Kriminalisasi terhadap kejahatan korupsi dalam bentuk suap-menyuap memiliki alasan yang sangat kuat sebab kejahatan tersebut merupakan delik hukum yang tercela dari sudut norma apa pun. Juga merupakan kejahatan luar biasa karena karakter korupsi, termasuk suap-menyuap, dapat jadi sumber kejahatan lain.
Kasus penyuapan yang melibatkan pejabat, penegak hukum termasuk hakim, anggota badan legislatif, eksekutif, yudikatif melalui operasi tangkap tangan (OTT) KPK atau penegak hukum lain, jumlahnya sudah sulit dihitung. Tindak pidana ini juga terjadi dalam pemilu dan pilkada. Hal ini tidak terlalu mengejutkan karena selama struktur masyarakat masih didominasi budaya pragmatisme dan transaksional dengan prinsip siapa dapat apa, suap-menyuap masih terjadi di segala bidang kehidupan.
Ironisnya, suap-menyuap juga melanda kehidupan internasional dan transnasional. Contohnya adalah skandal yang melanda Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA) baru-baru ini yang menyebabkan runtuhnya dinasti Sepp Blatter dan kawan-kawannya, serta pengaturan skor di berbagai bidang olahraga yang akhir-akhir ini juga dicurigai terjadi di tenis internasional.
Amerika Serikat mengancam dengan pidana berat perusahaan-perusahaan Amerika yang terlibat penyuapan di luar negeri melalui Foreign Corrupt Practicing Act (FCPA) 1977. Konvensi PBB untuk menghadapi Kejahatan Transnasional Terorganisasi (Palermo ConventionTahun 2000) telah menempatkan korupsi, termasuk suap-menyuap, sebagai kejahatan yang harus diberantas dan perbuatan itu dinyatakan sebagai kejahatan asal (predicate offence) yang hasilnya merupakan sumber kejahatan pencucian uang.
Demikian juga Konvensi PBB untuk Melawan Korupsi (UNCAC) Tahun 2003 telah mengkriminalisasikan suap di lingkungan swasta dalam kegiatan komersial, ekonomi dan finansial sebagai tindak pidana korupsi yang harus dikriminalisasikan oleh negara-negara pihak. Bahkan, PBB pernah menyatakan, korupsi, juga penyuapan, merupakan salah satu ancaman terhadap keamanan internasional karena telah memfasilitasi kejahatan lintas batas negara, termasuk terorisme.
Politik uang di parpol
Rumor tentang suap-menyuap di lingkungan partai politik mulai merebak dengan akan diselenggarakannya secara demokratis musyawarah nasional luar biasa (munaslub) sebuah partai besar dalam waktu dekat sebagai awal rekonsiliasi total untuk memilih ketua umum baru. Namun, sebagai dampaknya, muncul banyak calon yang ingin tampil dari kelompok yang semula berseberangan.
Dari sini muncul rumor akan terjadinya politik uang untuk memenangi kontes. Sebab, siapa pun tahu bahwa jabatan ketua umum suatu parpol, apalagi partai politik besar, merupakan jabatan yang strategis dan prestisius. Juga akan sangat menguntungkan, baik dari sisi daya tawar politik dan kekuasaan maupun secara tidak langsung di bidang finansial/bisnis.
Orang-orang yang baik menyarankan agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terlibat untuk mengawasi dan mengatasi kemungkinan terjadinya jual-beli suara dalam munaslub tersebut. Namun, banyak juga yang resisten dengan alasan hal itu di luar kewenangan KPK.
Dengan melihat perkembangan kriminalisasi kejahatan suap di atas, orang harus melihat kembali adanya UU No 11/1980 tentang Tindak Pidana Suap. Tindak pidana ini merupakan tindak pidana suap di luar peraturan perundang-undangan yang sudah ada atau di luar tindak pidana korupsi (UU No 31/1999 jo UU No 20/2001). Sering kali UU ini juga dinamakan suap yang "melanggar kepentingan umum", yang dalam pelbagai bentuk dan sifatnya pada hakikatnya bertentangan dengan kesusilaan dan moral Pancasila , serta membahayakan kehidupan masyarakat dan bangsa.
Adapun yang dipidana di sini adalah "barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp 15 juta". Yang menerima sesuatu atau janji tersebut diancam pidana penjara selama-lamanya 3 tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 15 juta. Ketentuan ini juga berlaku apabila kejahatan dilakukan di luar wilayah RI.
Perbuatan suap-menyuap yang melibatkan pemegang hak suara dalam pemilihan ketua umum dalam munaslub suatu parpol jelas sudah memenuhi "unsur kepentingan umum" terkait kejahatan yang disebut UU No 11/1980. Hal ini tidak perlu diragukan karena parameternya terlihat dalam definisi partai politik yang dirumuskan dalam UU No 2/2011 jo UU No 2/2008 yang menegaskan: partai politik merupakan organisasi yang memiliki cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Juga dikatakan bahwa partai politik adalah pilar demokrasi.
Apalagi, fungsi parpol dalam kehidupan demokrasi sangat penting, yaitu pendidikan politik, penciptaan iklim kondusif bagi persatuan-kesatuan bangsa, penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi masyarakat, partisipasi politik warga negara dan rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik. Dalam hal ini, peranan seorang ketua umum sangat besar dan tidak dapat diragukan.
Karena hal ini merupakan tindak pidana umum, Polri berwenang untuk menanganinya.
MULADI
GURU BESAR EMERITUS
FH UNDIP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar