Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 15 Januari 2016

Freeport dan Nasionalisme (ABDILLAH TOHA)

Sebenarnya perdebatan tentang nasionalisme dan keberadaan modal asing di sini sudah berjalan lama. Namun, belakangan, ketika kasus "papa minta saham" muncul, reaksi masyarakat merebak dan melebar ke mana-mana. Di antaranya ke persoalan kontrak karya PT Freeport: apakah sebaiknya diperpanjang, berapa saham yang harus kita miliki, atau tidak diperpanjang sama sekali kemudian kita ambil alih sepenuhnya.

Mereka yang membiarkan modal asing "menguasai" atau mengelola sumber daya alam kita dituduh tidak nasionalis. Rakyat dan negara telah dirugikan karena kekayaan alam itumilik kita dan harus kembali kepada kita. Demikian kira-kira argumentasinya. Ditambah lagi ada pasal dalam konstitusi kita yang mengamanatkan agar kekayaan alam kita "dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat" (Pasal 33 Ayat 3).

Nasionalisme sering diartikan sebagai sikap patriotik, setia kepada negara dan bangsa. Nasionalisme juga bisa menjurus ke sikap anti-asing (xenofobia). Pada tingkatekstrem, nasionalisme seperti Nazi Jerman dimaknai sebagai rasa super sebuah bangsa di atas bangsa-bangsa lain.

Tulisan ini akan berargumentasi bahwa ternyata nasionalisme dalam wujud penolakan terhadap semua bentuk kepemilikan asing tidak selalu sama dan paralel dengan "kepentingan nasional".

Cenderung emosional

Jika berupaya berpikir jernih, kita akan sadar bahwa nasionalisme dalam arti anti-kepemilikan asing itu sering kali lebih cenderung emosional daripada rasional.Masalah yang kita hadapi bukan banyaknya kepemilikan asing. Masalahnya adalah‎ keberadaan mereka yang seharusnya bisa membawa lebih besar keuntungan buat kita, tetapi itu tidak terjadi. Masalahnya adalah menentukan pilihan: modal asing mana yang baik untuk kita dan mana yang buruk. Masalahnya juga adalah persyaratan kehadiran mereka di sini tidak ditetapkan secara benar dan hati-hati.

Di samping itu, kita sering gagal menuntut imbal balas dari negeri lain, seperti kasus dihalang-halanginya bank kita buka cabang di negeri asing tertentu, padahal mereka leluasa membuka cabang di sini. Kita salah dan kalah atau ragu memainkan kartu internasional kita. Menekan Singapura untuk menandatangani perjanjian ekstradisi saja tidak berani sehingga para pencoleng Indonesia hidup bebas di sana di bawah perlindungan dan untuk keuntungan Singapura.

Pada era global sekarang, modal asing diperebutkan oleh hampir semua negara di dunia. Setiap negeri mempromosikan negerinya bak wanita seksi agar dipinang. ‎Negeri-negeri lain bersaing memberikan pelayanan terbaik, tetapi di balik itu mereka juga rasional dengan menetapkan syarat yang menguntungkan negerinya. Bahkan negara kaya pun masih memperebutkan modal asing. Modal asing tidak ditolak, bahkan disambut, tetapi harus menciptakan pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja, menambah pendapatan negara (pajak), meningkatkan cadangan devisa dengan membantu ekspor. Bukan sekadar menjadi tempat untuk memasarkan produk mereka di sini, mengeruk hasil alam mentah tanpa diproses lebih lanjut untuk memberi nilai tambah, atau membuka bank untuk menarik rente.

Masalah kita, modal asing yang banyak mampir ke Indonesia saat ini justru uang panas jangka pendek yang masuk ke bursa saham, surat utang pemerintah, deposito dengan bunga tinggi, dan sejenisnya yang sewaktu-waktu bisa ditarik dan mengacaukan stabilitas rupiah kita. Modal asing yang mencari rente jangka pendek, bukan modal asing dalam bentuk usaha tetap, terutama dalam bidang produksi dan infrastruktur yang sangat kita butuhkan.

Dalam era global di dunia tak berbatas saat ini, barangkali apa yang disebut nasionalisme dan kepentingan nasional itu harus dibuatkan definisi baru dan dijabarkan secara operasional. Ketika alasan politik sebuah kebijakan (raison d'etat) disepakati, kita sering tidak sepakat bagaimana cara melaksanakannya. Pada era sekarang barangkali kepentingan nasional itu tidak harus selalu berarti kepemilikan nasional, kecuali jika kita mau mengasingkan diri dan mengembangkan nasionalisme kita menjadi isolasionisme. Barangkali istilah nasionalisme atau bahkan kepentingan nasional lebih tepat apabila diganti dengan "keuntungan nasional". Idealnya memang kita yang memiliki dan hasilnya menguntungkan bangsa. Namun, buat apa kita miliki kalau justru ujungnya merugikan kita.

Sebagian pihak berpandangan konsep kepemilikan itu sudah usang. Kenapa? Karena kita masih berpikir dengan pola pikir lama. Memiliki berarti berkuasa. Memiliki berarti lebih untung. Pengusaha nasional lebih loyal kepada negara, katanya. Padahal, dengan rezim devisa bebas, kebocoran devisa kita terbesar yang mondok di negeri-negeri lain dalam bentuk hasil ekspor yang tidak dikirim kembali dan keuntungan usaha yang disimpan di sana, sebagian besar dilakukan oleh pengusaha nasional kita. "Dikuasai oleh negara" yang tercantum dalam konstitusi kita tidak boleh dibaca terpisah dari "untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".

Makna berdikari juga perlu diperluas. Tak harus diartikan bahwa segala sesuatu harus dikerjakan sendiri dan di dalam negeri. Di era sekarang kita juga boleh dan bisa memiliki aset di negeri asing. Berdikari tidak berarti bahwa semua harus diproduksi di dalam negeri. BUMN kita bisa, umpamanya, membuka lahan luas di Myanmar untuk memproduksi beras untuk keperluan kita. Atau memiliki penyulingan minyak di negeri asing yang hasilnya untuk konsumsi dalam negeri. Segala kemungkinan saat sekarang terbuka luas, tinggal bagaimana kita pandai-pandai memanfaatkannya.

Utang luar negeri juga jangan selalu dianggap momok. Tentu saja asalkan utang itu tidak dikorupsi, tetapi digunakan untuk tujuan produktif, syarat-syaratnya wajar, dan sudah diperhitungkan pembayaran kembalinya dengan cermat.Sebuah usaha sulit untuk menjadi besar tanpa bantuan utang. Rasio utang luar negeri kita terhadap pendapatan domestik bruto yang 47 persen masih jauh di bawah beberapa negara lain seperti AS yang 92 persen dan Jepang 220 persen.

Nasionalisme positif

Sebenarnya masalah utama kita dari dulu adalah disiplin dan penegakan hukum. Akibatnya, perusahaan asing dan nasional yang nakal dibiarkan, melanggar klausul tanpa diberi sanksi, ngemplangpajak juga boleh, menyelundup, mencuri ikan justru dibantu, bahkan bekerja sama dengan aparat.

Tentang Freeport, sebaiknya kita ambil alih atau perpanjang kontraknya? Untuk menjawab itu, kita jawab dulu pertanyaan-pertanyaan berikut. Jika kita ambil alih dan Freeport kita suruh pulang, apakah kita yakin sudah memiliki SDM yang mumpuni dan cakap untuk mengelola perusahaan tambang raksasa seperti Freeport? Jika kita ambil alih sebagian, berapa bagian dari Freeport yang akan kita beli, berapa harga yang harus kita bayar? Dari mana sumber pembiayaannya yang tidak mengganggu dana pemerintah untuk pembangunan? Jika diperpanjang, syarat- syarat apa yang harus kita tetapkan agar lebih menguntungkan negeri ini dibanding sebelumnya? Apakah syarat-syarat itu masuk akal dan bisa dipenuhi Freeport? Apa dampak keamanan dan lingkungan di Papua jika diambil alih atau diperpanjang? Berapa besar deposit emas dan tembaga yang masih tersisa? Berapa return on investment jika kita mengambil alih dibanding penghasilan pajak, royalti, dan lainnya yang kita terima kalau kita biarkan Freeport meneruskan usahanya?

Dengan kata lain, kita harus menggunakan kepala dingin dan rasio, bukan luapan emosi untuk memutuskan mana secara keseluruhan yang menguntungkan dan berpihak pada kepentingan nasional umumnya dan kebaikan bagi Papua khususnya, dalam menentukan nasib kontrak karya Freeport.

Nasionalisme positif adalah nasionalisme yang berpihak kepada kepentingan nasional jangka panjang. Bukan nasionalisme harakiri yang berujung kepada pemusnahan diri.

ABDILLAH TOHA, PENGAMAT POLITIK

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Januari 2016, di halaman 6 dengan judul "Freeport dan Nasionalisme".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger