Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 03 Mei 2016

Aus Kebudayaan (MUHAMMAD JA’FAR)

Dalam kunjungan Presiden Joko Widodo ke Eropa, beberapa waktu lalu, Indonesia dapat pujian soal pendekatannya yang tepat dalam memerangi terorisme dan ekstremisme.

Perdana Menteri Inggris David Cameron sangat terkesan dengan pendekatan Indonesia menanggulangi ekstremisme dan terorisme melalui implementasi nilai toleransi. Kanselir Jerman Angela Merkel memuji sistem kemasyarakatan yang terbangun di negara kita, sehingga nilai toleransi terjaga dan mampu mencegah konflik (Kompas, 20/4).

Ada dua latar belakang yang membuat Indonesia sangat berkesan di mata mereka. Pertama, saat ini negara-negara tersebut sedang dipusingkan problem ekstremisme dan ancaman terorisme, dengan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) sebagai ikon gerakannya.

Kedua, selama ini, pemimpin dan masyarakat Eropa memersepsikan Islam cenderung pada Timur Tengah. Efeknya, proyeksi mereka tentang ekstremisme dan terorisme mengarah pada kawasan Timur Tengah sebagai sumbunya. Muncullah fobia: Islam identik dengan kekerasan.

Melihat fenomena Islam Indonesia yang sebaliknya (ramah, damai, dan toleran), para pemimpin Eropa tentu terkesan. Indonesia menghadapi problem ekstremisme dan terorisme dengan pendekatan lunak.

Dalam forum General Briefing on Counter Terrorism, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Tito Karnavian menyatakan, pendekatan lunak jadi tulang punggung Indonesia menanggulangi sebaran ideologi ekstrem dan teror. Hal ini dilakukan lewat penguatan tiga ideologi, yaitu Islam Nusantara, Pancasila, dan demokrasi. Tiga varian ini lahir dari rahim kebudayaan Indonesia.

Kebudayaan Timur Tengah

Michael Hudson dalam The Elements of Arab Identity  (1977) menyimpulkan, perpolitikan di Timur Tengah hanya bisa dipahami dengan melihat aspek identitas kultural dan budaya masyarakat Arab. Inilah perangkat lunak yang mendirikan budaya politik di kawasan ini. Dan, dua elemen penting dalam budaya politik Timur Tengah adalah bahasa Arab dan Islam sebagai agama.

Drysdale dan GH Blake (1985) membagi heterogenitas budaya di Timur Tengah dan Afrika Utara menjadi empat kategori besar. Pertama, negara-negara yang berbeda bahasa, tetapi kohesif secara agamis (Maroko, Aljazair, dan Iran).

Kedua, negara-negara yang berbeda agama, tetapi sama dalam bahasa (Mesir, Arab Saudi, Yaman, Lebanon, dan Suriah).

Ketiga, negara-negara yang memiliki bahasa dan basis keagamaan yang berbeda (Turki, Irak, Ciprus, Sudan, dan Israel).

Keempat, negara-negara yang memiliki bahasa dan basis keagamaan yang berbeda serta penduduk imigran dan asli (Palestina, Kuwait, Qatar, dan Uni Emirat Arab).

Budaya politik di kawasan Timur Tengah juga cenderung berbasis kekuatan kelompok. Menurut Ibnu Khaldun,Mukaddimah (2015), fanatisme golongan pada bangsa Arab amat kuat.

Itulah basis kebudayaan negara-negara Timur Tengah. Namun, di sana kebudayaan tidak memainkan peran dominan sebagai pelebur sekat-sekat sosio- politik-agama. Sebaliknya, dalam batas tertentu kebudayaan justru jadi sumber masalah tersendiri karena tampil sebagai tembok pemisah. Ada beberapa indikasi lemahnya peran kebudayaan ini.

Pertama, hingga saat ini dikotomi nasionalis (kearaban) dan keislaman belum selesai. Friksi masih terjadi. Kebudayaan belum berhasil "mencairkan" dikotomi tersebut. Eksesnya, keterbelahan sosial-keagamaan terjadi dalam berbagai kelompok: nasionalis vs Islamis.

Kedua, dikotomi negara sekuler atau negara agama masih panas hingga saat ini. Turki kini sedang mengalaminya. Kebudayaan belum berhasil membangun jati diri kebangsaan-kenegaraan yang mengatasi keterjebakan pada dikotomi tersebut. Kegagalan Arab Springmembangun demokrasi di Timur Tengah karena lemahnya peran kebudayaan.

Ketigasekat-sekat kebudayaan (suku, ras, dan mazhab) belum lebur dalam sebuah "payung" kebudayaan bersama. Padahal, ini peran utama strategi kebudayaan. Dampaknya, konflik Sunni, Wahabi, dan Syiah selalu panas di Timur Tengah. Sekat Arabisme, Persianisme, dan Kurdiisme juga masih kuat tegangannya.

Sebenarnya, Timur Tengah memiliki modal kebudayaan yang kuat. Namun, di sana kebudayaan masih dalam wujud "bahan baku" utuh yang belum terinternalisasi dan terintegrasi ke dimensi kehidupan lain, seperti politik, sosial, dan agama.

Bukannya jadi payung dan pencair sekat-sekat, kebudayaan malah sering berfungsi sebaliknya. Pertama, menciptakan sekat tersendiri yang kian menambah kompleksitas dikotomi dan sentimen di atas. Kedua, bukan mencairkan, malah menambah kekakuan dikotomi dan sentimen di atas. Ketiga, semakin meruncingkan friksi dalam dikotomi dan sentimen tersebut.

Kebudayaan Indonesia

Sebaliknya di Indonesia, kebudayaan jadi "oksigen" yang keberadaannya tak terlihat, tetapi fungsinya signifikan menjalar ke semua ruang sosial. Kebudayaan ada di mana-mana dan menjadi napas hidup realitas kebangsaan- kenegaraan. Kebudayaan menjalankan peran sebagai titik temu sekaligus titik lebur berbagai konfigurasi sosial-agama. Di oase kebudayaan, sekat perbedaan dan dikotomi menjadi luruh, tetapi tanpa kehilangan kekhasan entitas masing-masing.

Karena itu, meskipun di Indonesia kategorisasi sosialnya lebih kompleks dibandingkan Timur Tengah, tetapi berbagai dikotomi telah selesai sebagai proses pencarian jati diri kebangsaan-kenegaraan. Keragaman agama lebur di bawah prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila, menuntaskan dikotomi sekularisme dan agamisme.

Islam pun bertautan dengan kenusantaraan. Faksionalisasi politik berbasis kesukuan, yang dahulu ditandai terbentuknya Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Celebes, lebur di bawah konstitusi UUD 1945. Kesukuan, ras, dan golongan juga diwadahi bersama oleh spirit nasionalisme di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, seluruh dikotomi tuntas dilalui dengan menggunakan kebudayaan sebagai kendaraan. 

Di Indonesia kebudayaan menjalankan peran pada tingkat esoterik dan parenial, sementara di kawasan Timur Tengah di tingkat eksoterik dan periferal. Indonesia memiliki imperium-imperium kebudayaan, seperti ormas Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan berbagai organisasi kemasyarakatan lainnya. Ini kekuatan sipil yang tumbuh secara natural, yang berperan sebagai penyeimbang negara, sekaligus penopang kerja negara.

Peran ormas tersebut sangat meringankan tugas negara karena pengaruhnya sosial-budaya- keagamaannya mencakup hampir separuh warga negara Indonesia. Di Timur Tengah, fenomena ini tidak akan kita dapatkan. Kekuatan sipil lemah. Kalaupun ada, posisinya vis a vis negara, akibat dikotomi yang tak tuntas. Bukannya meringankan, keberadaannya justru membebani negara. Ini efek ausnya peran kebudayaan. Karena itu, negara di kawasan Timur Tengah harus lebih intensif menggunakan pendekatan kebudayaan.

Karena kebudayaan harta paling berharga yang dimiliki Indonesia, negeri ini harus diselamatkan dari segala potensi terjadinya krisis kebudayaan. Beberapa tahun belakangan ini kebudayaan terasa semakin minim fungsi dan perannya.

Politik, sosial, dan agama semakin teralienasi dari kebudayaan. Perpolitikan semakin "kering" dari nalar kebudayaan. Tata sosial diserbu kebudayaan asing. Kehidupan beragama semakin memusuhi kebudayan, karena dianggap bid'ah. Aksi dan jaringan teror atas nama agama semakin masif. Survei The Pew Research Center tentang sikap global terhadap NIIS menunjukkan 10 juta (4%) WNI mendukung NIIS.

Ini semua pertanda sedang tergerusnya kebudayaan dari ruang keagamaan karena ideologi NIIS sangat anti-kebudayaan. Selama bangsa-negara ini tidak ingin terkoyak konflik, seperti yang dialami Timur Tengah, selama itu pula kita harus menjaga dan mengintensifkan fungsi-peran kebudayaan kita.

MUHAMMAD JA'FAR

KETUA PUSAT STUDI HUBUNGAN INDONESIA-TIMUR TENGAH

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Mei 2016, di halaman 7 dengan judul "Aus Kebudayaan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger