Penjara dalam bahasa undang-undang disebut lembaga pemasyarakatan terus memproduksi masalah. Siapa pun presidennya, siapa pun yang menjadi menteri kehakiman atau menteri hukum, siapa pun yang menjadi dirjen pemasyarakatan, situasi penjara tak kunjung berubah.
Isunya tak bergerak. Jumlah penghuni penjara kita melebihi kapasitas. Menurut catatan Kementerian Hukum dan HAM, total tahanan dan napi pada 2016 sebanyak 187.701 orang. Dari jumlah itu, data per 25 April 2016, tahanan/napi narkotika mendominasi. Jumlahnya 81.360 orang, sementara kapasitas yang ada 119.269 orang. Reportase harian ini menggambarkan bagaimana napi tidur di toilet atau tidur sambil berdiri karena penghuni sel melebihi kapasitas.
Isu lain yang dimunculkan adalah adanya peraturan pemerintah (PP) yang memperketat pemberian remisi terhadap napi narkotika, terorisme, dan korupsi. PP itu dijadikan "kambing hitam" membuat napi stres dan mudah tersulut emosinya. Banyaknya pencandu narkotika yang dimasukkan ke penjara, padahal bisa direhabilitasi, semakin memenuhi penjara kita.
Belum ada penelitian komprehensif soal terjadinya kerusuhan di penjara, termasuk apakah PP itu dianggap sebagai akar masalah membuat napi mudah tersulut emosinya. Masalah ini menjadi dilematis. Jika remisi tiga tindak pidana itu diobral, memberikan kesan pemerintah lembek terhadap korupsi, narkotika, dan terorisme. Padahal, tindak pidana itu tergolong kejahatan luar biasa.
Kita berharap pembahasan RUU KUHP dan revisi KUHAP yang sedang dibahas DPR ikut memikirkan soal kondisi penjara. Perlu diintrodusir sistem pemidanaan baru, termasuk kerja sosial, untuk tindak pidana tertentu sehingga tidak semua orang harus dipenjara. Dalam beberapa kasus, penjara menjadi sekolah kejahatan yang menandakan filosofi penjara untuk memasyarakatkan kembali belum berhasil. Ada beberapa terpidana teroris adalah bekas napi yang pernah dipenjara.
Selain soal perlunya dipikirkan sistem pembinaan baru, pemerintah juga perlu memikirkan bagaimana mengatasi kondisi penjara yang penghuninya berlebih. Apakah perlu mendistribusikan napi ke penjara lain yang tingkat huniannya lebih rendah atau malah membangun penjara baru yang modern, yang lebih menjamin bisa berlangsungnya proses pemasyarakatan kembali para napi.
Setiap ada tantangan membutuhkan respons konkret dan tidak menjadi perdebatan. Bukankah itu esensi dari Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo. Kerja, kerja, dan kerja. Bukan wacana, wacana, dan wacana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar