Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 20 Juli 2016

Kocok Ulang Kabinet (ABDILLAH TOHA)

Kocok ulang atau reshuffle kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla sudah menjadi bahan pergunjingan selama lebih dari lima bulan terakhir. Kadang-kadang meninggi, kemudian hilang dan tenggelam oleh berita lain, tetapi kemudian muncul lagi, begitu terus. Belakangan makin santer dikabarkan reshuffle akan segera diumumkan pekan ini.

Berbagai spekulasi dan informasi bertebaran. Ada yang membuat perkiraan berdasarkan analisis performa menteri, ada juga yang menebar berita susunan baru kabinet dengan merekayasa promosi untuk tokoh-tokoh yang diharapkan pengikutnya bisa masuk jajaran kabinet.

Tertunda-tundanya kepastian perombakan kabinet ini tidak menguntungkan semua pihak. Moral pembantu presiden akan merosot, kalangan usaha dan swasta bisa menunda keputusan bisnisnya, politisi di partai politik dan DPR akan makin bermanuver, sedangkan keragu-raguan Presiden akan menurunkan wibawanya.

Jika terjadi perombakan kabinet bulan ini, maka ini adalah kocok ulang kedua dan format kabinet ketiga dalam waktu 19 bulan kabinet Jokowi-JK, sekaligus kemungkinankocok ulang terakhir karena setelah ini masa kepresidenan yang efektif akan tersisa hanya dua tahun sebelum tahun terakhir yang biasanya akan direcoki dengan persiapan pemilihan presiden berikutnya.

Artinya apa? Artinya, dengan sisa masa kepresidenan yang singkat dan berbagai pengalaman sebelum ini, sudah seharusnya tidak bisa lagi main coba-coba copot pasang sana-sini, tetapi harus ada keyakinan bahwa kabinet yang baru nanti adalah kabinet ideal di mata Presiden. Kabinet yang benar-benar akan efektif membumikan kebijakan Presiden.

Harus diakui bahwa bagi seorang Jokowi yang bukan bos partai apa pun tidak mudah baginya untuk menyusun sebuah kabinet yang efektif, tetapi pada waktu bersamaan dapat meraih dukungan politik yang nantinya tidak akan mengganggu jalannya roda pemerintahan.

Unsur kompromi politik

Mau tidak mau, unsur kompromi politik tetap akan mewarnai keputusan Presiden. Apalagi sekarang dua anggota Koalisi Merah Putih yang tadinya beroposisi sudah pindah gelanggang dan mendukung pemerintah. Tentunya semua itu ada harga yang harus ditebus Jokowi. Jika tidak ingin menambah portofolio kabinet, jatah partai pendukung pemula Jokowi akan dikurangi dan diisi oleh pendatang baru. Bahkan, porsi profesional independen pun bisa terancam.

Belum lagi perlunya tetap mempertahankan keseimbangan jender, asal daerah, agama, etnis, dan lain-lain. Kesemuanya itu bisa jadipenyebab Presiden kita maju mundur dalam menetapkan susunan kabinet baru. Apakah memang harus demikian?

Semua yang disampaikan di atas itu sebenarnya adalah pertimbangan seorang presiden politisi karena jika tidak, DPR yang dalam sistem presidensial hibrida saat ini sangat kuat bisa meruntuhkan apa pun program pemerintah. Namun, kita semua tahu bahwa pada pemilihan presiden yang lalu Jokowi terpilih bukan karena pemilih melihat sisi kepartaian Jokowi, tetapi lebih kepada sosoknya sebagai individu yang berprestasi.

Oleh karena itu, jika ingin dipilih kembali untuk periode kedua pada tahun 2019, Jokowi harus mendahulukan pertimbangan kompetensi dan integritas calon menterinya di atas berbagai pertimbangan lain di atas.

Karena yang akan dilakukan bukan penyusunan kabinet baru, melainkan sekadar pergantianmenteri-menteri yang dianggap tidak berprestasi, maka yang lebih dahulu harus dilakukan adalah menentukan menteri-menteri mana yang akan dicopot. Tugas initidak sulit karena setelah hampir dua tahun bekerja, Presiden seharusnya dapat dengan mudah menilai mana menteri yang harus dipertahankan dan mana yang gagal dan akan dibebastugaskan. Satu-satunya ganjalan adalah ketika menteri yang tak berprestasi itu adalah orang dari partai pendukung.

Tugas berikutnya adalah mencari pengganti mereka yang dicopot dan ini bisa dilakukan dari sumber luar atau dengan memutasikan menteri yang ada.

Plus-minus

Di samping partai politik, sumber luar bisa juga tersedia dari akademisi dan universitas, pengusaha dan eksekutif perusahaan besar, birokrat dan pegawai negeri sipil (PNS), serta lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi keagamaan.

Setiap sumber tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan. Politisi dan anggota DPR kuat dalam melobi kawan-kawan mereka di DPR tetapi pada umunya lemah dalam manajemen dan keterbatasan kompetensi. Akademisi dan ilmuwan kuat dalam konsep dan visi tetapi lemah dalam eksekusi kebijakan dan penguasaan lapangan.

Pengusaha dan eksekutif perusahaan kuat dalam manajemen dan perhitungan rasional tetapi lemah dalam pertimbangan manfaat publik. LSM dan ormas keagamaan punya kelebihan dalam mewujudkan akseptabilitas dan dukungan publik tetapi lemah dalam sistematika dan rasionalitas. Birokrat dan PNS kuat dalam penguasaan sisi prosedural dan administratif tetapi lemah dalam visi dan gagasan.

Brooking Institute dalam salah satu hasil penelitiannya menyarankan bahwa risiko terkecil dalam membuat kesalahan memilih anggota kabinet yang tepat jatuh pada pilihan mereka yang berpengalaman dan telah pernah menjabat sebelumnya serta menunjukkan prestasi yang memadai. Untuk itu seorang presiden bahkan tidak perlu ragu menempatkan seorang yang berada di pihak lawan politik jika dialah yang dianggap paling kompeten dalam bidangnya.

Justru penempatan seorang lawan politik bisa membantu melunakkan kelompok politiknya.

Sekarang terserah Presiden Jokowi untuk memutuskan. Hari sudah hampir siang. Presiden tidak bisa main tunda lagi dan membiarkan publik dalam limbo. Segera mengumumkan susunan kabinet yang baru atau dengan tegas menyatakan tidak akan ada reshuffle jauhlebih baik daripada menunda terus dan membiarkan berembusnya angin spekulasiperubahan kabinet tanpa ada kepastian.

ABDILLAH TOHA, PEMERHATI POLITIK

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Juli 2016, di halaman 6 dengan judul "Kocok Ulang Kabinet".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger