Akhir pekan lalu, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) secara bulat menyetujui resolusi untuk mendorong proses perdamaian, mengakhiri perang saudara yang sudah berlangsung lima tahun. Perang yang pecah sejak tahun 2011 telah menewaskan tak kurang dari 250.000 orang, dan menghancurkan Suriah secara total, mendorong jutaan orang mengungsi mencari selamat.
Resolusi menyerukan gencatan senjata dan perundingan formal mengenai transisi politik, yang akan dimulai Januari mendatang. Dan, dalam tempo enam bulan akan dibentuk pemerintahan yang "dapat dipercaya, inklusif, dan non-sektarian". Pemilu yang bebas dan fair akan diselenggarakan dalam tempo 18 bulan. Semua pihak sepakat bahwa proses tersebut tidak akan melibatkan kelompok-kelompok yang dianggap sebagai teroris.
Namun, resolusi tidak menyebut sama sekali masa depan dan peran Presiden Bashar al-Assad. Sebelumnya, tentang peran dan masa depan Al-Assad menjadi perintang bagi setiap proses perdamaian. Rusia dan Iran kukuh menentang penyingkiran Al-Assad. Sebaliknya, AS, negara-negara Eropa dan Timur Tengah seperti Arab Saudi dan Qatar menginginkan Al-Assad disingkirkan.
Harus diakui, adanya dukungan semua anggota DK PBB terhadap resolusi tersebut merupakan kemajuan besar. Semua pihak—baik kelompok-kelompok oposisi bersenjata maupun negara-negara yang terlibat dalam perang di Suriah—bersedia menyingkirkan kepentingan sendiri. Selama ini, Suriah telah menjadi semacam mandala perang proksi banyak negara.
Sebab, apabila hal itu—kesepakatan bersama—tidak terjadi, mustahil akan tercipta perdamaian di Suriah; atau bahkan kecil kemungkinan menghentikan peperangan di negeri itu. Bersatunya semua komponen, kekuatan, dan kelompok di Suriah menjadi sarat pertama dan utama untuk bisa menghadapi kelompok yang menyebut dirinya Negara Islam di Irak dan Suriah. Kelompok inilah yang oleh dunia internasional disebut sebagai kelompok teroris dan menjadi ancaman besar terhadap perdamaian tidak hanya Suriah, Timur Tengah, tetapi bahkan dunia.
Memang, masih ada persoalan besar yang belum bisa disepakati baik di antara kekuatan di dalam negeri Suriah maupun kekuatan luar yang bermain di Suriah. Persoalan itu menyangkut masa depan Al-Assad. Inilah pekerjaan rumah yang tidak mudah diselesaikan, kecuali Al-Assad sendiri memilih tidak terlibat lagi.
Apa pun, lolosnya resolusi tersebut menjadi pembuka pintu perdamaian di Suriah. Tinggal bagaimana pelaksanaannya di lapangan, karena menurut pengalaman, banyak resolusi perdamaian yang tidak jalan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar