Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 26 Juli 2016

Proporsionalitas Penanganan Terorisme (KIKI SYAHNAKRI)

Pembahasan revisi UU No 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme oleh Panitia Khusus DPR RI masih berlangsung alot hingga kini. Pro-kontra tentang pelibatan TNI menjaditopik pembahasan paling ramai dibicarakan.

Sementara itu, seolah suatu sukses mengiringi pergantian Kapolri dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Operasi Tinombala di belantara pedalaman Poso, Sulawesi Tengah, berhasil melumpuhkan pimpinan teroris yang paling dicari selama ini: Santoso alias Abu Wardah. Lalu apakah gerakan insurjensi yang dilakukan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) akan melemah? Anggapan tersebut hendaknya kita kesampingkan dulu. Terorisme berlatar belakang ideologi, apalagi yang sudah menjelma menjadi insurjensi bersenjata dan dilakukan secara gerilya, biasanya telah menyediakan kepemimpinan berlapis demi tujuan perjuangannya.

Kepada TNI, khususnya Batalyon 515/Raider Kostrad yang berhasil melumpuhkan Santoso dan merampas satu pucuk M-16, perlu diberi apresiasi. Namun, hendaknya hal itu tak dijadikan kriteria utama keberhasilan satuan.

Filosofi peperangan gerilya adalah "bagaimana memenangkan hati dan pikiran rakyat", karena gerilyawan tidak mungkin mampu bertahan tanpa dukungan rakyat. Maka, kriteria keberhasilan satuan yang tepat adalah "seberapa berhasil memutus mata rantai dukungan ideologi, intelijen dan logistiknya". Indikasinya di lapangan antara lain jika banyak personel lawan yang menyerah akibat sulit memperoleh dukungan intelijen dan logistik, serta yang lebih mendasar adalah menipis dan hilangnya kaderisasi gerilyawan/teroris karena kehilangan dukungan ideologi.

Ungkapan di atas menyimpulkan bahwa problematika terorisme/insurjensi bersifat multi- dimensi karena melibatkan juga rakyat/penduduk sipil. Maka, penanganannya pun harus secara proporsional dan terpadu.

Proporsionalitas

Terorisme, apalagi yang sudah berkembang dalam jaringan global, biasanya memiliki latar belakang ideologi/politik, bertujuan menjatuhkan pemerintah yang sah lalu mengubah ideologi negara dan sistem pemerintahan. Terorisme semacam ini—termasuk yang dilakukan kelompok Santoso—tidak lagi sekadar tindakan pidana, tetapi sudah merupakan makar. Jadi bukan hanya menjadi ranahnya polisi, melainkan harus melibatkan banyak instansi terkait lainnya.

Spektrum penanganan terorisme meliputi aspek "pencegahan" dan "penindakan". Penumpasan kelompok teroris bersenjata secara fisik adalah bagian dari aspek penindakan. Dalam konteks ini terdapat dua bagian pekerjaan utama. Pertama, upaya melumpuhkan kelompok bersenjata lewat tindakan intelijen, teritorial, dan pertempuran. Kedua, penyelesaian kasusnya secara hukum.

Dengan demikian, aspek penegakan hukum hanya bagian/ ujung dari aspek penindakan, bukan inti dari upaya penanganan terorisme. Karena itu, tidak tepat kalau penindakan terhadap terorisme/insurjensi bersenjata semacam ini menggunakan pendekatan "penegakan hukum", tetapi akan lebih tepat jika menggunakan "pendekatan fungsional".

Salah satu fungsi utama militer secara universal—termasuk TNI—adalah pertempuran. Sementara fungsi Polri adalah penegakan hukum serta keamanan dan ketertiban masyarakat. Maka, penindakan terhadap kelompok Santoso akan lebih tepat jika diserahkan kepada TNI, justru satuan Polri yang seharusnya di-BKO-kan pada satuan TNI.

Pola seperti ini diimplementasikan di banyak negara. Pada masa lalu, Inggris dalam menyelesaikan masalah Irlandia Utara mengerahkan sejumlah besar tentara dipimpin perwira tinggi bintang tiga, sedangkan polisinya cukup dengan polisi daerah dipimpin perwira setingkat komisaris besar. Di sana tidak ada istilah BKO, tetapi cukup berpegang pada fungsi dan tugas pokok masing-masing. Tentara melumpuhkan kelompok bersenjata, sementara polisi menyelesaikan kasus hukumnya sehingga jalannya operasi pun sangat efisien.

Pegangan hukum dan pertanggungjawaban militer dalam operasi melawan insurjensi adalah hukum humaniter atau internasional humanitarian law (IHL) yang berlaku universal. IHL memasukkan insurjensi bersenjata dalam kategori "non-international armed conflict", suatu konflik bersenjata yang bukan bersifat perang antarnegara (international armed conflict),melainkan antara tentara reguler suatu negara melawan insurjensi/pemberontakan bersenjata.

IHL mengatur bahwa ketika kelompok/seorang insurjen mengancam petugas atau orang lain dengan senjatanya, maka mereka atau seseorang tersebut dikategorikan sebagai "kombatan" sehingga legal untuk ditembak/dilumpuhkan. Namun, jika dalam keadaan tidak mengancam, apalagi dalam keadaan menyerah kendati ia memegang senjata, maka ia/mereka bukan kombatan. Dalam IHL juga terdapat prinsip "proporsionalitas". Artinya, dalam konflik bersenjata perlakuan terhadap kombatan serta ekses yang ditanggung oleh rakyat/penduduk sipil akibat konflik bersenjata tersebut harus bersifat proporsional, tidak berlebihan dan harus berpegang pada asas kemanusiaan.

TNI sudah lama mengimplementasikan IHL, menjadi acuan dalam taktik dan teknik bertempur. Sebagai contoh, dalam operasi melawan insurjensi, anggota TNI dilatih untuk mampu melakukan identifikasi bahwa seseorang/kelompok yang mereka hadapi termasuk kategori kombatan atau bukan, sekaligus menjustifikasi menembaknya atau tidak. Dalam suatu pertempuran perjumpaan (pertempuran mendadak), proses identifikasi dan justifikasi tersebut harus mampu dilakukan dalam tempo "empat detik". Perhitungannya karena seorang kombatan yang terlatih akan mampu menarik picu senjatanya dalam waktu empat detik. Contoh lain dalam prosedur pengepungan rumah atau kampung, pasukan pengepung sebelum melakukan serbuan harus meminta lebih dulu agar wanita, anak-anak, orang tua, dan mereka yang bukan kombatan agar keluar rumah/kampung.

Namun, yang lebih utama dalam pemberantasan terorisme adalah dikedepankannya aspek pencegahan, dengan bertitik berat pada upaya pencegahan niscaya akan lebih efektif. Dalam konteks Indonesia berarti "mencegah penyebaran ideologi teroris dengan berfokus pada upaya pemantapan implementasi Pancasila". Tindakan utamanya adalah pembangunan karakter atau pembangunan budaya/perilaku masyarakat.

Jika titik berat penanganan terorisme ada pada aspek pencegahan, sekali lagi kurang tepat jika revisi UU Terorisme menggunakan pendekatan "penegakan hukum", akan lebih tepat jika menggunakan pendekatan "pembangunan budaya".

Keterpaduan

Terorisme biasanya tumbuh subur dalam kehidupan masyarakat yang diliputi kemiskinan dan ketidakadilan. Untuk itu butuh suatu keterpaduan upaya, tak hanya dalam aspek operasi militer, tetapi juga keterpaduan antara operasi militer dengan upaya penegakan hukum dan pembangunan daerah.

Semua potensi di pusat ataupun daerah harus dipadukan dan diarahkan pada satu titik, yaitu "merebut hati dan pikiran rakyat". Untuk itu diperlukan adanya sistem koordinasi yang ketat dan terkendali oleh satu institusi. Pertanyaan besarnya, apakah penanganan terorisme di Indonesia sudah cukup terpadu? Apakah UU yang ada sudah cukup mengikat semua instansi/pihak terkait sehingga dapat menjamin berlangsungnya keterpaduan? Pertanyaan tersebut perlu menjadi bahan pembahasan dalam revisi UU Terorisme.

Semoga Pansus Revisi UU Terorisme dapat menyelesaikan tugasnya dengan cepat tanpa diwarnai kepentingan politik ataupun sektoral, tetapi hanya dengan pendekatan empirik demi kepentingan bangsa-negara.

KIKI SYAHNAKRI, KETUA BADAN PENGKAJIAN PERSATUAN PURNAWIRAWAN ANGKATAN DARAT (PPAD)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Juli 2016, di halaman 7 dengan judul "Proporsionalitas Penanganan Terorisme".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger