Data inflasi ini cukup mengesankan. Pemerintah sebenarnya mempunyai momentum untuk lebih menekan inflasi, sayang tidak dimanfaatkan. Penurunan harga minyak dunia ke level di bawah 40 dollar AS, yang berarti jauh di bawah proyeksi pemerintah 50 dollar AS, belum direspons dengan penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) premium. Alasannya, siklus perubahan harga ditetapkan setiap tiga bulan sehingga baru bulan depan harga BBM premium bisa diturunkan cukup signifikan.
Rupiah diuntungkan faktor eksternal berupa berbagai masalah di negara "pesaing" kita. Tiongkok mengalami kelebihan pasokan properti sehingga menciptakan fenomena "kota hantu" yang tak berpenghuni. Investasi di sektor manufaktur juga kelebihan pasokan yang berpotensi kredit macet. Sejumlah negara lain menderita defisit APBN akut. Ada yang mengidap ketergantungan sektor primer (Rusia dan Brasil), ada pula yang terkena skandal korupsi berskala besar (Malaysia). Semua ini berujung pada mengalirnya dana global ke Indonesia. Dalam sebulan terakhir, aliran dana ke Indonesia mencapai Rp 35 triliun. Akibatnya, rupiah melesat naik.
Indonesia harus terus memanfaatkan momentum bagus ini. Kombinasi penguatan rupiah dan inflasi rendah memberikan kemungkinan Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga acuannya, dari 7 persen menjadi 6,75 persen. Penurunan ini lebih cepat daripada yang semula kita bayangkan.
Namun, di sisi lain, kondisi fiskal kita masih tertekan. Kini sudah mulai timbul wacana bakal terjadi kekurangan penerimaan pajak Rp 290 triliun, antara lain penyebabnya adalah kemungkinan program pengampunan pajak tidak bisa dilaksanakan. Pengampunan pajak dikenakan kepada wajib pajak yang tidak membayar kewajibannya pada masa lalu dengan mengenakan tarif pajak khusus yang menarik, misalnya ditebus dengan 2, 4, atau 6 persen.
Meski demikian, pengampunan pajak ini masih menimbulkan pro dan kontra. Di satu pihak, kebijakan ini bisa menjadi peluang bagi pemerintah menaikkan penerimaan pajak. Namun, sebagian anggota parlemen merasa tindakan ini tidak bijaksana karena seolah tidak mengapresiasi para pembayar pajak lain yang taat. Bahkan, ada yang menginginkan hukuman terhadap pengemplang pajak. Oleh sebab itu, belum tentu DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak.
Isu pengampunan pajak bukan hanya di Indonesia. Pada 2009, AS memberikan pengampunan terhadap hampir 15.000 wajib pajak. Australia melakukannya pada 2007 dan 2009, Belgia (2004), Jerman (2004), Italia (2001-2003), Rusia (2007), Portugal (2005 dan 2010), Spanyol (2012), dan Afrika Selatan (2003). Dengan kata lain, isu ini bersifat global. Pemerintah Indonesia hendak melakukannya pun karena terinspirasi pengalaman negara lain.
Pengampunan pajak diklaim akan memberi pemerintah tambahan penerimaan Rp 60 triliun hingga Rp 180 triliun. Jumlah ini signifikan tatkala kondisi fiskal sedang tertekan seperti sekarang.
Pertanyaannya, seberapa besarkah penerimaan itu? Tidak mudah memprediksinya. Memang sempat muncul wacana, harta warga negara Indonesia di luar negeri sebesar Rp 3.000 triliun. Dengan asumsi, Singapura adalah destinasi paling favorit, katakanlah di sana ada Rp 2.500 triliun. Itu kira-kira ekuivalen dengan 200 miliar dollar AS. Jumlah ini terlalu fantastis karena cadangan devisa Singapura saat ini sekitar 245 miliar dollar AS.
Dengan kata lain, saya meragukan estimasi Rp 3.000 triliun tersebut. Namun, jumlahnya pasti besar, tetapi masih sulit diprediksi secara akurat. Jika estimasi dibuat 30 persen saja, atau sekitar 70 miliar dollar AS bisa dipulangkan ke Indonesia, itu sudah fantastis. Cadangan devisa kita bakal melesat ke 175 miliar dollar AS sehingga memungkinkan rupiah untuk terus menguat dan stabil.
Meski demikian, upaya pengampunan pajak masih terjal di meja perundingan politik. Pemerintah masih membutuhkan waktu untuk meyakinkan DPR, dengan menunjukkan bukti-bukti empiris, bahwa hal itu lazim dilakukan banyak negara, termasuk negara maju, dalam beberapa tahun terakhir.
Sambil terus melobi DPR, pemerintah harus segera menyusun strategi fiskal. Target penerimaan pajak Rp 1.360 triliun tetap terlalu tinggi, perlu direvisi. Target kurs rupiah harus lebih optimistis, misalnya Rp 13.000 per dollar AS atau lebih kuat lagi, yang nilai nominal nyatanya (real effective exchange rate) bisa Rp 12.600 per dollar AS.
Selain memangkas belanja, dalam batas-batas tertentu pemerintah juga bisa menambah utang. Defisit APBN dalam kondisi normal lazimnya 2 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Dalam kondisi krisis, defisit bisa direlaksasi hingga 3 persen. Situasi sekarang tidak krisis, tetapi juga tidak normal. Oleh karena itu, defisit APBN 2,5 persen terhadap PDB, sebagaimana yang terjadi pada 2015, menjadi opsi paling optimal.
A TONY PRASETIANTONOKEPALA PUSAT STUDI EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK UGM
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Maret 2016, di halaman 13 dengan judul "Laju Rupiah dan Prospek Amnesti Pajak".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar