Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 27 April 2016

JAJAK PENDAPAT: Gangguan Gawai di Tempat Umum (SUGIHANDARI)

Dengan alasan tertentu, Dennis Nicholl, seorang warga Chicago, Amerika Serikat, mengoperasikan alat pengacak sinyal telepon (jammer) di stasiun kereta kota besar itu. Aksi yang dilakukan sejak akhir 2015 itu mengakibatkan sinyal gawai para komuter yang berada di stasiun tersebut terganggu. Polisi sempat menangkap Dennis pada Maret 2016, meski membebaskannya tak lama kemudian. Pelaku beralasan melakukan hal tersebut karena selama ini merasa terganggu dengan orang-orang yang bercakap-cakap melalui telepon di sekitarnya.

Kejadian yang diberitakan di laman Foxnews tersebut telah mengangkat isu mengenai relasi sosial di area publik yang terbentuk setelah adanya teknologi seluler (ponsel). Teknologi ponsel memungkinkan pemiliknya terhubung dengan orang lain dalam berbagai aktivitas. Hasilnya, pengguna cenderung sibuk sendiri dan mengabaikan kebutuhan orang lain baik di tempat privat maupun publik.

Di Indonesia, fenomena semacam itu makin sering ditemui. Tengok saja kesibukan orang-orang di tempat-tempat umum seperti angkutan umum, stasiun, terminal, dan pusat perbelanjaan. Tangan menggenggam ponsel dengan mata lekat di layarnya lazim terlihat, termasuk juga menerima atau melakukan panggilan telepon. Seperti halnya Dennis Nicholl, perasaan terganggu juga dialami publik di sini ketika menemui hal tersebut.

Hasil jajak pendapat Kompas terhadap 378 responden nasional pada 23-24 April 2016 mengungkap sekitar tujuh dari 10 orang merasa terganggu saat ada orang lain yang menelpon dengan suara keras di tempat umum. Perempuan lebih merasa terusik atas kondisi tersebut dibandingkan laki-laki. Tidak kurang dari 73,4 persen responden perempuan merasa terganggu sementara responden laki-laki lebih sedikit (62,5 persen).

Meski demikian, hanya sekitar separuh di antara responden yang merasa terganggu itu yang memilih untuk menjauhkan diri jika mereka sendiri yang menerima telepon. Lainnya tetap menerima telepon di tempatnya dengan suara normal dan beberapa justru menaikkan volumenya. Tidak hanya kegiatan menelpon yang lazim di tempat umum. Bahkan isi pembicaraannya pun tidak lagi dianggap privat. Ini juga mengindikasikan pergeseran nilai sosial di mana percakapan melalui telepon yang merupakan kegiatan personal kini dianggap biasa dilakukan di area publik.

Saat menelpon, meskipun dengan suara normal, apa yang dibicarakan kemungkinan besar terdengar oleh orang lain. Tampaknya hal ini tidak menjadi kekhawatiran mayoritas responden pengguna telepon. Responden muda berusia 25 tahun ke bawah lebih khawatir isi pembicaraannya didengar orang lain ketika menelpon di tempat umum dibandingkan responden yang lebih dewasa. Persentase responden muda yang menjawab khawatir/agak khawatir mencapai 53,4 persen.

Teknologi sebagai medium

Gejala sosial dalam komunikasi dan relasi dalam masyarakat akibat teknologi ini sudah mengemuka dalam pandangan Marshall McLuhan pada tahun 1964. Dalam bukunya yang visioner berjudulUnderstanding Media: The Extension of Man, McLuhan menjelaskan bagaimana teknologi yang mewujud dalam apa yang disebutnya medium memengaruhi manusia dan budayanya. Meskipun pandangannya lahir dalam konteks pergeseran teknologi dari mekanis ke listrik (otomatisasi) tampaknya gagasan McLuhan masih relevan dengan konteks saat ini yang sudah masuk ke era lebih canggih, yaitu digital.


Menurut McLuhan, teknologi atau medium merupakan perpanjangan dari manusia (the extension of man) yang keberadaannya dimaksudkan untuk membantu manusia. Telepon generasi awal, misalnya merupakan perpanjangan dari indera telinga dan suara. Maknanya tidak berhenti di situ. Konsekuensi sosial yang muncul dari adanya telepon menjadi 'pesan' yang lebih penting.

Demikian juga dengan ponsel pintar beserta kekayaan fungsinya. Selain perpanjangan telinga dan suara manusia, medium tersebut mampu memenuhi aneka kebutuhan sensorik penggunanya. Melalui game, musik, video, dan gambar, ponsel pintar memproduksi dan mendistribusikan materi komunikasi manusia tanpa halangan ruang dan waktu.

Dengan fungsi tersebut, wajar jika saat ini ponsel memiliki ikatan yang cukup kuat dengan penggunanya. Tidak kurang dari 40 persen responden pemilik ponsel mengaku kesehariannya akan terganggu jika tidak menggunakan gawainya. Hal ini terutama karena mayoritas di antaranya mengaitkan gawai dengan aktivitas pekerjaan atau kuliah. Khusus di tempat umum, ponsel dimanfaatkan tujuh dari 10 responden untuk berkomunikasi dengan orang lain, baik keluarga maupun teman.

Makna sosial

Komunikasi dan interaksi sosial yang berlangsung melalui ponsel pintar, terutama di ruang media sosial terjadi di dunia maya di mana batas yang privat dan publik menjadi tidak jelas. Pola tersebut bisa jadi terbawa ke dunia nyata saat menggunakan gawainya. Di sisi lain, McLuhan mengingatkan konsekuensi dari pemanjangan diri manusia dengan teknologi membuat manusia mengalami 'mati rasa' (numbness) dari apa yang digantikan oleh teknologi tersebut sebagai keseimbangan.

Hal ini kemudian membangun kesadaran manusia akan sesuatu yang sebelumnya tidak disadari. Saat memakai ponsel untuk berkomunikasi dengan yang jauh, kepekaan dengan yang dekat cenderung akan berkurang. Ketika itu menjadi fenomena sosial maka akan mendorong terjadinya negosiasi dengan nilai-nilai budaya yang ada. Hasilnya tergantung masyarakat sendiri apakah akan menerima ataukah secara frontal menolak seperti kasus Dennis Nicholl di Chicago.

(LITBANG KOMPAS)
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger