Sebagaimana lazim dalam setiap insiden penerbangan, pers memberi perhatian besar. Kita mengapresiasi KNKT untuk pekerjaan yang sangat membutuhkan kesaksamaan dan ketekunan ini. KNKT membuktikan, peristiwa boleh berlalu, tetapi kita jangan melupakan sebab-musababnya.
Seperti sering ditulis, penyelidikan musibah transportasi lazimnya, pertama-tama, tidak untuk mencari siapa yang salah, tetapi untuk mengetahui apa yang terjadi dan menjadikannya pelajaran agar hal itu tak terulang.
Seperti kita ikuti beritanya, KNKT menyimpulkan ada lima faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya musibah QZ8501. Satu demi satu faktor dijelaskan artinya dan bagaimana hal itu menjadi faktor penyumbang.
Bagi awam, penjelasan itu terdengar sangat teknis. Namun, tak dapat dimungkiri, penerbangan melibatkan teknologi yang sangat kompleks. Istilah RTLU (rudder travel limiter unit) lebih jarang kita dengar dibandingkan dengan FDR (flight data recorder), misalnya.
Kita lebih mudah memahami, musibah QZ8501 tidak disebabkan oleh kesalahan manusia (human error) atau cuaca. Akan tetapi, KNKT telah berusaha sekuat tenaga untuk menjelaskan hal yang rumit kepada masyarakat.
Ada awan kumulonimbus, tetapi investigator menyimpulkan bahwa awan itu tidak mengganggu penerbangan sehingga cuaca bukanlah penyebab kecelakaan. Kedekatan dengan faktor manusia muncul dalam faktor kedua. Disebutkan bahwa sistem perawatan pesawat dan analisis di perusahaan belum optimal. Faktor ketiga menyebutkan langkah yang diambil awak pesawat untuk mengatasi problem yang dihadapi.
Kita percaya, pihak Air Asia, bahkan maskapai penerbangan lain, ikut menyimak hasil temuan KNKT. Sebagaimana dikatakan Presiden Direktur Air Asia Indonesia Sunu Widyatmoko, banyak pelajaran yang dapat diambil industri penerbangan secara keseluruhan dari peristiwa ini.
Kita ingin memberikan tiga catatan berkaitan dengan perkembangan industri penerbangan. Pertama, industri ini akan terus tumbuh seiring dengan kemajuan ekonomi dan aktivitas/mobilitas manusia. Kedua, kemajuan itu berlangsung dengan disertai persaingan yang menuntut layanan prima (menyangkut keselamatan dan kenyamanan). Ketiga, tak dapat dilepaskan dari perkembangan politik global, ancaman terorisme yang terus membayangi.
Industri penerbangan harus bisa merespons dengan tepat. Di satu sisi, layanan nyaman tetap bisa diberikan, tetapi layanan ini juga diberikan dengan standar keselamatan dan keamanan yang andal.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Desember 2015, di halaman 6 dengan judul "Belajar dari Musibah QZ8501".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar