Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 26 Juli 2016

Memutus Reproduksi Terorisme (MASDAR HILMY)

Kematian Santoso, pemimpin organisasi teroris Mujahidin Indonesia Timur, dalam sebuah operasi gabungan TNI dan Polri di Poso (Senin, 18/7), sama sekali tak menjamin berakhirnya ideologi radikalisme dan terorisme di Tanah Air. Justru yang perlu dikhawatirkan sebaliknya: munculnya simpati diam-diam dari kalangan teroris dan bangkitnya mitos kesyahidan baru di kalangan mereka.

Dalam konteks ini, kematian seorang teroris hanya akan melapangkan jalan bagi munculnya aksi-aksi kesukarelawanan para teroris untuk mengobarkan semangat balas dendam terhadap apa pun yang mereka persepsi sebagai "musuh".

Dalam konteks ini, yang muncul adalah lingkaran setan kekerasan tak berkesudahan antara aparat keamanan dan para teroris. Dan, yang jauh lebih mengkhawatirkan adalah ketika para teroris sudah meluaskan definisi "musuh"; bukan saja kombatan seperti aparat keamanan, juga nonkombatan atau warga sipil.

Fenomena terorisme di Perancis (Kamis, 14/7) melalui aksi menabrak kalangan sipil yang menewaskan 80 warga merepresentasikan pergeseran definisi musuh oleh para teroris dari kombatan ke nonkombatan. Jika sudah demikian, sipil ataupun militer sudah tidak ada bedanya lagi: sama-sama musuh yang harus diperangi.

Struktur kesempatan

Dalam perspektif teori gerakan sosial, fenomena terorisme tidak bisa dipandang hanya sebatas persoalan ideologis semata, tetapi juga persoalan ketidakseimbangan sosiologis. Ketidakseimbangan semacam ini mewujud dalam bentuk deprivasi sosial, kesenjangan ekonomi, dan represi politik. Ideologi hanya berperan sebagaimass-mobilizing factor untuk memenangkan simpati dan pikiran orang-orang yang menjadi korban dari ketidakseimbangan sosiologis dimaksud. Oleh karena itu, ideologi terorisme sebenarnya tidak lebih dari sekadar efek domino dari munculnya ketidakseimbangan sosiologis tersebut.

Dalam formulasi yang hampir sama, Olivier Roy (2004) menggunakan istilah "dislokasi sosial" sebagai faktor penyebab kemunculan ideologi radikalisme dan terorisme. Keterjarakan sosiologis antara kelompok radikal dan masyarakat lain, menurut dia, berkontribusi dalam melahirkan kesenjangan kognitif dan berbagai kesalahpahaman di antara keduanya yang berujung pada konflik kekerasan. Artinya, fenomena radikalisme dan terorisme bukanlah melulu soal ideologi, melainkan juga sosial, politik, dan ekonomi.

Kondisi ketidakseimbangan sosiologis pada gilirannya menciptakan apa yang oleh Mohammed M Hafez dan Quintan Wiktorowicz (2004: 65) sebagai "struktur kesempatan" bagi munculnya para aktor atau agensi untuk mengonstruksi ideologi perlawanan dan melakukan gerakan mobilisasi massa. Keduanya merujuk pada ketersediaan aliansi, represi negara, instabilitas politik, dan kekuatan/kelemahan kelembagaan negara. Analisis struktur kesempatan pada akhirnya berbicara tentang konteks lebih luas bagaimana para aktor memanfaatkan peluang dan tantangan untuk melakukan gerakan mobilisasi massa.

Dalam konteks terorisme di Indonesia, kemunculan para ideolog tidak bisa dilepaskan dari tersedianya struktur kesempatan sebagaimana dijelaskan di muka. Sekadar menyebut beberapa, Imam Samudera, Santoso, Azahari, Noordin M Top, dan Maman Abdurrahman adalah deretan nama teroris yang menjadi besar karena diciptakan oleh struktur kesempatan yang ada. Mereka memanfaatkan kecerdasannya untuk merangkai narasi perlawanan teroristik dalam rangka mempersuasi pikiran para korban ketidakseimbangan sosiologis di tingkat akar rumput.

Ketika pentolan teroris seperti Azahari dan Noordin M Top terbunuh pada sebuah penyergapan oleh Detasemen Khusus 88, kita berharap aksi-aksi terorisme segera berakhir. Tetapi, bagaimana kenyataannya? Berkebalikan dengan harapan banyak orang, ternyata ideologi terorisme tetap berbiak, bereproduksi, dan melahirkan "pengantin-pengantin" baru yang siap menjalankan aksi "amaliyah" (bom bunuh diri). Terakhir ada nama Nur Rohman, pelaku bom bunuh diri di depan Markas Polresta Surakarta sehari menjelang Idul Fitri lalu.

Mungkin Nur Rohman atau Santoso tidak memiliki keterkaitan organik dengan pentolan-pentolan teroris di atas. Namun, ketersediaan struktur kesempatanlah yang melahirkan dua figur teroris tersebut. Artinya, kematian Nur Rohman atau Santoso jelas tidak akan mampu memutus reproduksi ideologi terorisme dari sumber asalnya. Operasi demi operasi boleh digelar, tetapi mata rantai ideologi terorisme tidak akan pernah putus jika pemerintah mengabaikan ketidakseimbangan sosiologis di atas. Akibatnya, kemunculan Nur Rohman atau Santoso lain hanyalah soal waktu.

Deradikalisasi integratif

Sayangnya, program pemberantasan tindak pidana terorisme di negeri ini sering tidak dilihat sebagai sebuah aksi integratif-menyeluruh dari hulu hingga hilir yang meliputi pendekatan keras maupun lunak, penindakan dan pencegahan sekaligus. Yang sering tampak di permukaan, persoalan terorisme hanya menjadi persoalan gangguan keamanan atau pelanggaran hukum yang harus ditindak melalui pendekatan keamanan. Di sisi lain, cakupan kerja Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sering tereduksi di wilayah-wilayah yang bukan kantong radikal. Akibatnya, kedua lembaga tersebut tidak pernah bertemu.

Dalam konteks deradikalisasi, yang perlu dilakukan oleh pemerintah dalam jangka panjang adalah mengembalikan ketidakseimbangan sosiologis dalam rangka menutup setiap celah struktur kesempatan. Upaya ini harus berlangsung di semua level kehidupan: sosial, politik, budaya, dan ekonomi. Masyarakat juga harus dipahamkan bahwa kecurigaan mereka terhadap para penganut ideologi radikal tidak lantas membuat mereka membatasi pergaulan dan ruang gerak mereka. Masyarakat justru berusaha "menyapa" dan menjalin interaksi dengan mereka agar tidak tercipta jarak sosiologis di antara keduanya.

Dalam jangka menengah, upaya deradikalisasi perlu ditandemkan dengan gerakan inklusi sosial, advokasi dan pendampingan para terduga teroris, baik selama di penjara maupun pasca-tahanan melalui program-program pemberdayaan sosial- ekonomi. Harus diakui, program-program pemberdayaan semacam ini sering bersifat karitatif, sporadis, dan tidak berkesinambungan. Itulah mengapa para eks narapidana terorisme banyak mengalami kesulitan memulai hidup baru di masyarakat. Mereka merasa diperlakukan secara "berbeda" dari masyarakat kebanyakan. Akibatnya, banyak dari mereka terlibat kembali dalam jaringan lama terorisme.

Dalam rangka deradikalisasi pula, pemerintah perlu mewaspadai upaya perumitan atau sofistikasi gerakan dan aksi kekerasan oleh teroris. Aksi brutal teroris di Nice, Perancis, perlu menjadi perhatian serius agar deteksi dini bisa dilakukan. Dalam konteks ini, analisis mendalam tentang peta ideologis terorisme beserta kemungkinan bentuk-bentuk perumitan serangan teroris beserta langkah antisipasinya menjadi keniscayaan. Terakhir, pelibatan sebanyak mungkin elemen masyarakat sipil perlu dilakukan agar program deradikalisasi tidak terkesan sekadar proyek pemerintah semata. Semoga!

MASDAR HILMY, GURU BESAR ILMU-ILMU SOSIAL DAN WAKIL DIREKTUR PASCASARJANA UIN SUNAN AMPEL

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Juli 2016, di halaman 6 dengan judul "Memutus Reproduksi Terorisme".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger