Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 16 Mei 2016

TAJUK RENCANA: Soal Kekerasan Seksual (Kompas)

Publik marah terhadap perilaku biadab pemerkosaan dan pembunuhan terhadap YY di Rejang Lebong, Bengkulu, adalah kenyataan.

Amarah publik tecermin dalam gerakan di media sosial. Presiden Joko Widodo pun mengecam pemerkosaan dan pembunuhan terhadap YY melalui akunTwitter-nya. Dalam kesempatan berbeda, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa kejahatan seksual adalah kejahatan luar biasa yang harus ditangani secara luar biasa.

Masuk akal kemarahan publik tersebut. Menurut catatan Komisi Nasional Perempuan, ada tren peningkatan kekerasan seksual. Karenanya, perlu langkah komprehensif untuk menghentikan kejahatan seksual yang merenggut masa depan anak-anak kita. Mencari penyebab utama (causa prima) kejahatan seksual adalah keharusan. Perlu ada aspek keseimbangan antara perberatan hukuman dan perlindungan terhadap korban.

Terdengar langkah Presiden Joko Widodo akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Perppu adalah sah secara konstitusional dikeluarkan Presiden dalam kegentingan memaksa. Tafsir kegentingan memaksa adalah kewenangan Presiden, tetapi harus dikonfirmasi DPR. Jika DPR bersepakat bahwa situasi sekarang ada kegentingan memaksa, sahlah perppu tersebut.

Esensi penting bukan soal perppu, tetapi substansi dari perppu. Terbaca dalam pemberitaan, perberatan hukum terhadap pemerkosaan dan pembunuhan bisa ditingkatkan menjadi hukuman 20 tahun, seumur hidup, sampai hukuman mati. Masih ada pidana tambahan berupa kebiri kimiawi dan pemasangan cip terhadap pelaku.

Barangkali substansi pidana tambahan inilah yang memicu pro dan kontra. Mengebiri menimbulkan perdebatan. Selain apakah kebiri akan meredam tidak terjadinya kekerasan seksual atau menghilangkan libido seks masih belum ada bukti soal itu. Ada juga pendapat kebiri adalah melanggar hak asasi manusia.

Perdebatan inilah yang perlu dipertimbangkan Presiden. Fakta bahwa kejahatan seksual terus terjadi tak dibantah. Kita memandang karena terbelahnya masyarakat soal pemberatan hukum, perppu bukan produk hukum yang tepat karena berpotensi ditolak DPR dan dibatalkan MK.

Kita dorong Presiden dan DPR mempercepat pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang sudah ada di Program Legislasi Nasional. Melalui mekanis pembahasan RUU, masih ada ruang dan waktu yang cukup untuk saling menguji pandangan pro dan kontra sehingga regulasi yang dibuat bisa menjawab persoalan. Kita khawatir langkah hukum reaktif malah kontra produktif dan malah mereproduksi kekerasan baru.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Mei 2016, di halaman 6 dengan judul "Soal Kekerasan Seksual".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger