Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 24 Mei 2016

TAJUK RENCANA: Kemajemukan dan Toleransi (Kompas)

Judul dua berita dan survei yang dimuat, Senin (23/5), berbeda, tetapi semangatnya bertalian dan senada. Ada soal kemajemukan dan toleransi.

Dari berita tentang Pergerakan Indonesia Maju (PIM) yang berlangsung di Jakarta, Sabtu (21/5), kita membaca pidato Ketua Dewan Nasional PIM Din Syamsuddin tentang kemajemukan. Din menegaskan, kemajemukan Indonesia sudah selayaknya dipandang sebagai anugerah, sekaligus kekuatan memajukan bangsa, bukan kelemahan yang memicu perpecahan.

Namun, dalam berita tentang Indonesia yang semakin tidak menghormati HAM, kita membaca bahwa negara dan masyarakat masih sulit menerima keberagaman. Hal ini disampaikan Koordinator Jaringan Komunikasi Antarumat Beragama Wawan Gunawan. Sebagai negara demokrasi, Indonesia harus berani menerima keberagaman. Tanpa penegakan HAM dan hukum yang menghargai keberagaman, demokrasi di Indonesia tidak pernah nyata.

Dalam jajak pendapat Kompas muncul juga pandangan, semangat kebersamaan bangsa Indonesia saat ini makin lemah. Hal ini dinyatakan 41,7 persen responden, yang menilai kebersamaan semakin kuat hanya 33,5 persen.

Ingin kita tegaskan bahwa keberagaman di antara kita—dari berbagai sisi—merupakan hal nyata dan harus menjadi kekuatan. Bapak pendiri bangsa, Bung Karno, kita kenang sebagai pemimpin yang tak henti-hentinya menyerukan persatuan, mendorong kemajuan bangsa.

Kini, oleh karena kesibukan mengejar pertumbuhan ekonomi, pembangunan kebangsaan seolah bukan prioritas. Ada slogan revolusi mental seperti dicanangkan Presiden Joko Widodo, tetapi gaungnya sayup-sayup, bahkan nyaris tak terdengar. Lebih penting lagi, harus kita akui hasilnya belum ada.

Ketika fondasi kebangsaan masih lemah, negara masih perlu turun tangan. Namun, menurut survei Kompas, masyarakat masih banyak yang tidak puas terhadap peran lembaga negara dalam memperkuat nilai-nilai kebangsaan (56,9 persen).

Sejauh ini, banyak waktu, tenaga, dan pikiran yang masih dicurahkan untuk mengelola perbedaan di antara partai politik yang menjadi pilar demokrasi. Kini, setelah Presiden bisa mengukuhkan dukungan politik, semestinya terkumpul daya untuk membereskan berbagai pekerjaan rumah, selain infrastruktur, juga transformasi kemajemukan menjadi daya bangsa. Pembangunan karakter bangsa harus kita prioritaskan. Jika tidak, Indonesia terus akan terjajah secara ekonomi.

Ayo kita renungkan kembali masalah ini, lalu melangkah maju dengan pintar mengelola kemajemukan yang ada untuk menjadi bangsa yang kuat dan berjaya.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Mei 2016, di halaman 6 dengan judul "Kemajemukan dan Toleransi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger