Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 04 Februari 2016

TAJUK RENCANA: Harapan Damai Makin Jauh (Kompas)

Pembatasan akses ke Ramallah, tidak saja mempertajam perse- teruan Israel dan Palestina, justru merunyamkan impian perdamaian di kawasan itu.

Tentara Israel menutup akses dari dan menuju Ramallah menyusul serangkaian penyerbuan oleh sekelompok pemuda Palestina sejak Oktober lalu. Penutupan itu membuat frustrasi warga Ramallah yang masih diizinkan keluar-masuk ibu kota Palestina itu.

Mengutip pejabat militer Israel, kantor berita AFP pada Selasa kemarin menyatakan, "Penyeberangan ke dan dari Ramallah sudah kembali ke aktivitas normal setelah dilakukan penilaian situasi".

Bukan sekali ini saja Israel mengisolasi Ramallah. Pada Maret 2002, tentara Israel menyerbu kompleks perkantoran pemerintahan Palestina di Ramallah dan menguasai sebagian besar kompleks itu, kecuali ruang tempat Presiden Yasser Arafat berada.

Bahkan, Perdana Menteri Israel Ariel Sharon menyatakan Arafat sebagai musuh Israel. Arafat baru bisa keluar rumah setelah Israel mencabut statusnya sebagai tahanan rumah pada Mei 2002.

Tentara Israel kembali mengepung kediaman resmi Presiden Arafat pada 20 September 2002. Hal itu dilakukan Israel menyusul serangan bom oleh kelompok militan Hamas yang menewaskan lima orang Israel di sebuah bus di Tel Aviv. Setelah 10 hari mengepung kediaman resmi Arafat, barulah tank pasukan Israel bergerak mundur.

Upaya perdamaian dengan mengedepankan perundingan tanpa kekerasan terus dilakukan, khususnya oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tetapi sejauh ini belum menunjukkan hasil maksimal. Palestina sempat menikmati masa euforia saat PBB mengizinkan bendera Palestina berkibar di markasnya pada akhir September 2015. Namun, tak berarti jalan damai terhampar mulus jauh ke depan.

Hubungan keduanya terus bergejolak. Penutupan akses dari dan menuju Ramallah hanyalah satu dari sekian banyak tindakan Israel yang secara nyata merugikan Palestina. Rakyat Palestina belum leluasa menentukan masa depannya.

Bagi kita, bangsa Indonesia, Palestina adalah negara berdaulat yang dapat dan harus menentukan sendiri masa depan bangsanya. Kita mengecam tindakan Israel yang tidak menghargai kedaulatan wilayah dan sisi kemanusiaan warga Palestina. Di sisi lain, kita juga tidak sepakat dengan tindakan nekat yang sering kali dilakukan warga Palestina untuk membalas tindakan kekerasan Israel.

Kita sepakat upaya perdamaian harus terus dilakukan di tengah pesimisme yang menghampiri sebagian besar warga dunia. Kita tahu bahwa perlakuan tidak adil terhadap warga Palestina menjadi dasar pembenaran bagi sebagian kelompok Islam untuk menggunakan kekerasan dalam meperjuangkan haknya.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Februari 2016, di halaman 6 dengan judul "Harapan Damai Makin Jauh".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger