Filipina yang memiliki produk domestik bruto (PDB) 272 miliar dollar AS dengan Tiongkok, negara nuklir dengan PDB 9,4 triliun dollar AS yang memiliki anggaran pertahanan terbesar kedua di dunia dan memiliki hak veto sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB.
Pro dan kontra tentang yurisdiksi arbitrase, substansi, dan prediksi hasil keputusan kasus ini terus berkembang, terlebih lagi menjelang hari pemberian keputusannya. Memang sangat sulit menebak, meramal, memperkirakan, atau memprediksi hasil keputusan arbitrase.
Prediksi keputusan arbitrase
Bagi Indonesia, keputusan arbitrase memiliki makna penting karena Indonesia adalah salah satu negara kawasan yang menghendaki perdamaian, bukan eskalasi ketegangan. Selain itu, akan terdapat berbagai implikasi keputusan terhadap kepentingan Indonesia. Dalam konteks inilah, tulisan ini mencoba memberikan prediksi atas dasar educated guess terhadap hasil keputusan arbitrase.
Pertama, kapan keputusan akan diberikan. Sesuai prosedur arbitrase yang dimulai pada Januari 2013 dan adanya keputusan sela tentang yurisdiksi pada Oktober 2015 serta dimulainya hearingsubstantif pada November 2015, keputusan diperkirakan akan diberikan pada Juni atau Juli 2016. Mengingat Juni berakhir dan libur musim panas akan dimulai pertengahan Juli 2016, kemungkinan besar keputusan akan diberikan pada 10-15 Juli 2016. Tanggal ini bisa salah, tetapi paling tidak keputusan akan diberikan pada Juli ini.
Kedua, proses pemberian keputusan. Arbitrase tak memiliki "ritual" sama dengan Mahkamah Peradilan Internasional (International Court of Justice) atau Tribunal Hukum Laut Internasional (International Tribunal on the Law of the Sea) yang memberikan keputusan melalui persidangan. Arbitrase diperkirakan hanya akan memberikan keputusan kepada pihak secara langsung dan kemudian mengumumkannya melalui laman Permanent Court of Arbitration (PCA).
Ketiga, elaborasi argumen para hakim. Mengingat dalam keputusan sela tentang yurisdiksi telah dinyatakan secara tegas bahwa yurisdiksi sejumlah permintaan Filipina akan disatukan dengan masalah substansi gugatan, arbitrase diperkirakan akan memberikan argumentasi hukum yang sangat komprehensif. Hal ini akan berdampak terhadap tebalnya keputusan yang mungkin saja berkisar 300-500 halaman.
Keempat, substansi keputusan. Sangat sulit memprediksi isinya. Namun, apabila dilihat dari permintaan atau gugatan Filipina, terdapat beberapa hal yang dapat diprediksikan. Apabila dilakukan dekonstruksi gugatan Filipina, terdapat tiga gugatan umum dan 15 gugatan spesifik. Ruang editorial ini tentunya tidak cukup untuk membahas secara rinci 18 gugatan Filipina. Meski demikian, terdapat beberapa gugatan yang perlu diketahui kita bersama.
Gugatan tersebut adalah: (a) menyatakan agar hak-hak dan kewajiban negara terkait perairan, dasar laut, dan fitur maritim di Laut Tiongkok Selatan (LTS) diatur oleh UNCLOS 1982 dan klaim Tiongkok atas dasar "sembilan garis putus-putus" (nine-dash line) dinyatakaninconsistent and invalid; (b) menentukan apakah atas dasar Pasal 121 UNCLOS beberapa fitur maritim yang diklaim Tiongkok dan Filipina adalah pulau, low tide elevations atau yang lainnya seperti karang atau beting, dan apakah fitur ini dapat memberikan hak zona maritim lebih dari 12 mil laut; (c) bahwa klaim Tiongkok atas kedaulatan dan yurisdiksi dan "historic rights" terhadap wilayah maritim di dalam nine-dash line adalah bertentangan dengan UNCLOS dan tidak memiliki efek yang sah terhadap klaim Tiongkok sesuai UNCLOS.
Arbitrase tentunya akan secara tegas menyatakan bahwa hak-hak dan kewajiban para pihak yang bersengketa dan juga semua negara pihak UNCLOS 1982 yang terkait zona maritim, landas kontinen dan berbagai fitur maritim, seperti pulau, karang, batu, dan terumbu karang, adalah berdasarkan UNCLOS 1982. Hal ini akan dilakukan arbitrase sebagai suatu restatement prinsip hukum laut internasional.
Arbitrase tampaknya akan memberikan interpretasi atas Pasal 121.3 UNCLOS yang mengatur status batuan dengan rumusan "Rocks which cannot sustain human habitation or economic life of their own shall have no exclusive economic zone or continental shelf." Langkah ini diambil karena hingga kini tidak terdapat suatu kejelasan tentang arti "rocks" atau bebatuan. Prof Hasyim Djalal pernah memberikan definisi Pasal 121.3 dengan adanya populasi minimal 50 orang, adanya air tawar, tanah untuk pertanian, dan area cukup untuk perikanan. Namun, definisi tataran akademis ini perlu mendapatkan konfirmasi melalui suatu keputusan hukum yang mengikat. Interpretasi tentang batu yang masuk kategori Pasal 121.3 ini akan memberikan kepastian hukum arti Pasal 121.3.
Arbitrase diperkirakan akan memberikan penjelasan, persyaratan, dan penerapan tentang apa yang dimaksud historic rights dan kaitannya dengan UNCLOS 1982 yang tidak mengenal apa yang diklaim sebagai historic rights. Hal ini penting bagi kepastian hukum laut internasional. Arbitrase kiranya akan memberikan penilaian hukum atas nine-dash line dari sisi legalitas peta dalam sengketa antarnegara serta keterkaitannya dengan UNCLOS. Yang perlu disimak adalah sikap arbitrase terhadap status nine-dash line dalam klaim zona maritim dan apakah arbitrase akan menyatakan secara tegas bahwa klaim ini invalid atau hanya menyatakannya secara tak langsung.
Dampak bagi Indonesia
Kelima, dampak bagi Indonesia. Indonesia bukan pihak dalam arbitrase ini dan juga bukan pihak dalam sengketa kedaulatan di LTS. Keputusan arbitrase hanya akan mengikat para pihak. Namun, keputusan ini akan memberikan dampak terhadap Indonesia dari sisi interpretasi UNCLOS baik yang terkait dengan kawasan LTS maupun di luar LTS.
Keputusan ini akan memberikan dimensi baru dalam pengelolaan sengketa di LTS. Sementara itu, interpretasi arbitrase tentang Pasal 121.3 akan berdampak luas bagi Indonesia sebagai negara kepulauan yang masih memiliki sejumlah batas maritim yang harus diselesaikan melalui perundingan. Palau, misalnya, masih menggunakan Helen Reef, suatu gugusan karang di Samudra Pasifik sebagai basis menarik klaim sejauh 200 mil laut. Apabila arbitrase menyatakan bahwa fitur seperti ini hanya mendapatkan laut wilayah 12 mil laut, klaim wilayah ZEE Indonesia di Pasifik mendapatkan konfirmasi hukum yang akan menguntungkan Indonesia. Interpretasi Pasal 121.3 ini diperkirakan akan dirujuk sejumlah negara dalam perundingan batas maritim mereka dan pada akhirnya dapat menjadi suatu yurisprudensi.
Keenam, dampak bagi lingkungan strategis Indonesia. Arbitrase ini dapat mengarah kepada polarisasi sikap yang semakin tajam dan apabila tidak dikelola dengan baik akan menghilangkan kesatuan ASEAN dan sentralitas ASEAN di kawasan. Fakta bahwa keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) bukan sekadar impian dan diskusi akademik belaka, tidak menutup kemungkinan replikasi hal ini di ASEAN. Indonesia sebagai salah satu pendiri ASEAN dan negara ASEAN terbesar yang selama ini memberikan kepemimpinan gaya tut wuri handayanidan bukan gaya dominasi di kawasan perlu memainkan peran kepemimpinan guna menjaga kesatuan dan sentralitas ASEAN.
Terlepas dari prediksi di atas yang bisa benar semua, salah semua, benar sebagian, atau salah sebagian, bagi kita yang terpenting adalah sebagai negara pihak UNCLOS, Indonesia harus patuh pada UNCLOS dan tidak memberikan versi alternatif UNCLOS dengan mengajukan klaim-klaim maritim yang tak masuk akal. Kekuatan sebenarnya Indonesia di laut tidak hanya TNI AL, tetapi juga kepatuhan terhadap hukum internasional karena memang sejak awal negara kepulauan lahir bukan dari ekspedisi dan ekspansi kekuatan militer, tetapi pada kekuatan argumen dan pena para diplomat RI.
Arbitrase ini juga akan sangat baik bagi pendidikan hukum internasional bangsa Indonesia dan perlu dijadikan suatu materi wajib bagi di kalangan universitas terkait dan juga pelatihan para penegak hukum di laut.
ARIF HAVAS OEGROSENODEPUTI KEDAULATAN MARITIM, KEMENKO MARITIM DAN SUMBER DAYA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Juli 2016, di halaman 6 dengan judul "Keputusan Arbitrase soal LTS".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar