Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 05 April 2016

TAJUK RENCANA: Program Studi Kedokteran (Kompas)

Senin (4/4), kita membaca berita tentang kesenjangan antara jenis sarjana yang dibutuhkan dan dihasilkan, serta masalah program studi kedokteran.

Untuk yang pertama disebutkan, perguruan tinggi di Indonesia belum mampu memberikan apa yang dibutuhkan oleh pembangunan dan perkembangan industri. Ini terjadi, antara lain, karena tidak ada acuan pokok mengenai kebutuhan tenaga kerja secara nasional untuk berbagai bidang pekerjaan.

Bidang ilmu sains-teknik memiliki 10.135 program studi (prodi) atau 43 persen, dan sosial-humaniora 13.611 prodi sekitar 57 persen. Dari jumlah mahasiswa, hingga Maret, hanya 30,5 persen (1.593.882) yang menekuni bidang sains-keteknikan, sedangkan yang menekuni sosial-humaniora 69,5 persen (3.634.679).

Perihal kecilnya minat untuk bidang sains-keteknikan di kalangan lulusan SMA, hal itu sudah ditengarai sejak satu dekade terakhir. Begitu pula konsekuensi yang muncul, kurangnya pasokan tenaga keinsinyuran. Menurut Persatuan Insinyur Indonesia, Indonesia sedang dilanda krisis insinyur dengan kekurangan pasokan sekitar 15.000 insinyur per tahun.

Situasi ini mengandung ironi karena pemerintahan Presiden Joko Widodo giat membangun infrastruktur, seperti jalan, waduk, jembatan, dan kelistrikan. Itu belum menyebut teknologi informasi-komunikasi (TIK). Yang terakhir ini penting mengingat ekonomi Indonesia memasuki ekonomi kreatif yang bertumpu pada TIK.

Untuk kedokteran, kita diingatkan agar saksama dalam membuka dan memperluas prodi ini. Hal itu dikaitkan dengan pembukaan delapan prodi kedokteran baru oleh Menristek dan Dikti. Ada semangat yang berbeda antara Kemristek Dikti dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Menristek dan Dikti M Nasir mengatakan, untuk memastikan layanan kesehatan di setiap provinsi lebih terjamin, sebaiknya didirikan fakultas kedokteran di semua provinsi.

Pandangan ini tentu mengacu pada kondisi layanan kesehatan yang dikaitkan dengan kesenjangan antara jumlah dokter dan jumlah penduduk yang perlu dilayani. Namun, argumen ini disanggah IDI karena sejak awal tahun 2015, rasio kecukupan dokter untuk Indonesia sudah dilampaui, yaitu 40,5 dokter untuk setiap 100.000 penduduk. Rasio yang baik 40 dokter per 100.000 penduduk.

Masalahnya bukan jumlah atau rasio, tetapi sebaran dokter yang bermasalah karena sekitar separuh dokter berada di Jawa dan Bali. Kalau separuh dokter ada di Jawa dan Bali, artinya daerah lain belum terlayani dengan baik.

Kita berpandangan, baik saja membuka prodi kedokteran, tetapi hal ini tetap harus disertai dengan syarat yang ketat mengingat profesi dokter berkaitan langsung dengan nyawa dan keselamatan manusia.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 April 2016, di halaman 6 dengan judul "Program Studi Kedokteran".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger