Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 25 Mei 2016

TAJUK RENCANA: Paradoks Indonesia (Kompas)

Potret hukum Indonesia menunjukkan situasi paradoks. Ada Seladi yang memunculkan harapan, tetapi ada juga perilaku hakim yang menuai kecaman.

Anggota Kepolisian Resor Malang, Brigadir Kepala Seladi, yang bertugas di urusan SIM Polres Malang itu, menunjukkan sikapnya yang mulia. Dia tak mau menerima suap, bahkan untuk urusan secangkir kopi pun dia tolak. Padahal, bagi sementara orang, Seladi bekerja di wilayah yang disebut "basah". Dia bertutur dengan tulus soal pilihan hidup orang: mau jadi buruk atau mau jadi baik. Seladi memilih untuk menjadi orang baik.

Untuk menambah penghasilannya, Seladi bekerja sebagai pemulung sampah. Dia tak malu menanggalkan baju polisi dan berganti dengan kaus ketika berganti profesi sebagai pemulung dan pengumpul sampah. Itulah pekerjaan mulia yang ditekuninya dengan ketulusan dan kesungguhan. Meskipun pangkat Seladi tak bertabur bintang, kita patut hormat atas sikapnya. Keteladanan tidak harus datang dari orang berpangkat yang bergelimang harta, tetapi bisa juga dari orang-orang biasa seperti Seladi.

Perilaku Seladi mengingatkan kita akan sosok Kapolri (1968-1971) Jenderal Hoegeng Imam Santoso yang diberhentikan Presiden Soeharto pada tahun 1971. Hoegeng adalah polisi independen dan sederhana. Hoegeng menemui ibunya setelah dicopot sebagai Kapolri. Kepada ibunya, Hoegeng sungkem dan melaporkan, "Saya tidak punya pekerjaan lagi." Ibunya kemudian merespons, "Kalau kamu jujur melangkah, kamu masih bisa makan dengan nasi garam." Kejujuran adalah kata kunci!

Meskipun tidak berpangkat tinggi, Seladi mewakili semangat anti korupsi. Dia jujur. Dia punya semangat untuk tidak menerima uang ilegal. Sebuah perjuangan luar biasa dipertontonkan Seladi. Seladi patut menjadi ikon sosok polisi jujur, anti korupsi, yang didamba bangsa ini.

Kita patut bangga akan perilaku mulia Seladi. Namun, di situlah paradoksnya Indonesia. Ada sosok berperilaku mulia seperti Seladi, tetapi ada juga penegak hukum yang berperilaku tercela. Kita prihatin dengan terus ditangkapnya hakim oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Terakhir, KPK menangkap Ketua Pengadilan Negeri Kapahiang Janer Purba yang juga hakim pengadilan tindak pidana korupsi di Pengadilan Negeri Bengkulu. Penangkapan Janer kian memperpanjang daftar panjang penegak hukum yang tugasnya bukannya menegakkan keadilan, melainkan memperjualbelikan perkara untuk kepentingan pribadi. Fenomena Seladi dan para hakim itu patut ditelaah lebih jauh apa yang sedang terjadi pada bangsa ini.

Reformasi kekuasaan kehakiman boleh jadi telah gagal. Untuk menyelamatkan reformasi, butuh tangan kuat kepala negara untuk menggerakkan reformasi lebih radikal.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Mei 2016, di halaman 6 dengan judul "Paradoks Indonesia".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger