Bagaimanapun, komitmen Presiden Joko Widodo dan pemerintah perlu diapresiasi. Sejak September 2015 ada perubahan signifikan yang dirasakan dalam rangka respons pemerintah terhadap melambatnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia dan dunia. Sesuai pengumuman September 2015, arah kebijakan pemerintah terpusat kepada tiga hal: membangun ekonomi makro yang kondusif, menggerakkan ekonomi nasional, dan melindungi masyarakat berpendapatan rendah.
Paket pertama diluncurkan September 2015, dan sampai saat ini sudah ada 12 paket deregulasi diumumkan. Dalam satu kesempatan pada pertemuan masyarakat di Washington DC, AS, Oktober 2015, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa beliau siap melakukan 100 paket deregulasi jika diperlukan untuk menggerakkan ekonomi nasional. Ditambah lagi, janji Presiden baru-baru ini untuk menghapus 3.000 peraturan daerah (perda) yang mempersulit usaha bisa dimulai dan beroperasi.
Lima kiat
Kita tak meragukan keseriusan pemerintah untuk melakukan deregulasi, debirokratisasi, dan pemberian insentif fiskal dalam menggerakkan ekonomi nasional, dan kita semua berharap semua ini dapat membuahkan peningkatan investasi, pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan kesejahteraan bagi rakyat. Bagaimana memastikan itu? Dari segi pengalaman Indonesia ataupun negara lain, keberhasilan deregulasi dan reformasi paling tidak terkait lima kiat penting.
Pertama dan paling fundamental tentu adalah kejelasan mengenai tujuan dari deregulasi yang dijalankan. Saat ini, fokus paket lebih kepada deregulasi dan kepada penyederhanaan, debirokratisasi dan perbaikan pelayanan untuk memperoleh berbagai macam izin. Tentu ini positif untuk iklim usaha, tetapi ini bukan hal baru dan lanjutan untuk menuntaskan penerapan pelayanan terpadu satu pintu.
Target juga terkait peningkatan peringkat Indonesia dalam Costs of Doing BusinessBank Dunia, dari ke-114 dari 182 negara saat ini (30 di bawah Vietnam!). Perkembangan positif lain adalah kepastian untuk peningkatan UMR dengan PP yang mengatur kenaikan UMR yang dikaitkan dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi, serta keberpihakan kepada UMKM melalui kemudahan perizinan dan subsidi bunga kredit usaha rakyat (KUR).
Namun, ada perbedaan antara deregulasi dan debirokratisasi dan reformasi. Alangkah lebih baik jika paket-paket perubahan kebijakan ekonomi berada dalam kerangka reformasi yang lebih luas, terarah, dan jangka pendek, serta jangka panjang, termasuk mengantisipasi berbagai hal yang akan menjadi komitmen internasional Indonesia ke depan. Reformasi berarti mengubah kebijakan secara fundamental, misalnya untuk tenaga kerja bukan saja sekadar kepastian penetapan UMR, melainkan juga bagaimana kaitannya kepada produktivitas dan berbagai peraturan di UU Tenaga Kerja yang perlu diperbaiki. Reformasi juga bukan sekadar mengurangi ekonomi biaya tinggi, melainkan juga mengubah kebijakan dan hambatan yang menghambat peningkatan produktivitas dan inovasi ke depan.
Indonesia sudah menjadi anggota Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), sedang dalam negosiasi untuk East Asia RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership), secara bilateral dengan Uni Eropa dan Australia serta menyiapkan diri untuk Trans Pacific Partnership. Pertanyaan utama yang harus dijawab adalah bukan apakah Indonesia siap atau tidak, melainkan apa yang harus disiapkan dan perlu waktu berapa lama. Jika konteks ini digunakan untuk merancang reformasi yang ingin dilakukan tanpa melupakan kepentingan nasional, reformasi dalam negeri dapat disiapkan sehingga juga menunjang komitmen internasional dan membuat daya saing Indonesia sebanding dengan negara pesaingnya. Yang paling dekat di depan mata, antara lain, Blueprint MEA 2016-2025 akan disepakati tahun ini. Cetak Biru tersebut bisa digunakan sebagai kerangka besar reformasi dalam negeri dan hal tersebut juga akan membantu kesiapan dalam negosiasi internasional yang lain.
Hambatan yang akan masuk cetak biru MEA antara lain terkait berbagai regulasi/peraturan yang masuk dalam kategori hambatan nontarif di bidang perdagangan, industri, pertanian, dan investasi yang perlu dibuat transparan dan dibenahi. Sementara untuk investasi tidak saja melakukan review terhadap daftar negatif investasi (DNI), tetapi bagaimana DNI bagian dari instrumen untuk menarik investasi yang akan meningkatkan peran Indonesia dalam proses yang bernilai tambah dan di mata rantai produksi barang dan jasa-jasa. Terkait investasi, berbagai peraturan dan UU yang tak konsisten dengan investasi serta kepastian posisi Indonesia terhadap penyelesaian sengketa antara penanaman modal asing dan pemerintah, juga bagian dari kebijakan yang perlu ada reformasi.
Kedua adalah peraturan implementasi dan kesiapan lembaga dan SDM. Dari sejumlah paket deregulasi, ada sejumlah peraturan implementasi yang belum diterbitkan, seperti Perpres Daftar Negatif Investasi. Di samping itu, apakah SDM dan lembaga dan instansi pemerintah yang terkait sudah disiapkan untuk dapat memberi pelayanan dengan keberadaan SOP (standard operating procedure) dan SLA (service level agreement) seperti tercantum dalam penjelasan paket deregulasi? Memang ada argumentasi kalau menunggu semua siap baru dilaksanakan, maka proses dan kemajuan akan lamban. Jadi, lebih baik diumumkan walaupun belum seratus persen siap agar ada timeline dandeadline yang harus dipenuhi. Secara prinsip, pendapat kedua sah-sah saja asalkan memang dilaksanakan dalam waktu yang tidak terlalu lama karena kalau tidak kredibilitas dari paket-paket ini menjadi dipertanyakan. Untuk mencegah hal tersebut, kiat-kiat berikut menjadi penting.
Ketiga, monitoring dan evaluasi yang dilakukan secara independen dan obyektif. Hal ini bisa dilakukan di dalam pemerintah dengan membuat timmonitoring dengan kejelasan siapa yang harus melakukan apa dan kapan. Banyak cara untuk melaksanakan ini dan umumnya dibentuk suatu tim nasional yang diketuai Presiden dan ketua harian Menko Perekonomian. Apa pun nama dari tim itu, berdasarkan pengalaman, yang penting adalah tim itu dilengkapi dengan sekretariat atau tim kerja yang melakukan monitoring penuh waktu secara profesional dan mempunyai otoritas untuk melacak kepada instansi-instansi terkait; tim melakukan pelaporan secara berkala kepada pimpinan tertinggi, yaitu Presiden atau yang ditunjuk dan didukung oleh Presiden sebagai koordinator; dan kemitraan dengan para pemangku kepentingan (stakeholders), termasuk mengumumkan hasil monitoring dan evaluasi secara transparan dan berkala.
Keempat, penilaian kepuasanstakeholders atas implementasi deregulasi dan perubahan kebijakan di lapangan. Seremoni pengumuman paket-paket deregulasi yang kelihatan banyak bukan tujuan final pemerintah. Tujuan final seharusnya adalah bahwa deregulasi dan reformasi kebijakan yang dilakukan efektif mencapai target dalam jangka pendek dan menengah.
Mengukur efektivitas
Ada dua cara utama menilai apakah kebijakan yang diambil tepat. Pertama dengan bermitra dengan parastakeholder yang dapat berinteraksi dan memberi masukan secara berkala sehingga jika ada kebijakan yang kurang tepat masih dapat dilakukan revisi. Tentunya pihak pemerintah harus mempunyai cara yang obyektif untuk menilai keabsahan dari masukan mitra. Cara kedua, melakukan survei independen untuk menilai apakahstakeholders telah memperoleh pelayanan yang sesuai. Beberapa tahun lalu, beberapa lembaga, seperti Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan BKPM, menggunakan lembaga independen dan kredibel untuk melakukan survei kepuasan stakeholders, dan atas survei itu, berbagai perubahan dan perbaikan dilakukan.
Kelima, pengalaman melaksanakan deregulasi dan reformasi yang efektif terpulang kepada adanya champion atau penjuru yang ditugaskan oleh pemerintah sebagai pendorong proses reformasi itu. Bisa di tingkat menteri atau beberapa menteri, dan reformasi dapat dilakukan secara bertahap mengingat kompleksitas Indonesia sebagai negara serta proses koordinasi yang tidak selalu mudah, termasuk antar- kementerian dan antarpusat dan daerah. Misalnya, saat reformasi awal di Kementerian Keuangan untuk pajak dimulai dengan pelayanan pembayar pajak besar sebelum secara bertahap dilaksanakan untuk semua. Atau saat awal penerapan Indonesia National Single Window, dimulai dengan beberapa instansi yang SOP- nya diseragamkan dan dibuat dalam suatu sistem dan dijalankan di Batam dan Tanjung Priok, sebelum diperluas untuk semua instansi dan pintu masuk lain. Dalam konteks sekarang, izin awal investasi dalam 3 jam untuk investasi di atas Rp 100 miliar dan di kawasan industri diharapkan dapat juga diperluas untuk semua.
Kami optimistis bahwa tekad dan keinginan pemerintah untuk meningkatkan daya saing Indonesia dan menggerakkan ekonomi nasional sangat serius. Tinggal bagaimana melakukannya dengan lebih efektif dalam kerangka reformasi yang jelas dan terkait dengan strategi pembangunan ekonomi nasional serta komitmen internasional.
MARI PANGESTU
Profesor Ekonomi Internasional, FEB-UI
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Mei 2016, di halaman 6 dengan judul "Kiat Paket Deregulasi Efektif".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar