Sekolah anak saya terpilih sebagai tempat pelaksanaan proyek percobaan Kurikulum 2013 (K13) tingkat SD. Oleh karena itu, anak saya sejak duduk di kelas IV hingga VI sekarang menerima pelajaran sesuai K13. Sementara itu, pengajaran di sekolah-sekolah lain masih menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Penerapan K13 di sekolah anak saya menimbulkan kegamangan dan memicu munculnya dua pertanyaan. Pertama, apakah materi ujian nasional untuk sekolah ber-K13 akan terpisah dengan sekolah yang berkurikulum KTSP? Kedua, apakah ujian seleksi masuk SMP nanti juga menyediakan soal berbasis K13 dan KTSP?
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menyatukan soal UN (Kompas, 8/12) juga menambah kekhawatiran saya selaku orangtua murid. Ketika anak saya diberi soal-soal dari KTSP, tampaklah bagaimana ia mengalami kesulitan. Demikian juga ketika saya amati di tempat bimbingan belajar, ternyata murid yang menggunakan K13 juga mengalami kesulitan mengerjakan soal-soal untuk murid yang belajar dengan KTSP.
Saya tidak tahu harus berbuat apa. Bapak Menteri tentu mempunyai wewenang untuk membuat keputusan. Namun, faktanya anak saya mengalami banyak kesulitan.
Mudah-mudahan Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menyadari adanya masalah ini.
PANJI SUCIPTO
Dusun Krajan, Dongko, Trenggalek, Jawa Timur
Tamu Dianggap "Pesakitan"
Sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), 2 Desember 2015, tampak absurd karena beberapa hal. Tamu dianggap "pesakitan", duduk menghadap "Yang Mulia" anggota MKD. Mengapa posisi duduk tamu terhormat (diundang) tidak dibuat setara, netral, di meja bundar atau lonjong? Tamu seolah nobody yang harus menghadapi sidang MKD.
Bagaimanapun juga, saya menghormati kedudukan Menteri Kabinet Kerja Pemerintah RI, yang notabene pemerintah saya, rakyat Indonesia. Tidak boleh seorang tamu yang diundang, rakyat biasa sekalipun, dianggap pesakitan, menghadapi pertanyaan dan sikap yang arogan.
Panggilan "Yang Mulia" untuk pimpinan sidang tidak pernah saya dengar sebelumnya. Juga tidak digunakan dalam rapat-rapat paripurna, atau komisi di DPR. Hal itu terbukti dari betapa kikuknya anggota MKD dalam menggunakan sapaan terhormat tersebut. Hal ini hanya berarti bahwa sapaan itu bukan jiwa harian dalam rapat-rapat di DPR. Kenapa di hadapan tamu, yang adalah anggota kabinet negara RI, diwajibkan mengikuti ungkap-sapa feodalistik itu?
Seorang menteri pun berhak disapa "Yang Mulia Menteri", atau "Yang Terhormat", atau setidaknya "Bapak Menteri", termasuk Bapak Sudirman Said, karena beliau mewakili suatu entitas terhormat di negeri ini.
BAMBANG HIDAYAT
Pasirmuncang, Dago Giri, Bandung
Kecewa Vespa
Saat membeli Vespa, semua DP sudah saya lunasi pada 5 Juli 2015. Janjinya diproses selama 45 hari, maksimal 60 hari. Menurut rencana, ini menjadi hadiah ulang tahun pada September.
Setelah lama menunggu, beberapa kali kami menelepon. Selalu dijanjikan segera dan akan dihubungi kembali. Hal ini lebih dari 10 kali kami tanyakan dan tidak pernah sekali pun kami dihubungi oleh pihak Vespa.
Akhirnya pada Oktober 2015, kami datang ke kantor Vespa dan menanyakan kenapa belum juga dikirim dan kami tidak mendapat kabar apa pun. Ternyata pembelian saya belum diproses. Benar- benar mengecewakan. Saya pun meminta kembali uang saya.
Mereka minta waktu untuk mengajukan ke pusat dan berjanji akan menghubungi segera. Sampai surat ini ditulis, kami belum juga dihubungi kembali.
Saya minta pertanggungjawaban pihak Vespa Indonesia.
DANANG TRI MUSTIKYANTORO
Banjar Wijaya, Tangerang
Merokok di Mal
Minggu (13/12) saya mengantar anak kursus menari di lantai 3 DMall Depok. Alangkah terkejutnya saya karena persis di depan tempat kursus sedang berlangsung lomba binaraga dan penuh dengan asap rokok.
Saya berupaya melapor kepada manajemen mal yang berkantor di lantai 4. Namun, petugas layanan kebersihan di sana mengatakan kantor tutup Sabtu dan Minggu.
Saya mohon kepada pengelola DMall agar menaati perda kawasan tanpa rokok. Mal merupakan salah satu tempat umum yang wajib menerapkannya.
ROHANI BUDI PRIHATIN
Susukan, Bojonggede, Kabupaten Bogor
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Desember 2015, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".

Tidak ada komentar:
Posting Komentar