Salah satu asas dasar (root principle) demokrasi adalah kekuasaan kehakiman yang merdeka (independent judiciary) yang maknanya telah dirumuskan secara akurat dan komprehensif dalam Rapat Ketua-Ketua Mahkamah Agung (Round Table Meeting of Chief Justices) di Den Haag tahun 2002, yang telah merevisi dan menerima The Bangalore Principles of Judicial Conduct tahun 2001. Di sini terkandung nilai-nilai independensi, imparsialitas, integritas, kepatutan, persamaan, kompetensi, dan ketekunan, yang mengikat hakim secara etis.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka berkaitan erat dengan Piagam HAM PBB 1948 dan Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik 1966, khususnya pengakuan terhadap prinsip Fair Trial. Yang dimaksud fair trial adalah hak atas persamaan terhadap peradilan yang jujur dan terbuka untuk umum oleh pengadilan, tanpa ditunda-tunda, dan bersifat independen, kompeten, dan tidak memihak dalam menentukan hak dan kewajiban seseorang, lebih-lebih dalam perkara pidana, yang dibentuk berdasar undang-undang (Bassiouni, 2004).
Dengan demikian, pengingkaran terhadap asas kekuasaan kehakiman yang merdeka, yang di Indonesia pengamanannya dipercayakan pada Mahkamah Agung dan jajarannya serta Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945), dampaknya sangat destruktif, korosif terhadap supremasi hukum, dan harus dilawan secara sistematis.
Berbagai modus operandi tipikor yang terjadi secara terorganisasi di pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung dan juga pernah terjadi di Mahkamah Konstitusi- yang melibatkan pejabat administrasi dan hakim karena pengaruh suap para pencari keadilan dan perantaranya- tidak boleh dianggap sederhana.
Di dalam Preambul Konvensi PBB untuk Melawan Korupsi (United Nations Convention Against Corruption, 2003) dikatakan bahwa korupsi pada umumnya mengancam stabilitas dan keamanan masyarakat, merusak lembaga dan nilai demokrasi, nilai etika, dan keadilan serta mengganggu pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum.
Penyuapan, khususnya, akan merusak mental aparatur negara dan bersifat diskriminatif terhadap yang tidak mampu menyuap. Nilai agama juga tercoreng karena adanya irah-irah bahwa di Indonesia peradilan dilakukan "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan YME" (Pasal 2 UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).
Agenda reformasi yang pudar
Untuk menjaga asas kekuasaan kehakiman yang merdeka, di era Reformasi tahun 1998, diundangkan UU No 35 Tahun 1999 untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang mandiri dan terlepas dari kekuasaan pemerintah, sehingga terjadi pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi yudikatif dan eksekutif sebagai implementasi TAP MPR No X/1998. UU tersebut mengubah UU No 14 Tahun 1970 dan terus disempurnakan dalam UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Asa dan harapan positif terhadap kemandirian itu menjadi pudar, dengan terjadinya fenomena baru, bahwa sumber pengaruh negatif terhadap kekuasaan kehakiman yang merdeka ini telah berkembang dan bergeser dari kekuasaan eksekutif ke arah para pencari keadilan yang ingin menang beperkara dengan menghalalkan segala cara (melalui suap dan gratifikasi), lewat perantara-perantara yang lihai dan berjaringan, baik dari kalangan internal maupun eksternal pengadilan, yang antara lain melibatkan juga oknum-oknum advokat dan penegak hukum lain. Secara empiris, di samping motif finansial, pengaruh negatif bisa terjadi akibat konflik kepentingan, kolusi dan nepotisme, tekanan berasal dari atasan hakim dengan harapan imbalan promosi, iming-iming setelah pensiun, balas budi, dan lain-lain. Hal ini terjadi baik dalam perkara pidana, perdata, maupun perkara tata usaha negara, baik di lingkungan peradilan umum maupun peradilan khusus yang sangat luas.
Penyimpangan terhadap kekuasaan kehakiman yang merdeka didukung juga secara tidak langsung oleh suatu doktrin yang berlaku dalam sistem Hukum Eropa Kontinental yang tidak menerapkan asasStare Decisis, yaitu asas yang berlaku dalam sistem hukum Anglo Saxon yang menegaskan kekuatan mengikat secara persuasif dari precedent, yaitu keputusan pengadilan terdahulu dalam kasus hukum yang penting (landmark decision) terhadap pengadilan berikutnya yang sama fakta dan masalahnya. Hal ini ditujukan untuk mempromosikan asas hukum yang tidak berat sebelah, dapat diprediksi dan merupakan perkembangan hukum yang konsisten, serta memajukan kepercayaan terhadap proses yudisial.
Indonesia sebagai salah satu negara pewaris Sistem Hukum Eropa Kontinental (Civil Law System) memberlakukan UU dan kodifikasi sebagai sumber hukum yang utama. Yurisprudensi dapat menjadi sumber hukum yang tidak mengikat, sebagaimana doktrin dan hukum kebiasaan. Dengan demikian, kebebasan hakim yang disertai dengan kewenangan luas untuk membuat diskresi dalam peristiwa konkret sangat dominan untuk memberikan keputusan yang berbeda-beda.
Yang tidak puas terhadap keputusan hakim tingkat pertama dapat mengajukan upaya hukum banding, kasasi, dan kemungkinan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali. Pola pikir yang dianggap berlaku adalah bahwa istilah judex facti (oleh PN, PT) dan judex juris (oleh Mahkamah Agung) juga mengandung kemungkinan subyektivitas hakim dalam menafsirkan fakta/bukti dan penerapan hukum yang tidak terukur secara absolut dan dapat bersifat multitafsir, tergantung selera dalam menghadapi kasus per kasus. Hal ini jelas dapat disalahgunakan.
Hal ini dapat terjadi karena kebebasan hakim sering kali tidak didukung oleh karakter kepemimpinan yang memperlihatkan moralitas dan akuntabilitas serta ketangguhan pribadi, sebagai batu karang yang keras dan konsisten terhadap asas dan pedoman moral (bedrock of principle and moral compass), di samping memiliki secara individual keunggulan profesional dalam rangka bersama-sama membangun konsensus untuk mencapai visi bersama kelembagaan (Brett and McKay, 2012).
Pendekatan tiga jalur
Untuk merestorasi integritas pengadilan yang telanjur kedodoran, pendekatan tiga jalur (triple-track approach) sebagai berikut sangat diperlukan.
Pertama, pendekatan preventif, seperti perbaikan administrasi dan manajemen pelayanan, memperketat seleksi, promosi dan mutasi hakim serta jabatan kepemimpinan di pengadilan, mengajak para advokat dan organisasinya untuk berperan serta mengembalikan wibawa pengadilan, peningkatan budaya tidak toleran terhadap segala bentuk korupsi, dan menyosialisasikan asas-asas umum pemerintahan yang baik (good governance), di samping peningkatan nilai-nilai profesionalisme di lingkungan pengadilan.
Kedua, pendekatan deteksi dini, seperti peningkatan partisipasi masyarakat untuk memberantas korupsi di pengadilan, mengembangkan sistem informan yang bekerja secara rahasia (sting-approach) untuk membantu pengadilan.
Ketiga, pendekatan represif, seperti kecepatan, ketegasan, dan transparansi dalam menanggapi laporan adanya korupsi di pengadilan, dan mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk menaruh perhatian secara khusus terhadap korupsi di pengadilan.
MULADIHAKIM AGUNG MA (2000-2001)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Juni 2016, di halaman 6 dengan judul "Independensi Pengadilan Terkoyak".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar