Membaca pengumuman akan diberhentikannya halaman Kompas Anak di Kompas Minggu (28/2), saya merasa sedih. Sebagai ibu tiga anak usia TK-SD, saya merasa kehilangan suatu media untuk mengembangkan imajinasi dan kreativitas anak-anak saya.
Sebagai penulis cerita anak yang baru belajar dan baru mengirimkan tiga naskah ke Redaksi Kompas, saya juga merasa tidak ada harapan lagi untuk dapat tampil di lembar kesayangan tersebut.
Saya tahu, keputusan ini pasti sudah dipertimbangkan dengan sangat matang oleh pimpinan Kompas. Hanya saja, sebagai pembaca dan penikmat halaman Kompas Anak, saya juga merasa berhak bersuara. Maka, melalui surat ini, saya menyampaikan keprihatinan karena kehilangan satu media bacaan anak yang bermutu.
Menurut rumor, lembar ini akan muncul lagi dalam bentuk digital, tetapi tentu tidak akan sama. Jangkauannya saat ini mungkin tidak seluas halaman Kompas Anak yang terbit konvensional. Masih banyak kelompok masyarakat yang belum bisa mengakses internet walaupun ada program internet masuk desa.
Untuk anak-anak, menurut saya, juga lebih sehat jika membaca langsung melalui lembaran kertas. Membaca melalui laman internet selain tidak sehat bagi mata, juga berisiko melihat tayangan lain yang bukan untuk usianya.
Saya tahu pendapat saya ini tak banyak artinya untuk suatu keputusan yang sudah berjalan. Namun, paling tidak saya sudah menyuarakan pendapat yang mungkin juga mewakili pendapat banyak orang.
Saya mengucapkan terima kasih atas kiprah Kompas Anak yang telah berperan serta dalam pendidikan karakter anak-anak Indonesia dan berharap rubrik Kompas Anak muncul lagi, apa pun bentuknya.
INDAH NOVITA, MAKASSAR
Catatan Redaksi:
Terima kasih atas apresiasi Anda. Masukan Anda kami pertimbangkan.
Melecehkan Sumpah Pemuda
Saya sepakat dengan surat pembaca berjudul "Mengasingkan Bahasa" (Kompas, 17/2). Apalagi, ketidaktaatan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar banyak berlangsung di siaran-siaran televisi, tontonan utama masyarakat.
Hampir semua program acara melecehkan Sumpah Pemuda karena menggunakan bahasa Inggris. Misalnya, Live Report bukan Siaran Langsung, Breaking News bukan Berita Selingan, Coffee Break bukan Rehat Kopi, Talk Show bukan Bincang Bincang, Business News bukan Warta Niaga, dan masih banyak lagi.
Mengapa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) abai terhadap kenyataan yang jelas-jelas melanggar Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 yang mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia di seluruh wilayah RI?
Saya juga mencermati para penulis yang menggunakan istilah asing, seperti kata poin bukan butir, fenomena bukan kenyataan, eksistensi bukan keberadaan, dan artikel bukan judul.
HARTONO FS, PURWOSARI, SINDUADI, SLEMAN
Tingkatkan APTB
Senin (29/2), seperti biasa, saya berangkat kerja ke Sunter menggunakan APTB jurusan Ciawi-Tanjung Priok. Hal ini sudah lama menjadi rutinitas saya.
Namun, sebagai pelanggan, saya merasakan pelayanan bus menurun sebulan terakhir. Kalau biasanya pukul 05.30 paling lambat kami sudah di Tol Jagorawi, Senin lalu kami menunggu bus begitu lama. Pukul 06.10, kami baru masuk Tol Jagorawi akhirnya, hampir dapat dipastikan saya terlambat masuk kantor.
Kami menggunakan moda transportasi umum menuruti imbauan pemerintah untuk mengurangi kemacetan. Namun, jika penurunan kualitas layanan angkutan umum terus terjadi, mungkin saya dan puluhan pelanggan APTB trayek ini dan trayek-trayek lainnya akan berpikir ulang. Akhirnya berangkat kerja ke Jakarta dengan menggunakan kendaraan pribadi.
Mohon keluhan diperhatikan, terutama terkait jam keberangkatan dan jumlah armada.
ABDURAHMAN SHAHAB, KAMPUNG CIHEULEUT, KELURAHAN CIBULUH, KODYA BOGOR
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Maret 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar