Kondisinya sama seperti ketika rencana eksekusi mati akan dilaksanakan, baik jilid I maupun jilid II. Kejaksaan Agung yang secara struktural legal masuk dalam kelompok retensionis berhadapan dengan kelompok abolisionis, kelompok yang ingin mempertahankan versus kelompok yang ingin menghapuskan pidana mati dari KUHP.
Penegasan Kejaksaan Agung, dengan tetap menghargai pendapat yang berbeda, tetap akan melaksanakan eksekusi, tidak akan memupus wacana pro dan kontra. Jalan tengahnya, kita ingatkan dan harapkan Kejaksaan meneliti kembali dengan saksama mereka yang akan dieksekusi, pun selalu dikatakan sudah berkekuatan tetap. Hak-hak mereka sebagai terpidana ataupun proses peradilannya perlu dihargai.
Setiap keputusan hakim selalu didasarkan pada tujuan agar terjadirestorative justice (keadilan yang memulihkan). Keputusan hakim hendaknya menampakkan pidana berdampak korektif dalam masyarakat, rehabilitatif terhadap narapidana, dan restoratif dalam kebersamaan.
Tidak mudah memberlakukan prinsip keadilan dalam proses peradilan di atas dalam hal hukuman mati. Karena itu, kelompok abolisionis mempersoalkan dihapuskannya perampasan hak hidup dan kemerdekaan manusia. Sebaliknya, kelompok retensionis menganggap hukuman mati merupakan sarana terbaik menghadapi kejahatan besar-luar biasa, seperti kasus kejahatan narkoba dan terorisme.
Dalam kondisi demikian, ketika hukuman menjadi silih—bedakan dengan konsep balas dendam atas perbuatan jahat—kepentingan umum dan lebih besar perlu diberi prioritas. Taruhlah contoh, ketika masyarakat dihadapkan pada merebaknya kejahatan narkoba—yang mengancam peradaban modern—eksekusi hukuman mati memang minus malum (yang sedikit kejelekannya).
Dilema itulah yang dihadapi negara-negara yang mencoba menyeimbangkan antara penghargaan hak asasi manusia dan kerusakan yang diakibatkan kejahatan besar-luar biasa. Niscaya itu pula yang selalu menjadi pekerjaan rumah tanpa henti—pro-kontra berkepanjangan.
Pidana mati di Indonesia masih tercantum sebagai hukum positif, khususnya yang menyangkut kejahatan narkoba dan terorisme. Itulah alasan kelompok retensionis, termasuk Kejaksaan Agung, dalam kasus rencana eksekusi mati terpidana mati jilid III. Dalam Rancangan KUHP yang pembahasannya belum selesai, pidana mati tetap tercantum pidana pokok bersifat khusus dan diancamkan secara alternatif.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Mei 2016, di halaman 6 dengan judul "Pro dan Kontra Hukuman Mati".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar