Pendapat ini boleh jadi sebentar lagi akan menjadi pendapat kuno karena mengganti bahan bakar fosil bukan hanya layak secara teknis, melainkan juga secara ekonomis.
Hal ini sejalan dengan pertemuan negara-negara tentang perubahan iklim di Paris (COP21) yang mencanangkan bahwa konversi bahan bakar berbasis fosil (fossil fuel) ke energi terbarukan untuk pembangkit listrik diharapkan rampung pada 2050.
Beberapa negara, seperti Denmark dan Kosta Rika, beserta 100 kota di dunia, termasuk Stockholm dan San Fransisco, telah mencanangkan akan melakukan dekarbonisasi. Asia yang menyumbang lebih dari setengah peningkatan emisi global dalam 20 tahun ke depan sudah seharusnya ikut serta dalam upaya global ini. Sebuah studi yang menggambarkan peta jalan (roadmap) 35 tahun untuk mengubah Amerika Serikat menjadi 100 persen energi terbarukan diluncurkan Stanford University. Studi ini menimbulkan debat yang cukup hangat di kalangan bisnis dan akademis.
Lebih murah
Tidak seperti yang dibayangkan, potensi sumber daya energi terbarukan jumlahnya cukup untuk menggantikan pembangkit energi konvensional. Riset Bank Pembangunan Asia (ADB) untuk energi bertenaga angin dan matahari di Asia Barat dan Tengah, serta data tentang pembangkit tenaga air dari Dewan Energi Dunia (World Energy Council) memperlihatkan hal ini.
Data memperlihatkan potensi jumlah energi terbarukan yang dapat dibangkitkan 40 kali lipat dari kapasitas pembangkit listrik di tahun 2012 di wilayah tersebut. Beberapa negara, seperti Myanmar, memiliki potensi energi terbarukan 56 kali dari kapasitas pembangkit saat ini. Sementara Vietnam 26 kali, Indonesia 20 kali, Filipina dan Tiongkok 17 kali, dan Sri Lanka 10 kali.
Perkembangan di Eropa memperlihatkan bahwa tidak hanya kuantitas, tetapi juga harga pembangkit energi terbarukan telah berada pada tahap terjangkau, serta biayanya cukup kompetitif apabila dibandingkan dengan pembangkit konvensional.
Rata-rata biaya penyediaan listrik secara global (levelized cost of electricity/LCOE) untuk pembangkit solar (tenaga matahari) telah turun menjadi 12,2 sen per kWh dari 30 sen per kWh pada 2009. Sementara pembangkit bertenaga angin saat ini 8,3 sen per kWh dibandingkan 10 sen di tahun 2009. Harga ini menjadikannya lebih murah daripada pembangkit bertenaga gas alam dan batubara.
Energi terbarukan juga dapat lebih murah di Asia. Di Tiongkok, on-shore wind berada pada biaya 7,7 sen per kWh dibandingkan dengan 11,3 sen per kWh untuk pembangkit bertenaga gas. Bloomberg New Energy Finance memproyeksikan harga pembangkit matahari (solar photovoltaic) di Asia Pasifik akan turun menjadi 12 sen per kWh pada jangka menengah. Di India, pembangkit berbasis energi terbarukan dengan harga 4,63 rupee (7 sen per kWH) baru saja diberikan kepada Sun Edison.
Pembangkit dengan energi terbarukan juga sangat menarik apabila ditinjau dari besarnya subsidi yang dapat dihemat yang diperkirakan sebesar 5 triliun dollar AS per tahunnya untuk pembangkit konvensional. Harga global (LCOE) untuk batubara mencapai 41 sen per kWh sudah dengan memperhitungkan subsidi sebesar 3,1 triliun dollar AS.
Bagaimanapun implementasi kebijakan untuk menggunakan pembangkit energi terbarukan tidaklah mudah. Mengganti kapasitas bahan bakar fosil secara global dapat memakan biaya dari 4 triliun dollar AS hingga 40 triliun dollar AS, tergantung dari jenis teknologi yang akan digunakan. Meskipun demikian, dengan menghilangkan subsidi batubara dimungkinkan investasi yang ditanamkan kembali dalam waktu 12 tahun.
Periode pengembalian investasi ini dapat lebih pendek apabila teknologi yang memungkinkan energi bersih (clean energy) dapat dipercepat sehingga lebih mudah diakses, pembiayaannya lebih efektif, dan lebih mudah penyimpanannya. Graphene, sebuah jenis dari karbon yang sangat kuat tetapi ringan, yang memungkinkan efisiensi dari solar panel (matahari) menjadi dua kali lipat dan digunakan dalam super batteries, saat ini dalam tahap produksi massal.
Harvard University menciptakan baterai organik yang memungkinkan pembangkit cahaya matahari dan angin menyediakan listrik yang stabil dengan biaya kurang dari 2 sen per kWh. Teknologi percetakan tiga dimensi (3D) membuka kemungkinan untuk memproduksi baterai dan solar panel (matahari) yang lebih murah di mana pun.
Langkah ke depan
Salah satu kritik pada energi terbarukan adalah konsumsi lahan yang berlebihan. Namun, secara global energi terbarukan hanya membutuhkan 1,4 persen lahan. Untuk negara dengan luasan lahan yang terbatas, hal ini mungkin menjadi kendala, tetapi peningkatan efisiensi energi yang ada dan kerja sama antarnegara dapat menjadi salah satu solusi.
Pengalihan ke sumber energi terbarukan juga akan menstimulasi ekonomi. Stanford University menyatakan bahwa secara neto, hal ini akan mencetak 20 juta tenaga kerja secara global dan menstabilkan harga energi.
Sementara itu, biaya yang harus dipikul apabila tidak dilakukan aksi (do nothing) sangat tinggi. Polusi udara telah memakan korban 3,7 juta orang meninggal tahun 2012. Jumlah ini lebih dari dua kali lipat jumlah orang yang meninggal akibat HIV pada tahun yang sama.
Waktu untuk melakukan aksi menjadi variabel yang sangat penting. Jumlah CO
Hal ini menyisakan peluang untuk membereskannya dalam waktu kurang dari 30 tahun. Suatu hal yang tidak mudah karena hijrah ke energi terbarukan bagi kota-kota di Asia kemungkinan besar akan membutuhkan waktu lebih lama daripada kota-kota di negara maju. Negara-negara Asia akan membutuhkan berbagai sumber pendanaan, teknik untuk memprioritaskan program dan proyek, serta kerangka kebijakan yang mendukung energi terbarukan. Kapasitas para pelaku dan pemangku kepentingan juga harus ditingkatkan, khususnya yang berhubungan dengan tenaga angin, tenaga matahari, dan penyimpanan energi.
Di balik ini semua, tantangan terbesar adalah membalikkan pendapat bahwa energi konvensional tak tergantikan. Pola pikir lama harus ditinggalkan, dan kita harus bertekad untuk menggunakan energi terbarukan bukan lagi sebagai opsi, melainkan menjadi kebutuhan kita bersama untuk masa depan yang lebih baik.
BAMBANG SUSANTONO, WAKIL PRESIDEN BANK PEMBANGUNAN ASIA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Maret 2016, di halaman 7 dengan judul "Potensi Energi Terbarukan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar