Revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah disetujui DPR untuk disahkan sebagai UU. Sejumlah aturan baru diterapkan.
Persetujuan DPR itu patut diapresiasi di tengah tarik- menarik kepentingan partai politik. Dengan aturan yang pasti, tahapan pilkada Februari 2017 bisa segera berjalan. Pasangan calon, penyelenggara pemilu, dan pengawas bisa menyiapkan diri untuk menyesuaikan diri dengan aturan baru, khususnya bagi pasangan calon yang akan maju melalui jalur perseorangan.
UU Pilkada mengadopsi aturan main baru mengenai calon perseorangan. Salah satunya adalah verifikasi faktual dengan metode sensus untuk pendukung calon perseorangan. UU Pilkada mengatur persyaratan calon perseorangan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sesuai dengan jumlah daftar pemilih tetap (DPT). Provinsi, misalnya, dengan jumlah penduduk di atas 12 juta DPT, pasangan calon harus mendapatkan dukungan 6,5 persen.
UU Pilkada mengharuskan verifikasi faktual dilakukan dengan metode sensus. Dalam UU Pilkada sebelumnya, UU Nomor 1 Tahun 2015 ataupun Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1/2014 mengadopsi verifikasi administrasi. Dengan metode sensus, petugas Panitia Pemungutan Suara (PPS) harus bertemu langsung dengan pendukung. Jika petugas PPS tidak bisa menemui pendukung, dalam kurun waktu tiga hari pasangan calon harus menghadirkan pendukungnya ke PPS. Jika dalam kurun waktu tiga hari pasangan calon tak bisa menghadirkan pendukungnya, dukungan itu dianggap tak memenuhi syarat. UU Pilkada juga mengatur hasil verifikasi faktual itu tak diumumkan.
Pada tataran ide, pengaturan itu bagus saja. Namun, pada tataran praksis metode sensus bakal merepotkan pasangan calon, pendukung calon perseorangan, ataupun PPS sendiri. Bisa dibayangkan seperti Pilkada Jakarta. Calon perseorangan mempunyai pendukung 750.000 dan dalam kurun waktu tertentu harus ditemui PPS. Dengan mobilitas penduduk Jakarta yang begitu tinggi, kemungkinan untuk bertemu dan bertatap muka—terlebih untuk urusan politik—tentunya menjadi kecil. Dan ketika PPS tidak bisa menemui, menjadi tanggung jawab pasangan calon untuk menghadirkan pendukung tersebut. Patut dipertimbangkan berapa besar anggaran yang harus disiapkan untuk melakukan verifikasi faktual dengan metode sensus.
Semangat DPR untuk memperberat calon perseorangan ikut dalam kontestasi pilkada kelihatan. Itulah realitas politik parlemen sekarang ini. Kita berharap KPU bisa membuat aturan agar metode sensus untuk verifikasi faktual bisa dilakukan lebih sederhana, dengan tetap penuh kehati-hatian untuk menghindari pendukung fiktif.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Juni 2016, di halaman 6 dengan judul "Sensus Pendukung Perseorangan"

Tidak ada komentar:
Posting Komentar