Ini kisah teman saya di Tasikmalaya. Di SD swasta yang dikelola keluarga besarnya, seorang siswa tunanetra menemukan "rumah"-nya. Anak itu pernah belajar di satu sekolah luar biasa (SLB), tetapi tak bertahan lama. Lalu ia pindah ke SD lain dan tak kerasan juga. Akhirnya ia diterima dan nyaman belajar di sekolah tersebut.
Sayangnya, kehadiran siswa tunanetra di sekolah membuat resah sejumlah pihak. Sebagian berpendapat bahwa siswa tunanetra tak boleh sekolah bersama anak-anak "normal". Sebagian lagi mengatakan, kehadiran tunanetra dapat merusak reputasi sekolah: "Tunanetra saja diterima, pasti sekolahnya tak selektif." Lebih mengejutkan lagi, ada pihak terkait di Tasikmalaya yang mengatakan bahwa sekolah itu telah melanggar peraturan.
Pendidikan eksklusif
Sampai kisah itu diceritakan kepada saya, beberapa waktu lalu, yayasan bersikukuh mendidik tunanetra semata-mata demi rasa kemanusiaan. Mereka lega sekali ketika diyakinkan bahwa bercampurnya siswa tunanetra di sekolah justru sesuai Pasal 24 Convention on the Rights of People with Disability yang telah diratifikasi dalam UU No 19/2011 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas.
Sikap menolak siswa difabel itu dipengaruhi pandangan lama tentang disabilitas. Dulu, orang melihat sumber masalah disabilitas pada diri si difabel. Misalnya, seorang tunanetra tidak dapat membaca buku karena ia tidak dapat melihat; bukan karena faktanya ia tak diberi buku Braille.
Dalam hal pendidikan, implikasi pandangan yang melihat difabel sebagai sumber masalah melahirkan pendekatan eksklusif-rehabilitatif dalam bentuk penyelenggaraan SLB. Para tunanetra dikumpulkan satu kelas dengan untuk belajar apa-apa yang dianggap "normal" dipelajari tunanetra. Tunarungu berkumpul dengan tunarungu untuk mempelajari apa yang dianggap "normal" dipelajari tunarungu. Karena mereka "cacat", tugas lembaga pendidikan adalah merehabilitasi mereka.
Pendekatan eksklusif juga melahirkan disiplin ilmu eksklusif. Dengan melihat difabel sebagai sumber masalah, lahirlah asumsi-asumsi tentang ketakmampuan difabel. Sejumlah program studi menetapkan bahwa disiplin ilmu mereka tak dapat dikuasai oleh difabel. Sampai tahun lalu, ada banyak program studi eksklusif seperti ini di Indonesia.
Mereka berpandangan, misalnya, ketunanetraan dapat jadi alasan menolak calon mahasiswa difabel. Kalau program studi teknik elektro mungkin masuk akal menolak tunanetra; tetapi bagaimana dengan prodi ilmu sosial? Dapatkah prodi psikologi menolak tunanetra hanya karena salah satu alat tes psikologi menggunakan peraga visual?
Perspektif pendidikan eksklusif-rehabilitatif berdampak pada pandangan yang diskriminatif. Karena pendidikan eksklusif menolak difabel di program studi mereka, pasar tenaga kerja turut menolak profesi tertentu untuk kaum difabel. Tunanetra tak mungkin menjadi dokter. Tunanetra tidak mungkin menjadi fotografer. Tunanetra tak mungkin menjadi psikolog.
Pendidikan inklusif
Faktanya, apa yang disebut normal itu tidak selalu mustahil. Di India, fotografer Bhavesh Patel menjadi salah satu buktinya. Talenta fotografinya menarik minat perusahaan sabun mandi ternama. Ia dikontrak untuk sebuah proyek pembuatan gambar iklan dengan model bintang papan atas Bollywood, Katrina Kaif.
Di Amerika Serikat ada David Hartman, tunanetra pertama yang berhasil menyelesaikan kuliah di fakultas kedokteran. Dengan bantuan tulus para dosen dan teman relawan yang mengalihsuarakan buku kedokteran dalam pita rekaman, Hartman mampu lulus berbagai ujian, termasuk kompetensi bedah-hal paling mustahil yang dapat dijadikan argumen menolak tunanetra mendaftar di fakultas kedokteran.
Masih ada banyak kasus lain yang tak dapat dikisahkan di sini untuk membuktikan adanya kemungkinan bidang ilmu yang dapat dikuasai para difabel. Terpenting, kisah mereka disatukan satu benang merah: pendidikan yang inklusif. Pendidikan inklusif adalah pendidikan umum yang memberi kesempatan dan dukungan fasilitas kepada para difabel belajar bersama-sama dengan siswa/mahasiswa nirdifabel.
Berbeda dengan pendekatan eksklusif-rehabilitatif yang menempatkan difabel sebagai masalah, pendidikan inklusif mengalihkan fokus masalah pendidikan pada lembaga dan lingkungan belajarnya.
Dalam pendekatan inklusif, kebutaan bukan masalah dalam pendidikan. Masalahnya ada pada bahan ajar, buku bacaan, metode pembelajaran, kurikulum, dan guru yang mengabaikan kebutuhan tunanetra dalam mengakses pengetahuan.
Pendidikan inklusif, karena itu, adalah pintu kesetaraan pendidikan bagi difabel. Kesetaraan pendidikan menjadi modal bagi kesetaraan sosial. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa pendidikan seseorang berkorelasi signifikan dengan tingkat kesejahteraannya. Jika pintu pendidikan inklusif tidak dibuka bagi difabel, upaya pemerintah menyejahterakan difabel akan sulit tercapai.
Pemerintah pusat dan sejumlah daerah memang sudah memulai usaha pengembangan pendidikan inklusif, tetapi kasus-kasus semisal di Tasikmalaya itu masih sering terjadi di tempat lain. Tidak hanya di tingkat pendidikan dasar, terlebih lagi di pendidikan tinggi.
Hari Pendidikan tahun ini kebetulan bersamaan dengan disahkannya UU No 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas yang banyak mengadopsi ide-ide pendidikan inklusif. Dua momentum yang tepat untuk mewujudkan pendidikan inklusif bagi para difabel di Indonesia.
ARIF MAFTUHIN
Peneliti di Pusat Layanan Difabel, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Mei 2016, di halaman 6 dengan judul "Menanti Hari Pendidikan Inklusif".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar