Franz Magnis-Suseno dalam tulisannya di rubrik Opini (Kompas, 1/6), "50 Tahun Tap MPRS No 25/1966", antara lain menulis bahwa ada dua unsur dalam Marxisme-Leninisme yang bertentangan dengan Pancasila. Pertama adalah ateisme dan kedua monopoli kekuasaan melalui kediktatoran proletariat.
Masih adakah di Republik ini suatu partai politik atau organisasi massa yang anti Pancasila? Kalau anti Pancasila didasarkan pada kediktatoran, yang berarti memonopoli kekuasaan, jawaban pertanyaan itu adalah "Ada".
Kenyataannya, ada parpol yang justru punya wakil di DPR dan masih anti Pancasila sampai detik ini karena ideologinya berdasarkan agama tertentu saja. Parpol macam ini jelas akan melaksanakan kediktatoran agama dan akhirnya memegang monopoli kekuasaan. Lihat saja contoh negara agama yang hanya mempunyai satu partai politik berdasarkan agama, seperti Arab Saudi, Iran, Kuwait, dan UEA.
Jelas bila partai politik yang berideologi agama sampai berkuasa penuh di Indonesia, dapat dipastikan siapa saja yang bertentangan dengan agama penguasa akan dilarang, dilibas, dan dibubarkan.
Idem dengan parpol, sampai detik ini masih ada organisasi massa atas dasar keagamaan yang selalu menimbulkan keresahan karena tingkah lakunya menonjolkan intoleransi dan memonopoli kebenaran atas nama agama.
Namun, mengapa semua diam saja?
Ihwal ateisme, saya memiliki pendapat lain. Ateis maupun teis adalah soal keyakinan dan keyakinan tidak bisa dipaksakan. Jadi, ateis atau teis tetap punya hak hidup di negara demokrasi, seperti Indonesia.
TAUFIQ SURYASUMIRAT
Jl Citarum, Depok Timur, Depok, Jawa Barat
Hari Berkabung
Ashadi Siregar dalam tulisannya di rubrik Opini (Kompas, 31/5) membahas tentang kaitan dan perbedaan antara peringatan 1 Juni dan 1 Oktober.
Menurut Ashadi, 1 Juni diperingati sebagai Hari Kelahiran Pancasila dan 1 Oktober yang selama ini diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila menjadi Hari Berkabung Nasional yang ditandai dengan pengibaran bendera setengah tiang.
Sepanjang pengetahuan dan ingatan saya—saya duduk di kelas VI SD ketika Pak Harto lengser—ada upacara berkabung dengan pengibaran bendera setengah tiang yang dilanjutkan dengan menonton film G30S PKI setiap 30 September. Selanjutnya pada 1 Oktober ada upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila yang ditandai dengan pengibaran bendera secara penuh.
Beberapa sumber yang saya baca membedakan kedua peringatan tersebut untuk perkabungan dan perayaan. Oleh sebab itu, saya sebagai pembaca berharap Bapak Ashadi Siregar berkenan memberi tanggapan dan menjelaskan lebih lanjut tentang ide yang dilontarkannya.
MAHARDHIKA KURNIAWAN
RT 002 RW 010 Kadipiro, Banjarsari, Surakarta
Tanggapan Penulis
Berdasarkan fakta empiris, perkabungan itu ditandai dengan instruksi aparat negara agar kantor pemerintah dan masyarakat memasang bendera setengah tiang mulai pukul 18.00 pada 30 September, untuk kemudian keesokan paginya pada 1 Oktober dinaikkan setiang penuh menandai "kesaktian" Pancasila.
Jadi, memang terpisah antara berkabung dan kesaktian Pancasila.
Wacana dari artikel opini saya adalah pertama, untuk Pancasila cukup hari lahirnya—yaitu 1 Juni saat pidato Bung Karno di BPUPKI—yang diperingati, sebab sepenuhnya bersifat empiris. Sedang soal "kesaktian" Pancasila pada 1 Oktober berasal dari tafsir simbolis, yang dapat berubah. Jadi, saya ingin membedakan antara kenyataan empiris dan tafsir simbolis.
Kedua, kalau mau ada hari perkabungan nasional, verifikasi secara empiris adalah peristiwa dini hari pada 1 Oktober 1965 yang mengambil korban sejumlah perwira TNI yang sudah dinyatakan sebagai pahlawan revolusi (sekaligus pahlawan nasional), dan berikutnya juga korban-korban rakyat sipil yang berjatuhan pasca Oktober 1965. Semuanya perlu didekati secara rasional dengan pembuktian empiris, tidak terjebak dalam propaganda dan stigmatisasi yang berlangsung puluhan tahun sepanjang Orde Baru.
Artikel mewacanakan pada 1 Oktober sebagai hari perkabungan nasional untuk mengingatkan agar tidak terulang konflik dan kekejaman yang mengambil korban ratusan ribu jiwa manusia Indonesia.
ASHADI SIREGAR
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Juni 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".

Tidak ada komentar:
Posting Komentar