Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 26 Juli 2016

Krisis Humanitarian di Eropa (EKO WIJAYANTO)

Menarik menyimak perbincangan berjudul "Europe is Kaput. Long live Europe!" di Youtube,sebuah acara yang diadakan oleh Southbank Centre di London mengenai geopolitik global.

Pembicara yang berpartisipasi dalam acara ini adalah Slavoj ZZizzek, Yanis Varoufakis, dan Julian Assange. Acara ini diadakan hanya beberapa hari setelah kejadian serangan teroris di Paris dan pertanyaan-pertanyaan utama yang diajukan berhubungan dengan kejadian tersebut.

Sejak beberapa bulan sebelum kejadian di Paris, isu yang menjadi fokus politis utama di Eropa adalah perjuangan kelas masyarakat yang terjadi akibat sistem kapitalisme. Hal yang menjadi penyebab utama krisis pengungsi ini kemudian dieksploitasi. Fokusnya berubah dari sosio-ekonomis jadi topik humanitarian.

Pendekatan humanitarian mengajak orang-orang untuk "memandang para pengungsi sebagai manusia yang sama seperti kita semua (orang Eropa)". Ini adalah pendekatan yang salah. Memang mudah untuk bersimpati pada orang-orang yang sama seperti kita, tetapi yang menjadi masalah adalah ketika kita menyadari bahwa mereka tidak benar-benar sama dengan kita.

Ada perbedaan standar tentang apa yang termasuk sebagai "pembunuhan besar-besaran" di Eropa dengan di negara-negara Dunia Ketiga. Kehidupan di Paris berjalan "normal" dan damai, kemudian terjadi kejadian mengerikan dan berakhir dalam satu malam, dan setelah itu langsung meledak omong kosong humanitarian di mana-mana.

Ada yang tidak disadari oleh para pemeluk humanitarian ini. Mereka hanya tahu dan melihat kejadian-kejadian mengerikan yang terjadi di negara-negara Dunia Ketiga sebagai realitas yang jauh, sementara apa yang dialami Barat hanyalah interupsi sementara saja.

Mereka bersimpati dengan Paris karena Paris telah menderita. Seharusnya, kita bersimpati pada Paris bukan hanya karena mereka telah menderita, melainkan karena mereka telah merasakan sebuah pengalaman sementara atas kengerian apa yang terjadi setiap hari di negara-negara tetangga kita di Lebanon, Suriah, dan negara-negara Dunia Ketiga lain.

Korban yang sesungguhnya dari semua kejadian ini adalah para pengungsi. Mereka adalah orang-orang yang berusaha mengungsi dari kengerian yang sama dengan apa yang telah terjadi di Paris, tetapi kini mereka dipandang sebagai sisi lain dari teror oleh para anti imigran. Seharusnya kejadian di Paris bukan membuat kita menutup mata seperti ini, melainkan justru membuka mata terhadap segala jenis kekerasan yang terjadi di luar.

Namun, alih-alih menghadapi sinisme humanitarian, lebih baik jika kita menghormati semua yang menjadi korban: tak hanya menghormati korban yang di Paris atau di suatu bagian dunia saja. Kita harus dapat menghormati korban yang berada di luar cangkang kita juga. Ini tidak sama dengan memaklumi kekerasan yang dilakukan oleh pihak luar.

Pemikiran bahwa "jika aku berasal dari negara A, aku juga akan menyerang negara B", sama saja dengan membenarkan pemikiran "karena kami sudah banyak menderita, kami boleh membuat orang lain menderita juga". Pemikiran seperti inilah yang memberi jalan pada kekerasan dan yang sesungguhnya tidak menghormati para korban.

Penyebab pertama krisis pengungsi adalah neokolonialisme ekonomi yang dilakukan Eropa. Dalam perekonomian Eropa, permasalahan muncul dari kebijakan moneter yang bobrok dari Uni Eropa sendiri. UE berusaha menyatukan Eropa, tetapi pada akhirnya malah menyebabkan saling bersaing dan terjadi fragmentasi. Tanpa kebijakan yang satu, Eropa tidak dapat menghadapi peningkatan jumlah pengungsi. Jadi, pertanyaannya bukanlah apakah Eropa akan campur tangan atau tidak, karena sejak awal Eropalah yang menyebabkan krisis ini terjadi.

Eropa membutuhkan tujuan dan cita-cita yang sama. Namun, perjuangan ini juga tidak boleh terputus dari perjuangan orang- orang bukan Eropa. Kita harus membandingkannya dan mempertemukannya dengan perjuangan non-Eropa. Orang-orang seperti para anti imigran di Eropa saat ini sama saja dengan anti Eropa karena apa yang mereka perjuangkan bertentangan dengan nilai-nilai Eropa.

EKO WIJAYANTO, DOSEN FILSAFAT UI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Juli 2016, di halaman 6 dengan judul "Krisis Humanitarian di Eropa".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger