Pada saat perayaan yang bertepatan dengan gerhana ini, umat Hindu di Bali juga sedang menghadapi berbagai isu lingkungan dan pariwisata, seperti reklamasi Teluk Benoa yang menimbulkan protes di Bali. Perayaan pada situasi seperti itu menimbulkan kekhawatiran terjadinya kesialan, seperti bencana lingkungan, karena pertumbuhan fasilitas pariwisata yang berlebihan di Bali.
Kekhawatiran ini beralasan sebab jumlah hotel, restoran, dan fasilitas lainnya terus meningkat sejalan peningkatan jumlah wisatawan ke Bali. Padahal, kapasitas Bali terbatas. Pada saat seperti itu, negosiasi masyarakat Bali terhadap investasi sangat lemah, sehingga masyarakat Bali mendapatkan lebih sedikit daripada seharusnya. Penolakan terhadap berbagai investasi besar yang berkembang di Bali belakangan ini adalah bukti kekecewaan masyarakat Bali terhadap hasil negosiasi dengan investor.
Ketika kekecewaan ini terus berkembang, peristiwa gerhana matahari ini memunculkan banyak kekhawatiran. Sebab, sesuai astrologi Hindu, sifat gerhana adalah berlipatnya energi sehingga bila kekecewaan muncul, maka kekecewaan itu akan berlipat ganda. Gerhana matahari menurut mitologi Hindu sesuai kitab Adiparwa (bagian pertama dari Mahabharta), dipandang sebagai munculnya kekuatan Kala Rau, atau Rau yang sedang memangsa matahari, karena Dewa Matahari tidak rela membiarkan Kala Rau yang merupakan bagian dari bangsa raksasa untuk mendapatkan keabadian (amerta).
Membuka diri
Kekuatan Rau adalah kekuatan yang harus diwaspadai. Kekuatan ini kerap dikaitkan dengan Ketu yang merupakan hari- hari waspada dalam astrologi Hindu. Namun, kalau dipelajari secara saksama, Rau dan Ketu sebenarnya juga punya sisi positif, yang jika dimanfaatkan akan membangun kebajikan bagi masyarakat.
Rau dalam astrologi Hindu adalah kekuatan yang "menambahkan", sedangkan Ketu adalah kekuatan yang "mengurangi". Karena itu, apabila kekecewaan sedang muncul ketika Rau memperlihatkan dirinya, maka kekecewaan itu akan memuncak. Demikian juga bila kesialan muncul pada saat Rau, maka kesialan itu akan bertambah keras.
Namun, Rau juga akan menambah kekuatan positif, jika manusia sedang melakukan usaha positif. Karena itu, Sarasamuscaya (Kitab Suci Hindu di Bali) mengajarkan umat Hindu untuk bederma pada saat gerhana matahari, sebab pahalanya akan beribu-ribu kali lipat. Itu artinya berbuat baik pada saat gerhana akan menghasilkan kebajikan yang berlipat-lipat.
Karena itu, Nyepi pada saat gerhana sebaiknya jadi momen penting untuk menanamkan kebajikan dengan melakukan brata penyepian dengan baik, yaitu puasa, tidak menyalakan api, tak bepergian, dan tidak mengadakan hiburan. Brata ini mengandung maksud membangun sifat- sifat baik dari dalam diri. Jika ini dilakukan saat gerhana, maka kebajikannya akan bertambah.
Membangun kebajikan (darma) adalah membangun sifat anti kekerasan (ahimsa), jujur (satya), tak menginginkan milik orang lain (asteya), tak rakus makan (aharalagawa), dan tidak mengumbar nafsu (brahmacarya). Kelima usaha ini disebut "yama"—dalam konteks kekinian bermakna selalu mengendalikan diri dari berbagai perkembangan yang terjadi. Kekecewaan juga perlu dikendalikan dengan membuka diri untuk berdialog.
Perlu terus berdialog
Dialog yang terus-menerus kunci dari pembangunan perdamaian. Hal inilah yang kurang terbangun selama ini, sehingga kepentingan masyarakat Bali sering diabaikan dalam berbagai pembangunan pariwisata.
Hal itu sudah terjadi dari awal pembangunan pariwisata massal di Bali, yaitu pembangunan kawasan Nusa Dua pada 1980-an, yang perencanaan sudah mulai tahun 1971. Pada pembangunan kawasan ini, kepentingan masyarakat lokal hanya sedikit yang terakomodasi. Bahkan masih menyisakan kemiskinan pada masyarakat asli Nusa Dua. Investasi lainnya setelah itu juga hanya sedikit memberikan keuntungan bagi masyarakat lokal, yang memunculkan kekecewaan terhadap investasi pariwisata.
Hasil dari kekecewaan itu meletuslah penolakan masyarakat Bali yang dimotori mahasiswa terhadap pembangunan BNR di kawasan Tanah Lot pada 1994. Penolakan ini meletus karena kekecewaan dari proses investasi sebelumnya, yang kurang menguntungkan masyarakat lokal. Hal itulah yang terjadi berulang, sampai penolakan reklamasi Teluk Benoa sekarang ini.
Peristiwa itu menunjukkan sebuah proses yang sama, yaitu lemahnya negosiasi masyarakat lokal Bali terhadap investasi. Bahkan karena kurangnya negosiasi, masyarakat Bali sudah menduga-duga bila investasi tersebut tidak akan menguntungkan masyarakat lokal.
Oleh karena itu, momen Nyepi pada saat gerhana ini perlu digunakan untuk membangun upaya negosiasi yang lebih baik, yaitu melalui dialog terus-menerus antara masyarakat, pemerintah, dan investor. Negosiasi juga hakikat perayaan Nyepi, sebab secara historis perayaan ini lahir dari dialog Hindu dan Buddha pada Kerajaan Saka di India pada awal Masehi (78 Masehi).
Dialog ini menghasilkan perdamaian yang ditandai dengan perayaan tahun baru Saka (Nyepi). Hasil dialog ini tidak hanya pada tatanan kehidupan sosial, juga tatanan filosofis. Pengakuan atas kebenaran agama-agama dan kepercayaan dalam mencapai tujuannya yang berupa kebajikan adalah hasil dialog panjang pada Kerajaan Saka yang terdiri dari berbagai etnis, pemeluk agama, dan kebudayaan.
Spirit ini perlu diimplementasikan dalam dialog kekinian, yaitu dialog untuk membangun kesejahteraan bersama, yang harus bermuara pada pengakuan bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup, baik secara budaya, politik, dan ekonomi. Karena itu, dialog itu haruslah untuk melindungi hak-hak hidup setiap orang, sehingga setiap manusia pada hakikatnya harus berbagi ruang untuk hidup. Dialog atau negosiasi seperti itulah yang perlu terus terbangun melalui spirit Nyepi kali ini, sehingga kekuatanRau dalam gerhana ini menambahkan kebajikan yang dilakukan beribu kali lipat.
I GEDE SUTARYA, DOSEN INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Maret 2016, di halaman 6 dengan judul "Perayaan Nyepi dan Gerhana Matahari".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar