Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 23 Juli 2016

Kegiatan Hulu Migas di Laut Natuna (HAPOSAN NAPITUPULU)

Mahkamah Permanen Arbitrase (MPA) di Den Haag, Belanda, pada 12 Juli 2016menyimpulkan tidak ada landasan hukum bagi Tiongkok mendaku hakmengeksplorasi kekayaan alam di sepanjang area yang mereka sebut sebagaisembilan garis putus-putus di Laut Tiongkok Selatan.

Keputusan MPA itu mempunyai kekuatan hak yang tetap. Seandainya Tiongkok tetap bertahan di wilayahpendakuan bertindihdi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia tetap harus menjaga kedaulatan dan hak berdaulat dengan segala kekuatan yang ada. Kedaulatan tidak bisa ditawar-tawar dengan kepentingan lain, termasuk kepentingan ekonomi Tiongkok di Indonesia.

Klaimsembilan garis putus- putusTiongkok berdampakhilangnyaperairan Indonesia seluas lebih kurang 83.000 km2 atau 30 persen dari luas laut Indonesia di Natuna. Luas laut negara-negara lain, seperti Filipina dan Malaysia, berkurang 80 persen, Vietnam 50 persen, dan Brunei 90 persen.

Ekspansi Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan telah dimulai pada 1974. Ketika itu Pemerintah Vietnam Selatan pada September 1973 mengumumkan11 blok wilayah kerja eksplorasi kepada beberapa perusahaan migas multinasional. Empat bulan kemudian Tiongkok menyerbu Pulau Spratly dan Paracel pada 1974. Penyerbuan inimenimbulkan pertempuran laut antara Angkatan Laut Tiongkok dan Angkatan Laut Vietnam Selatan. Tiongkok berhasil menduduki gugusan pulau-pulau tersebutdengan korban di pihak Vietnam Selatan: 40 tentaranya tewas.

Tiongkok sebagai negara besar dengan jumlah penduduk terbesar di dunia (lebih dari 1,4 miliar jiwa) sangat berambisi menguasai Laut Tiongkok Selatanyang merupakan jalur laut sangat strategis dan vital. Kawasan itu memiliki kekayaan lautserta mengandung potensi migas yang sangat besar.

Klaim Tiongkok di Laut Natuna mencakup lapangan gas Natuna D-Alpha dan lapangan gas Dara yang kegiatan eksplorasinya telah dilakukan sejak akhir 1960-an. Ketika itu salah satu perusahaan migas Italia, Agip, melakukan survei seismik laut yang ditindaklanjuti dengan melakukan 31 pengeboran eksplorasi.

Cadangan migas terbesar

Kegiatan inberhasil menemukan cadangan migas terbesar sepanjang 130 tahun sejarah permigasan Indonesia dengan cadangangas 222 triliun kaki kubik (TCF) dan 310 juta bbl minyak, dengan luas25 x 15 km2 serta tebal batuan reservoir lebih dari 1.500 meter.

Namun, sayangnya, hingga ditemukan pada 1973, lapangan gas D-Alpha ini belum dapat dieksploitasi karena membutuhkan biaya yang tinggi disebabkan kandungan gas CO2-nya yang mencapai 72 persen.

Pada 1980, pengelolaan blok ini digantikan oleh Esso dan Pertamina. Esso kemudian bergabung dengan Mobil Oilmenjadi ExxonMobil dan telah menghabiskan biaya sekitar 400 juta dollar AS untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan kajian pengembangan lapangan. Namun, tetap saja lapangan gas ini belum berhasil dieksploitasi.

Saat ini ada 13 perusahaan migas, dua di antaranya perusahaan migas nasional,melakukan kegiatan operasi perminyakan di Laut Natuna. Enamblok di antaranya telah dan akan berproduksi. Tujuh blok lainnya masih dalam tahap eksplorasi. Keempat blok produksi di Laut Natuna inimasing-masing adalah ConocoPhillips, Premier Oil, Star Energy, dan TAC PAN (Pertamina)dengan total produksi migas yaitu produksi minyak 25.000 bbl per hari, produksi gas 491 juta kaki kubik per hari serta produksi LPG sejumlah 19.000 ton per tahun.

Produksi gas dari blok-blok produksi di Laut Natuna sebagian besar disalurkan ke Malaysia dan Singapura. Kontraknya masih berlanjut sampai 2021-2022. Jika telah selesai pembangunan jalur pipa ke Batam, sebagian gas bumi berjumlah sekitar 40 juta kaki kubik per hari akan disalurkan ke Pulau Batam yang akan dimanfaatkan sebagai bahan bakar pembangkit listrik.

Gas bumi dari lapangan Belanak di Indonesiadisalurkan ke Lapangan Duyong, Malaysia, melalui jalur pipa laut sepanjang98 kilometer yang kemudian dipipakan ke Kertih di pantai timur semenanjung untuk diolah di industri petrokimia. Ironisnya, sebagian produk petrokimianyaitu diekspor ke Indonesia.

Klaim Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan, tepatnya terhadap Laut Natuna, Indonesia, seharusnya memicu pemerintah menggalakkan kegiatan operasi migas di wilayah ini. Apalagi kegiatan ini telah berlangsung lebih dari 50 tahun, khususnya pengembangan lapangan gas D-Alpha yang sejak ditemukan pada 1973 dan lapangan gas Dara yang ditemukan pada 2000 hingga saat ini belum berhasil dieksploitasi.

Seperti kita ketahui, kedua lapangan gas tersebut masuk dalam klaim Tiongkok di Laut Natuna. Sejak beberapa tahun yang lalu Pertamina telah berusaha meyakinkan pemerintah untuk mengusulkan skenario pengembangan lapangan. Di antaranya usul mendapatkan insentif dalam usaha "mengejar" keekonomian lapangan untuk mengakomodasi biaya pemisahan gas CO2 yang cukup tinggi untuk mendapatkan gas bumi yang bersih.

Pemberian insentif tentunya akan mengurangi penerimaan negara dari kegiatan hulu, tetapi akan berdampak terhadap biaya eksploitasi dan harga jual gas yang realistis, khususnya jika sebagian besar gas bumi tersebut dimanfaatkan di dalam negeri. Hal itu akan memicu pengembangan ekonomi nasional sehingga wilayah di sekitar Laut Natuna akan berkembang, Pemerintah akan mendapatkan penerimaan dari kegiatan sektor hilir dan sektor industri.

Jual putus

Kalaupun sebagian gas bumi yang akan diproduksi diolah menjadi LNG, sebaiknya penjualan gas bumi dilakukan dengan "jual putus". Artinya, pemerintah hanya menjual gas buminya saja, sedangkan biaya pembangunan kilang LNG tidak dibebankan kepada kegiatan hulu, sebagaimana dilakukan di kilang LNG Donggi, Sulawesi Tengah, saat ini.

Keengganan pemerintah memberi insentif terhadap pengembangan lapangan D-Alpha di Natuna selama ini berakibat pada keterlambatan pengembangan lapangan dengan biaya investasi sekitar 30 miliar-40 miliar dollar AS dengan waktu kegiatan proyek pengembangan lebih dari sepuluh tahun. Selama belum ada dukungan pemerintah terhadap proyek ini, penerimaan negara pun tidak ada.

Seandainya pemerintah telah memberi dukungan sejak 5-10 tahun yang lalu, maka pemerintah tentu sudah mendapat penerimaan. Paling tidak, jika proyek belum selesai, para kontraktor proyek telah membayar pajak dan tersedianya lapangan kerja untuk sekian ribu orang.

Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa Tiongkok pun akan berpikir dua kali mengklaim laut di sekitar blok migas D-Alpha yang telah ada kegiatannya.

HAPOSAN NAPITUPULU, TENAGA AHLI MENKO MARITIM DAN SUMBER DAYA, MANTAN DEPUTI BP MIGAS

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Juli 2016, di halaman 7 dengan judul "Kegiatan Hulu Migas di Laut Natuna".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger