lantas dapat dilepaskan dari persoalan meningkatnya degradasi lingkungan hidup. Dengan memberikan pinjaman atau pembiayaan kepada nasabahnya, bank dapat menjadi pemicu bagi kegiatan-kegiatan yang berdampak pada lingkungan.

Sebelum Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dibentuk, Bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum. Dengan peraturan ini, Bank Indonesia mendorong perbankan nasional untuk mempertimbangkan faktor kelayakan lingkungan dalam melakukan penilaian suatu prospek usaha.

Peraturan ini sendiri merupakan tindak lanjut Bank Indonesia atas penetapan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis Dampak Lingkungan Hidup (amdal).

Hingga kini, perdebatan mengenai pihak mana (bank atau debitor) yang harus bertanggung jawab terhadap dampak lingkungan yang ditimbulkan. Sebagian bank telah mencoba melakukan seleksi sejak awal terhadap pembiayaan yang diajukan oleh calon debitor. Bank memiliki hak penuh untuk menurunkan pembiayaan atau tidak, tergantung sejauh mana kegiatan yang akan dibiayai dengan pinjaman bank berdampak pada lingkungan (Jeucken, 2004).

Alternatif lain melalui pola pemberian insentif dan disinsentif. Salah satunya ialah dengan melakukan diferensiasi harga dana. Artinya, bank dapat memberikan pinjaman dengan tingkat suku bunga pinjaman yang berbeda. Semakin tinggi dampak negatif yang dihasilkan oleh suatu kegiatan, semakin tinggi pula tingkat bunga pinjaman yang dikenakan. Demikian berlaku sebaliknya, semakin rendah dampak negatif yang dihasilkan, semakin rendah pula tingkat bunga pinjamannya.

Apabila diterapkan, kebijakan-kebijakan tersebut dapat memengaruhi pencapaian kinerja bank. Seleksi debitor yang terlampau ketat berpotensi menurunkan pendapatan bunga yang diperoleh dari pemberian pinjaman. Dalam kondisi ini, bank dihadapkan pada persoalan keberlanjutan dirinya sendiri. Sebaliknya, apabila terlalu longgar, bank justru akan menjadi sumber yang mendorong laju degradasi lingkungan.

Secara teknis, tingkat keketatan atau kelonggaran kebijakan bank dalam pembiayaan dapat dirumuskan. Salah satunya ialah dengan mengidentifikasi tingkat keseimbangan antara keberlanjutan bank dan lingkungan.

Dengan mengindahkan kedua faktor tersebut, bank dapat mengoptimalkan perannya dalam menekan laju degradasi lingkungan. Bahkan, lebih jauh lagi, bank dapat memberi stimulus yang mendorong perilaku "ramah lingkungan". Sektor perbankan dapat menjadi pemain kunci dalam upaya pengarusutamaan pembangunan yang berkelanjutan.

(LITBANG KOMPAS)

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger