Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 11 April 2016

TAJUK RENCANA: Pelajaran dari Eslandia (Kompas)

Banyak pelajaran yang bisa ditarik dari kasus mundurnya Perdana Menteri Eslandia Sigmundur David Gunnlaugson karena skandal Panama Papers.

Gunnlaugson adalah pemimpin negara pertama yang terpaksa mundur akibat kebocoran dokumen finansial yang berasal dari firma hukum Mossack Fonseca yang berkantor pusat di Panama. Dalam dokumen tersebut, nama Gunnlaugson dan istrinya disebut. Mereka memanfaatkan perusahaan di luar negeri untuk menyimpan aset senilai jutaan dollar Amerika Serikat dalam bank di Eslandia. Bank itu dinyatakan sebagai bank gagal terkait krisis moneter global pada 2008.

Kepemilikan tersebut tidak diketahui rakyatnya, sampai akhirnya ada kebocoran dari dokumen dari Panama itu. Dari sinilah persoalan bermula. Masyarakat menganggap bahwa Gunnlaugson telah menyengsarakan rakyatnya.

Eslandia adalah negeri kecil, dengan jumlah penduduk 331.918 jiwa (Sensus Penduduk Juli 2015), dengan luas wilayah daratan dan laut 103.000 kilometer persegi (bandingkan dengan Indonesia yang memiliki luas seluruhnya 1.904.569 km persegi dan memiliki penduduk berdasarkan Sensus Penduduk Juli 2015 sejumlah 255.993.674 jiwa).

Meski Eslandia adalah negeri kecil, baik dari luas wilayah maupun jumlah penduduk, negeri itu dikenal sebagai negeri paling damai di dunia. Tindak kriminal jarang terjadi. Eslandia negeri yang tergolong bersih dari urusan korupsi. Menurut Indeks Persepsi Korupsi 2015, Eslandia menempati urutan ke-13 (sama dengan Australia) dari 167 negara yang disurvei. Indonesia menempati urutan ke-88, sementara urutan terbawah adalah Somalia (ke-167). Eslandia memiliki skor 79 (skor 0 berarti sangat korup dan skor 100 berarti sangat bersih); skor Indonesia adalah 36, sementara Somalia 8.

Tidak ada bukti bahwa investasi keluarga Gunnlaugson di luar negeri, termasuk dana curian, atau sesuatu yang tidak sah. Rakyat Eslandia percaya itu. Dan, bukan karena itu rakyat Eslandia marah, lalu turun ke jalan menuntut Gunnlaugson mundur (Gunnlaugson mundur dan sudah terpilih perdana menteri baru), dan menuntut pemilu baru. Mereka marah karena menganggap krisis ekonomi pada 2008 yang membuat perekonomian Eslandia terpukul memberikan pelajaran kepada para pemimpin untuk bertindak terbuka, jujur, dan tidak main belakang.

Rakyat Eslandia merasakan bahwa kepercayaan yang diberikan kepada pemerintah—dalam hal ini perdana menteri, yang diam-diam memiliki investasi di luar negeri—untuk membangun negeri dikhianati. Di mana-mana, termasuk di Indonesia, dibutuhkan pemimpin yang senantiasa jujur, bersikap adil, responsif terhadap kebutuhan publik, dan kompeten untuk menepati janji. Dengan kata lain, integritas publik seorang pemimpin juga ditunjukkan dalam kemampuan memegang amanah rakyat.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 April 2016, di halaman 6 dengan judul "Pelajaran dari Eslandia".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger