Berdasarkan pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang 2010-2015 ditemukan 3.042 kasus korupsi berhasil diselidiki oleh aparat penegak hukum (APH)-kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi-yang statusnya naik jadi penyidikan. Kerugian negara mencapai Rp 33,3 triliun dan nilai suap sebesar Rp 999,6 miliar. Sementara jumlah tersangka yang terseret seluruh kasus ini mencapai 6.733 orang.
ICW juga memantau perkembangan penanganan kasus di tahap penyidikan. Kasus ini dibagi tiga kelompok. Pertama, kasus yang telah naik P21 (tahap penuntutan). Kedua, kasus yang ada informasi perkembangan di mana APH tetap memberi informasi penanganan kasus berupa pemeriksaan saksi dan tersangka, menunggu perhitungan kerugian negara, dan informasi lainnya. Ketiga, kasus yang tidak ada informasi perkembangan sama sekali sejak ditetapkan masuk tahap penyidikan.
Dari total kasus yang berada di tahap penyidikan: 2.492 kasus masuk tahap penyidikan dalam periode 2010-2014, sisanya 550 kasus baru pada 2015. Dari 2.492 kasus yang masuk penyidikan dalam periode 2010-2014, 1.940 di antaranya telah P21 atau masuk tahap penuntutan di pengadilan dengan kerugian negara Rp 24,5 triliun dan suap Rp 520,4 miliar.
Sementara kasus yang belum ada perkembangan informasi 410 kasus dengan kerugian negara Rp 4,3 triliun dan nilai suap Rp 3,5 miliar. Terakhir, terdapat 142 kasus tidak ada informasi perkembangan sama sekali dengan kerugian negara Rp 1,4 triliun dengan nilai suap Rp 25,1 miliar.
Kejaksaan penyumbang terbesar dalam jumlah kasus korupsi yang belum ada informasi perkembangan kepada publik. Dari 410 kasus, 311 di antaranya adalah kasus korupsi yang ditangani kejaksaan, 88 kasus di kepolisian, dan 2 kasus oleh KPK, serta 9 kasus belum diketahui APH mana yang menyidiknya.
Kejaksaan juga penyumbang terbesar atas kasus yang tidak ada informasi perkembangan sejak pertama kali disidik. Dari 142 kasus yang tak ada informasi perkembangan, 80 kasus ditangani kejaksaan, 40 kasus oleh kepolisian, 2 kasus ditangani KPK, dan 20 kasus belum diketahui APH mana yang menanganinya.
Kasus korupsi yang ditangani kejaksaan dan naik ke penuntutan sebagian besar kasus yang masuk tahap penyidikan pada 2010-2012, yakni 93 kasus (2010), 65 kasus (2011), dan 39 (2012). Sementara kasus korupsi ditangani kepolisian dan belum P21 adalah kasus yang masuk tahap penyidikan tahun 2010 dan 2014, masing-masing 18 dan 28 kasus.
Dengan demikian, jumlah kasus yang belum ada perkembangan sampai 2015 adalah 552 kasus. Inilah jumlah tunggakan kasus korupsi di kejaksaan dan kepolisian. Tunggakan ini menjadi utang dua lembaga ini untuk diselesaikan dan perlu dijaga agar tidak diselewengkan.
Penentu kinerja
Banyak faktor menentukan kinerja penyidik kasus korupsi. Pertama, ketersediaan dan kecukupan anggaran. Selain butuh anggaran guna menyidik kasus korupsi untuk memanggil dan memeriksa saksi dan tersangka, penyidik juga butuh anggaran untuk memanggil saksi ahli.
Penyidik pun butuh biaya transportasi untuk mengumpulkan alat bukti yang berada cukup jauh, terutama di luar kota. Tidak jarang penyidik mengeluarkan dana pribadi untuk membiayai perjalanan keluar kota karena biaya operasional penyidikan telah habis atau tidak kunjung diperoleh. Hal ini tentu akan meningkatkan potensi penyelewengan kasus oleh penyidik.
Kedua, ketersediaan dan kemampuan penyidik. Ketersediaan penyidik juga menentukan cepat-lambatnya proses penyidikan. Beberapa kasus butuh penyidik dalam jumlah besar karena melibatkan banyak pelaku serta saksi yang harus diperiksa. Selain itu, kemampuan penyidik dalam menggali informasi dan mengumpulkan alat bukti juga menentukan apakah kasus tersebut cepat tuntas atau tidak.
Sering kali proses penyidikan terhambat karena penyidik kurang atau bahkan tidak mampu menyediakan alat bukti. Hal ini terjadi karena penyidik belum mengetahui dengan tepat bagaimana dan di mana alat bukti tersebut bisa didapatkan. Kemampuan intelijen dan pencarian lokasi tempat alat bukti juga menentukan kinerja penyidikan.
Ketiga, perhitungan kerugian negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau BPKP. Sering kali proses penyidikan terhambat karena dua lembaga pemeriksa ini lambat dalam menghitung kerugian negara. Kelambatan ini bisa disebabkan auditor BPK atau BPKP tidak atau belum mendapatkan informasi atau bukti yang kuat dari penyidik dalam menghitung kerugian negara.
Keempat, lamanya pemberkasan antara penyidik dan penuntut umum. Sebagian penyidikan kasus korupsi terhambat karena ada perbedaan pendapat dan penilaian antara penyidik dan penuntut umum. Akibatnya, sering kali berkas perkara bolak- balik dari penyidik ke penuntut umum sehingga proses penyidikan menjadi lebih lama.
Kelima, penyelewengan dalam penyidikan kasus korupsi. Penyelewengan berupa menyembunyikan alat bukti, menghambat pengiriman alat bukti perhitungan kerugian negara ke BPK atau BPKP, atau menghindari memeriksa saksi kunci. Penyidik menyampaikan berbagai dalih dan alasan yang menghambat penyidikan, padahal sebenarnya sudah memiliki bukti yang kuat.
Hal ini dilakukan penyidik karena berbagai hal, seperti adanya intervensi dari atasan atau otoritas tertinggi penegak hukum. Juga bisa karena penyidik berusaha memeras pihak yang berperkara. Pelambatan proses penyidikan juga terjadi karena penyidik telah menerima suap dari pihak berperkara. Pemerasan ini dilakukan secara langsung oleh penyidik atau pihak lain.
Solusi
Kinerja penyidikan kasus korupsi harus ditingkatkan. Untuk itu, pemerintah dapat melakukan penambahan anggaran untuk proses penyidikan dan memastikan dana tersebut benar-benar digunakan untuk proses penyidikan, tidak dikorupsi.
Pemerintah juga harus meningkatkan ketersediaan penyidik yang memadai di seluruh Indonesia. Tidak hanya itu, pemerintah harus meningkatkan kemampuan penyidik melalui pelatihan dan cara lainnya sehingga penyidik memiliki kemampuan lebih andal.
Manajemen perkara korupsi juga harus ditingkatkan agar lebih efektif, efisien, akuntabel, dan profesional. Bareskrim Mabes Polri, Jampidsus Kejagung, dan KPK harus memiliki sistem pengendalian perkara korupsi sehingga bisa memantau perkembangan penanganan perkara satu per satu di setiap unit kinerja di seluruh Indonesia.
Sistem bisa dibangun dengan memanfaatkan sistem informasi teknologi yang bisa diakses publik, terutama terkait informasi yang tak dikecualikan. Sistem ini harus dijadikan dasar promosi dan mutasi penyidik serta atasannya, seperti direktur, kepala polda, kepala kejaksaan tinggi, kepala polres, dan kepala kejaksaan negeri. Penyidik dan komandan yang berkinerja rendah diberi sanksi dan tak diberi promosi. Sementara penyidik dan komandan yang berkinerja tinggi harus diapresiasi dan promosi.
FEBRI HENDRI AA
DIVISI INVESTIGASI ICW
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Maret 2016, di halaman 7 dengan judul "Kinerja Penyidikan Kasus Korupsi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar