Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 06 Februari 2016

Revolusi Komitmen Pembangunan Gizi (ALBINER SIAGIAN)

Mahbub ul Haq, penggagas teori pembangunan manusia, menyatakan bahwa hakikat dari pembangunan adalah pemanusiaan manusia. Artinya, seluruh daya upaya pembangunan haruslah bermuara pada meningkatnya harkat dan martabat manusia.

Tentu saja manusia yang berharkat dan bermartabat adalah rupa dari manusia yang berkualitas. Lalu syarat utama untuk menjadi manusia yang berkualitas itu adalah yang terpenuhi kebutuhan dasarnya, antara lain pangan dan kesehatan.

 Di Indonesia, urusan pemenuhan kebutuhan pangan masih persoalan serius. Masih banyak penduduk yang tidak tercukupi kebutuhan pangannya, baik kuantitas maupun kualitasnya. Indikasinya adalah angka kekurangan gizi yang masih tinggi.

Sebagai gambaran, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi kurang gizi pada anak balita sebagai indikator sensitif untuk menggambarkan keadaan gizi di masyarakat adalah 19,6 persen. Angka ini meningkat sedikit dari 2010 (19,2 persen) dan 2007 (17,2 persen). Sebanyak 5,7 persen di antaranya berkategori gizi buruk. Itu berarti lima dari 100 anak balita kita mengalami kekurangan gizi yang parah. Hasil pemantauan status gizi (PSG) pada 2014 juga menunjukkan hasil senada, yaitu 19,3 persen anak balita menderita kurang gizi (4,7 persen gizi buruk dan 14,6 persen gizi kurang).

Kalau ditelisik dari indikator tinggi badan menurut umur, yang ditandai oleh ukuran tubuh yang pendek, angkanya lebih mengenaskan. Indikator ini mengindikasikan kekurangan gizi yang sudah berlangsung lama. Pada 2013, prevalensi anak balita pendek 19,2 persen dan sangat pendek 18,0 persen. Prevalensi ini menurun sedikit menurut PSG 2014 yang sebesar 10,9 persen dan 18,0 persen, masing-masing kategori sangat pendek dan pendek. Sekitar 30,7 persen (Riskesdas, 2013) dan 31,9 persen (PSG, 2014) anak sekolah tak dapat mencapai tinggi badan potensialnya karena kekurangan gizi kronis. Dampak buruknya bukan hanya pada tinggi badan, tetapi juga pada kecerdasannya.

Keadaan gizi pada kelompok usia lain juga tidak menggembirakan. Prevalensi wanita usia subur yang berisiko menderita kekurangan energi kronik adalah 20,8 persen (Riskesdas, 2013) dan 21,8 persen (PSG, 2013). Sementara itu, ibu hamil yang menderita anemia diperkirakan mencapai 40 persen. Wanita usia subur yang menderita kekurangan energi kronik berisiko mengalami gangguan kesehatan pada masa hamilnya kelak. Ibu hamil penderita anemia juga berisiko mengalami gangguan kehamilan dan persalinan, seperti pendarahan dan melahirkan anak yang berat badannya di bawah normal (kurang dari 2,5 kg). Anemia pada ibu hamil juga berkontribusi pada angka kematian ibu.

Kalau dibandingkan hasil pembangunan gizi di negara lain, Indonesia harus mengurut dada. Saat ini, posisi kita hampir sama dengan kebanyakan negara di Afrika, Banglades, Laos, dan Kamboja. Data Global Nutrition Report pada November 2014 di Roma, Italia, mengungkapkan hal itu.

Global Nutrition Report adalah laporan capaian pembangunan gizi di setiap negara. Indikator kekurangan gizi yang menjadi perhatian adalah stunting pada anak balita. Berdasarkan laporan tersebut, kurun 2003-2008, prevalensi anak balita stunting Indonesia adalah 37 persen. Angka ini jauh di atas prevalensi rata-rata dunia sebesar 27 persen. Di tingkat ASEAN pun tak menggembirakan. Jumlah anak balita pendek Indonesia melampaui Singapura (5 persen), Thailand (16 persen), Filipina (34 persen), dan Vietnam (36 persen). Posisi Indonesia hanya sedikit lebih baik dari Myanmar (41 persen) dan Kamboja (42 persen).

Tak selaras pertumbuhan

Harus kita akui, kecenderungan pertumbuhan ekonomi Indonesia terus menaik. Sejak 2000, Produk Domestik Bruto terus meningkat. Indikator ekonomi lainnya juga membaik. Dana program gizi pun meningkat tajam pada kurun waktu yang sama. Sayangnya, peningkatan itu tidak diikuti penurunan prevalensi kurang gizi.

Sementara itu, pola umum yang berlaku adalah terdapat korelasi berbalikan antara pendapatan per kapita dengan prevalensi kurang gizi pada anak balita. Artinya, makin tinggi pendapatan per kapita masyarakat di suatu negara, makin rendah prevalensi kurang gizi pada anak balita di negara tersebut. Pengecualian terjadi di Indonesia. Di Indonesia, makin tinggi pendapatan per kapita, makin tinggi pula prevalensi kurang gizi pada balita.

Mengapa hal itu terjadi? Jawabnya adalah hasil pertumbuhan ekonomi itu tidak dinikmati secara merata oleh masyarakat. Pembangunan ekonomi tidak meningkatkan akses masyarakat ke kebutuhan dasar. Makna sederhananya: pertumbuhan ekonomi makin melebarkan jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Fakta ini juga diindikasikan oleh terus meningkatnya jumlah penderita kegemukan dan obesitas di satu sisi dan meningkatnya penderita kurang gizi di sisi lain.

Revolusi komitmen

Salah satu faktor penyebab membaiknya status gizi masyarakat dalam satu dekade terakhir ini adalah rendahnya sense of crisis penyelenggara negara, terutama di tingkat daerah otonom, atas persoalan gizi. Hiruk-pikuk politik, kekuasaan, dan persoalan korupsi telah menyita perhatian, pikiran, dan energi penyelenggara negara sehingga persoalan yang menyangkut rakyat banyak terabaikan.

Kekurangsadaran akan dampak buruk kurang gizi terhadap kesehatan, kualitas sumber daya manusia, dan kerugian ekonomi turut menyumbang rendahnya komitmen pemerintah di tingkat implementasi untuk mengatasi persoalan gizi. Padahal, para ekonom dunia, melalui The Copenhagen Consensus 2012, telah mengingatkan dunia bahwa cara paling cerdas mengalokasikan uang untuk menghadapi tantangan utama dunia adalah investasi pada perbaikan gizi masyarakat. Sementara itu, investasi pada program gizi membantu memutus lingkaran kemiskinan dan meningkatkan PDB negara 2-3 persen per tahun. Tambahan lagi, investasi dollar AS pada program gizi dapat mengembalikan 30 dollar AS dalam peningkatan kesehatan, pendidikan, dan produktivitas ekonomi.

Oleh karena itu, saatnya revolusi komitmen dan sense of crisis untuk mengatasi masalah gizi. Penyelenggara negara di daerah harus memiliki komitmen tinggi untuk mengatasi masalah gizi. Mereka juga harus merasa dan bertindak bahwa masalah gizi adalah persoalan yang amat serius. Perencanaan, implementasi, dan alokasi dana untuk program gizi harus menjamin masyarakat dapat mengonsumsi pangan yang cukup dan bergizi. Saya berpendapat bahwa pemerintah pusat harus campur tangan dalam urusan ini. Hal ini dapat dilakukan, antara lain dengan mewajibkan pemerintah daerah menyertakan program perbaikan gizi pada rencana pembangunan daerah dan menetapkan anggaran minimal proporsional.

Hal lain yang perlu mendapat perhatian pemerintah adalah reposisi dan revitalisasi posyandu. Posisi posyandu sebagai sarana deteksi dini masalah gizi dan media pendidikan gizi harus dikembalikan. Data mengungkapkan kecenderungan penurunan keaktifan kader posyandu. Padahal, merekalah ujung tombak posyandu. Menurut saya, pemerintah perlu memberi insentif kepada kader posyandu. Dana bantuan desa yang Rp 1 miliar itu dapat dialokasikan sebagian untuk revitalisasi posyandu dan insentif bagi kader.

Selain itu, pemerintah pusat harus taat asas melaksanakan surveilans gizi setiap tahun untuk memantau perkembangan gizi secara teratur dan terus-menerus. Data surveilans gizi diperlukan untuk mengevaluasi dan menyusun rencana dan program gizi berikutnya, sehingga upaya perbaikan gizi dapat terlaksana secara berdaya guna.

Pertumbuhan ekonomi penting, tetapi kita jangan lupa bahwa perbaikan gizi tidak harus menunggu negara makmur. Bank Dunia jauh hari sudah mengingatkan agar gizi diletakkan sebagai fondasi pembangunan. Inilah yang dikenal sebagai pembangunan berarusutama gizi. Artinya, setiap program pembangunan harus memperhitungkan kontribusinya pada perbaikan gizi masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung.

Akhirnya, mumpung Presiden Joko Widodo menggelorakan revolusi mental, boleh juga diikutkan revolusi komitmen pembangunan gizi, termasuk revolusi suasana hati bahwa masalah gizi adalah persoalan amat serius bangsa. Kalau tidak, jadilah kita melahirkan dan membesarkan generasi yang hanya menjadi beban bangsa. Atau, sia-sialah daya upaya kita membangun bangsa ini sesuai dengan yang diharapkan oleh Mahbub ul Hag.

ALBINER SIAGIAN

Guru Besar Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat USU

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Februari 2016, di halaman 7 dengan judul "Revolusi Komitmen Pembangunan Gizi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger