Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 05 Februari 2016

Kriminalisasi Suap di Lingkungan Parpol (MULADI)

Suap-menyuap merupakan  bentuk dasar dari tindak pidana korupsi. Terkait di sini kondisi telah terjadinya kebejatan moral, perbuatan yang tidak wajar, atau noda dan mengindikasikan terjadinya perusakan integritas, kebajikan, atau asas-asas moral orang-orang yang terlibat.

Kriminalisasi  terhadap kejahatan korupsi dalam bentuk suap-menyuap memiliki alasan yang sangat kuat sebab kejahatan tersebut merupakan  delik hukum yang tercela dari sudut norma apa pun. Juga  merupakan kejahatan luar biasa karena karakter korupsi, termasuk suap-menyuap, dapat jadi sumber kejahatan lain.

Kasus penyuapan yang melibatkan pejabat, penegak hukum termasuk hakim, anggota badan legislatif, eksekutif, yudikatif melalui operasi tangkap tangan (OTT)  KPK atau penegak hukum lain, jumlahnya sudah sulit dihitung. Tindak pidana ini   juga terjadi dalam pemilu dan pilkada. Hal ini tidak terlalu mengejutkan karena selama struktur masyarakat masih didominasi budaya pragmatisme dan transaksional dengan prinsip siapa dapat apa, suap-menyuap masih  terjadi  di segala bidang kehidupan.

Ironisnya, suap-menyuap juga melanda kehidupan internasional dan transnasional. Contohnya adalah skandal yang melanda Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA) baru-baru ini  yang menyebabkan runtuhnya dinasti Sepp Blatter dan kawan-kawannya, serta pengaturan skor di berbagai bidang olahraga yang  akhir-akhir ini juga dicurigai terjadi  di tenis internasional.

Amerika Serikat mengancam dengan pidana berat  perusahaan-perusahaan Amerika  yang terlibat penyuapan di luar negeri melalui Foreign Corrupt Practicing Act (FCPA) 1977.  Konvensi PBB untuk menghadapi Kejahatan Transnasional Terorganisasi (Palermo ConventionTahun 2000) telah menempatkan korupsi, termasuk suap-menyuap, sebagai kejahatan yang harus diberantas dan perbuatan itu  dinyatakan sebagai kejahatan asal (predicate offence) yang hasilnya merupakan sumber kejahatan pencucian uang.

Demikian juga  Konvensi PBB untuk Melawan Korupsi (UNCAC) Tahun 2003 telah mengkriminalisasikan suap di lingkungan swasta dalam kegiatan komersial, ekonomi dan finansial sebagai tindak pidana korupsi yang harus dikriminalisasikan oleh negara-negara pihak. Bahkan, PBB pernah menyatakan, korupsi, juga penyuapan,  merupakan salah satu ancaman terhadap keamanan internasional karena telah memfasilitasi kejahatan lintas batas negara, termasuk terorisme.

Politik uang di parpol

Rumor tentang suap-menyuap di lingkungan partai politik mulai merebak dengan akan diselenggarakannya secara demokratis musyawarah nasional luar biasa (munaslub) sebuah partai besar dalam waktu dekat sebagai awal rekonsiliasi total untuk memilih ketua umum baru. Namun, sebagai dampaknya, muncul banyak calon yang ingin tampil dari  kelompok yang semula berseberangan.

Dari sini muncul rumor akan terjadinya politik uang untuk memenangi kontes. Sebab, siapa pun tahu bahwa jabatan ketua umum suatu parpol, apalagi partai politik besar, merupakan jabatan yang strategis dan  prestisius. Juga akan sangat menguntungkan, baik dari sisi daya tawar politik dan kekuasaan maupun secara tidak langsung di bidang  finansial/bisnis.

Orang-orang yang baik menyarankan agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terlibat untuk mengawasi dan mengatasi kemungkinan terjadinya jual-beli suara dalam munaslub tersebut. Namun, banyak juga yang    resisten dengan alasan hal itu di luar kewenangan KPK.

Dengan melihat perkembangan kriminalisasi kejahatan suap di atas,  orang harus melihat kembali adanya  UU No 11/1980  tentang Tindak Pidana Suap. Tindak pidana  ini merupakan tindak pidana suap  di luar peraturan perundang-undangan  yang sudah ada atau di luar tindak pidana korupsi (UU No 31/1999 jo UU No 20/2001). Sering kali UU ini juga dinamakan suap yang "melanggar kepentingan umum", yang  dalam pelbagai bentuk dan sifatnya  pada hakikatnya bertentangan dengan kesusilaan dan moral Pancasila , serta membahayakan kehidupan masyarakat dan bangsa.

Adapun yang dipidana di sini adalah "barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang  dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu  berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum  dipidana  dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp 15 juta". Yang menerima sesuatu atau janji tersebut diancam pidana  penjara selama-lamanya 3 tahun atau  denda sebanyak-banyaknya Rp 15 juta. Ketentuan ini juga berlaku apabila kejahatan  dilakukan di luar wilayah RI.

Perbuatan suap-menyuap yang melibatkan pemegang hak suara dalam pemilihan ketua umum dalam munaslub suatu parpol jelas sudah  memenuhi "unsur  kepentingan umum" terkait kejahatan yang disebut UU No 11/1980. Hal ini tidak perlu diragukan karena parameternya terlihat dalam  definisi  partai politik yang  dirumuskan dalam UU No 2/2011  jo UU No 2/2008 yang menegaskan: partai politik merupakan  organisasi  yang memiliki cita-cita untuk memperjuangkan  dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan  NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Juga dikatakan bahwa partai politik adalah pilar demokrasi.

Apalagi, fungsi  parpol dalam kehidupan demokrasi sangat penting, yaitu pendidikan politik, penciptaan iklim kondusif bagi persatuan-kesatuan bangsa, penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi masyarakat, partisipasi politik warga negara dan rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik. Dalam hal ini,  peranan seorang ketua umum sangat besar dan tidak dapat diragukan.

Karena hal ini  merupakan tindak pidana umum, Polri berwenang untuk menanganinya.

MULADI

GURU BESAR EMERITUS

FH UNDIP

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Februari 2016, di halaman 7 dengan judul "Kriminalisasi Suap di Lingkungan Parpol".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger