Dukungan Indonesia dapat diamati dari masa kepemimpinan presidennya. Dukungan Soekarno yang menonjol ialah diundangnya Grand Mufti Jerusalem Haji Amin al-Husseini pada Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955; Presiden Soeharto mengakui Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan membuka Kantor PLO di Jakarta pada tahun 1989; Presiden Megawati Soekarnoputri menghadiri KTT Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) tahun 2003 di Putrajaya, Malaysia, dengan mengatakan tidak ada perdamaian dunia tanpa penyelesaian konflik Arab-Israel dengan adil; Presiden SBY mengunjungi pemakaman Yasser Arafat di Mesir tahun 2004 sebagai kunjungan kepresidenan yang pertama di sesi pertama kepemimpinannya, dan Presiden Joko Widodo menerima permintaan Maroko dan OKI agar Indonesia menjadi penyelenggara KTT OKI Luar Biasa pada 2016.
Alasan penerimaan Indonesia menjadi tuan rumah KTT OKI yang akan diselenggarakan pada 6-7 Maret 2016 karena Indonesia ingin berperan sebagai penengah konflik internal Palestina antara Hamas dan Fatah agar negara Palestina merdeka cepat terwujud. Apakah Indonesia dapat menjadi penengah yang baik dalam konflik ini, adalah pertanyaan yang jawabannya ditunggu oleh masyarakat internasional.
OKI, dahulu disebut Organisasi Konferensi Islam, adalah organisasi internasional yang anggotanya terdiri dari negara-negara Islam atau negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Latar belakang pendirian OKI ialah munculnya solidaritas Islam ketika Masjidil Aqsa di Jerusalem dibakar oleh seorang Yahudi pada 21 Agustus 1969. Pada 22-25 September 1969 beberapa negara Islam bertemu di Rabat, Maroko, sepakat mewujudkan solidaritas Islam dalam organisasi.
Indonesia sejak awal menunjukkan dukungan terhadap OKI dengan menghadiri Konferensi OKI di Jeddah tahun 1972. Akan tetapi, Indonesia menolak menandatangani Deklarasi OKI yang menyebutkan anggota OKI adalah negara Islam. Indonesia pada akhirnya bersedia menandatangani Deklarasi OKI menjelang kejatuhan Presiden Soeharto tahun 1998.
Peranan yang dapat dimainkan
Ada beberapa peranan yang biasa dimainkan oleh suatu negara dalam penyelesaian suatu konflik antarnegara atau kelompok, yaitu mediator, fasilitator, justifikator, dan partisipan. Dalam hal penyelesaian konflik Arab-Israel, Indonesia telah menunjukkan peranannya terutama sebagai partisipan atau pihak yang berpartisipasi aktif mengimplementasikan perdamaian dengan mengirimkan pasukan perdamaian ke Sinai pasca Perang Sinai 1956 yang tergabung di dalam United Nations Emergency Forces (UNEF), dan ke Lebanon khususnya setelah serangan Israel atas Lebanon Selatan tahun 2006 yang kemudian tergabung dalam pasukan Pasukan Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa di Lebanon (UNIFIL). Dua peranan ini sepertinya berjalan lancar hingga saat ini meskipun Israel pernah menolak pasukan perdamaian asal Indonesia yang dinilai terlalu berpihak kepada Palestina.
Akan tetapi, jika Indonesia menginginkan berperan sebagai mediator atau penengah, saat ini kasus yang dihadapi bukan antara Arab Palestina dan Israel, tetapi sesama Palestina. Syarat utama menjadi mediator ialah netral, mengetahui permasalahan yang menjadi sumber konflik utama maupun pendukung, dan diterima serta dipercaya oleh kedua belah pihak.
Konflik internal Palestina yang dimaksud ialah konflik antara Hamas dan Fatah yang merupakan unsur utama bangsa Palestina. Hamas atau Gerakan Perlawanan Islam didirikan oleh Ahmad Syah Yassin tahun 1987. Gerakan ini sejak awal termasuk gerakan politik Islam, yaitu gerakan yang bertujuan menerapkan hukum Islam (syariat Islam) sehingga negara Palestina merdeka yang dicita-citakan adalah negara Islam. Sangat kontras dengan Fatah yang didirikan Yasser Arafat tahun 1967, mencita-citakan Palestina merdeka nanti merupakan negara sekuler yang memisahkan urusan agama dengan negara. Perbedaan ideologi ini tidak mudah disatukan ataupun dikompromikan karena perbedaan ini justru merupakan identitas yang menjadi daya tarik dukungan masing-masing.
Dukungan terhadap Hamas tampak pada kemenangannya dalam pemilu Otoritas Palestina tahun 2006. Kemenangan ini tidak diakui Israel ataupun Amerika Serikat dan selanjutnya dianulir. Sikap negara lain terhadap kemenangan Hamas menunjukkan dukungan mereka terhadap Fatah yang dikenal moderat. Cara perjuangan Hamas sebagai gerakan politik sering menggunakan kekerasan sehingga gerakan ini dikategorikan sebagai gerakan teroris, khususnya oleh AS.
Perbedaan kontras di antara keduanya ditambah dengan perlakuan tidak demokratis terhadap kemenangan Hamas membuat kedua kelompok ini terlibat perang setelah 2006 yang menelan korban sedikitnya 600 orang Palestina dari kedua belah pihak. Selanjutnya Fatah yang kemudian pemimpinnya, yaitu Mahmoud Abbas, menjadi presiden yang menguasai wilayah Otoritas Palestina (Palestinian National Authority) yang sebagian besar berada di Tepi Barat, sementara Hamas di bawah kepemimpinan Khaled Messal seolah menguasai seluruh Jalur Gaza.
Perbedaan ideologi mengakibatkan perbedaan yang lain, yaitu perbedaan sikap dalam menghadapi Israel. Hamas cenderung tidak kompromi dan tidak bersedia mengakui eksistensi Israel, serta sering dituduh melakukan serangan roket Katyusha ke arah wilayah teritori Israel. Akibatnya, Israel pernah membombardir Gaza tahun 2008 dan 2014 yang mengakibatkan kerusakan dan korban masif di pihak Hamas dan warga Gaza. Sementara Fatah cenderung moderat, mengakui eksistensi Israel, dan bersedia berunding dengan negara Yahudi ini.
Dipercaya kedua pihak
Dengan latar belakang seperti itu, jika ingin mendamaikan keduanya dengan berperan sebagai penengah atau mediator selain harus netral terhadap perbedaan mereka, Indonesia juga harus dipercaya oleh kedua belah pihak. Untuk syarat yang terakhir sepertinya Indonesia telah mendapatkan, yaitu dengan kunjungan Mahmoud Abbas ke Indonesia beberapa waktu lalu. Adapun dari pihak Hamas, Indonesia diakui sebagai negara yang berjasa membuka perbatasan Rafah dengan Mesir ketika Gaza diserang Israel tahun 2008, dan pembukaan rumah sakit di Gaza yang didukung oleh Palang Merah Indonesia dan Mer-C.
Kepercayaan terhadap Indonesia bertambah karena Indonesia menjadi anggota "Committee on Al-Quds" yang didirikan pada 1975, anggotanya terdiri atas 15 negara dari 50 negara anggota OKI. Komite ini merupakan bagian dari OKI yang di antaranya bertugas mengimplementasikan resolusi-resolusi konflik Arab-Israel, khususnya yang berhubungan dengan masalah Al-Quds (Jerusalem) dalam konflik tersebut. Seperti diketahui bahwa masalah Jerusalem termasuk masalah inti yang disengketakan antara Palestina dan Israel. Bagi Hamas, Palestina merdeka kelak akan menjadikan Jerusalem sebagai ibu kota, sementara Israel telah lama menjadikan Jerusalem sebagai ibu kotanya meskipun belum diakui secara internasional karena masih dalam sengketa.
Indonesia dalam kerangka Committee on Al-Quds dapat menjadikan masalah rencana pembangunan 3.600 unit permukiman Israel di Jerusalem Timur sebagai persoalan bersama Hamas dan Fatah sehingga mereka dapat bersatu. Hal ini sesuai dengan resolusi pada KTT OKI ke-12 yang menghasilkan "Cairo Final Communiqué Al-Quds al-Syarif" yang mengimbau masyarakat internasional untuk mengimplementasikan resolusi-resolusi yang menyangkut nasib bangsa Palestina. Biasanya masalah bersama dapat menyatukan pihak yang bersengketa selama keduanya juga mempunyai kepentingan bersama, yaitu kemerdekaan Palestina yang diwujudkan secara damai mengingat korban sudah terlalu banyak.
Bagi Indonesia, peranan sebagai mediator memang tak mudah, tetapi juga bukan tak mungkin. Meski demikian, peranan sebagai fasilitator tampaknya lebih mudah, artinya kita menyediakan fasilitas perundingan, tetapi memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada Hamas dan Fatah menemukan sendiri cara bersepakat. Indonesia sudah pernah berhasil mendamaikan Kamboja, juga Moro di Filipina Selatan, dengan berperan sebagai fasilitator. Sementara sebagai partisipan, Indonesia dihargai partisipasinya dalam pasukan perdamaian, dan Indonesia selama 2008-2013 telah membantu capacity buildingPalestina mencakup pembangunan sosial, ekonomi, pemerintahan, infrastruktur, dan keuangan.
Semoga Pemerintah Indonesia dapat menjalankan peranannya dengan baik di dalam KTT Luar Biasa OKI 2016 ini. Dengan demikian, selain meneruskan konsistensi politik luar negeri Indonesia yang turut mewujudkan perdamaian internasional, juga turut mendorong kemerdekaan Palestina dengan cara mengatasi masalah internalnya.
SITI MUTIAH SETIAWATI, DOSEN FISIPOL DAN KAJIAN TIMUR TENGAH, SEKOLAH PASCASARJANA UGM
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Maret 2016, di halaman 6 dengan judul "Tak Mudah Menjadi Penengah".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar