Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 27 Juli 2016

Revolusi, Kudeta, Rekonsiliasi (IWAN GARDONO SUJATMIKO)

Kehancuran Partai Komunis Indonesia merupakan gejala sosial yang kompleks danmenghasilkan berbagai perdebatan, analisis, dan kesimpulan serta solusi. Misalnya saja, tuntutan permintaan maaf presiden pada korban G30S/PKI dan "vonis"International People's Tribunal 1965.

Pemahaman dan penjelasan mengenai masalah kehancuran PKI perlu dilihat dalam konteks yang utuh. Masalah kehancuran PKI menghasilkan pertanyaan seperti: apa penyebabkehancuran PKI? Bagaimana prosesnya? Jawaban pertanyaan ini dapatparsial dan hanya fokus pada sebab jangka pendek sepertikonflik politik menjelang tahun 1965, konflik horizontal, danperang dingin. Di lain pihak, jawaban yang lebih utuh menjelaskan kehancuran PKIsebagai contoh konflik total atau revolusi sosial berbasis ideologi komunis yang gagal (lihat "Revolusi Sosial yang Gagal," Kompas, 30/9/2009). Analisis berikut yang menggunakan teori perubahan sosial-revolusi, analisis perbandingan komunisme, dansejarah PKI dapat menjelaskan lebih baik realitaskehancuran PKI serta rekomendasi rekonsiliasinya.

Ideologi gagal

Analisis kehancuran PKI perlu dilihat dalam konteks strategi revolusiPKI yang sesuai denganskenario dan strategi baku partai komunis ini mencakup empat hal: (1) peran ideologi-pemimpin, (2) perebutan kekuasaan (kombinasi tiga faktor: gerakan sosial, kudeta, dan perang gerilya), (3) pembunuhan massal (politicide), dan (4) pembangunan masyarakat komunis.

Dalam hal ini, kudeta G30S/PKI merupakan bagian dari revolusi komunis PKI untuk makar atau merebutkekuasaan (tahap 2), tetapi usaha tersebut gagal. Keadaan ini menghasilkan keadaan sebaliknya (tahap 3) di mana terjadi pembunuhan massal pada pihak PKI dan tahap 4 menghasilkan masyarakat yang tetap berideologi Pancasila. Revolusi sebagai perubahan sosial mendasar (tahap 4) lebih kompleks dari makar yang merupakan perebutan kekuasaan negara(tahap 2).

Kasus Indonesia menunjukkan, pemimpin PKI konsisten melaksanakan dan perebutan kekuasaan oleh Alimin dan Muso (1926), Muso dan Amir Sjarifuddin (1948) ataupun Aidit(1965). Ideologi komunisme yang revolusioner-totaliter mencita-citakanmasyarakat komunis tanpa kelas yang dicapai dengan makar atau perebutan kekuasaan dengan kekerasan, serta monopoli kekuasaan dalam semua bidang. Ideologi komunisme ini mengharuskan dan menghasilkan pemimpin revolusioner-totaliter dan berupaya merebut kekuasaan secara legal ataupun ilegal. Dalam kegiatannya, partai komunis bersifat komando (democratic centralism) dengan disiplin tinggi di mana kekuasaanberada pada pimpinan partai di politbiro.

PKI saat itu yakin akan kebenaran ideologi komunisme, sebaliknya pihak anti PKI menolak dan melawankarena mereka yakin komunisme merupakan ideologi salah dan berbahaya. Ideologi komunisme ini gagal sejak runtuhnya tembok Berlin (1989) dan bubarnya Uni Soviet (1991). Ideologi gagal lain adalah kolonialisme,fasisme, dan apartheid.

Revolusi dan kudeta gagal

Perebutan kekuasaan atau makar oleh PKI ini suatu proses yang baku dilakukan oleh partai-partai komunis di dunia yang melaksanakan kudeta dan perang gerilya sebanyak 75 kali tetapi yang berhasil hanya 28 (Nihan, 1991), terutama di zona Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Upaya perebutan kekuasaan dilakukan di Asia melalui kudeta yang gagal di Madiun 1948 tetapi sukses di Laos dan perang gerilya yang gagal di Thailand, Filipina, dan Malaya, tetapi sukses di RRT, Korea Utara, Vietnam, dan Kamboja.

Suksesnya perang gerilya ini disebabkan bantuan dari luar (teori "Domino") seperti RRT yang dibantu Soviet dan selanjutnya RRT yang membantu Korea Utara, Vietnam, Laos, dan Kamboja. Perebutan kekuasaan oleh PKI 1948 dilakukan dengan kudeta yang dimulai di Madiun tetapi digagalkan Divisi Siliwangi, pasukan TNI Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sementara itu, pasukan FDR/PKI di ibu kota (Yogyakarta) dilucuti oleh Nasution, Brigade Soeharto dan Brigade Kusno Utomo.

Strategi perebutan kekuasaan menjelangtahun 1965 dilakukan dengan tigapola. Pertama, gerakan sosial dengan menggalang buruh, tani, dan militer serta tuntutan angkatan kelima dengan mempersenjatai buruh dan petaniguna persiapan perang saudara. Gerakan sosial ini berbentuk senam-ofensif revolusioner yangsemakin meningkat menjelang tahun 1965dengan tuntutan "Kabinet Kaki Empat" dan pengganyangan "setan kota"dan "setan desa", parpol (Masyumi, PSI, Murba) dan organisasi sosial (NU, Muhammadiyah, HMI). Keadaan ini menghasilkan suasana revolusionersehingga terjadi polarisasi antara PKI dengan anti PKI serta konflik terpendam dan tertutup serta beberapa konflik berdarah menjelang 1965.

Pola kedua, melalui kudetaproxy dengan menggunakan perwirajaringan PKI dan didukung anggota politbiroserta PKI Jakarta yang menyiapkan2.000 sukarelawan PKI. Kudeta ini dianggap tidak dilakukan oleh PKI sebagai suatu organisasi karena tidak diputuskan dalam rapat 85 anggota CC PKI. Namun, kudeta PKI di Madiun tahun 1948 juga dimulai oleh Sumarsono dan dideklarasikan oleh Muso melalui radio dan diikuti oleh pasukan pendukung PKI.

Kudeta 1965 ini bertujuanmengubah keseimbangan segitiga kekuasaan PKI, Soekarno, dan TNI AD.Jika kudeta ini sukses,akanmenghasilkan pimpinan AD yang lemah dan pendemisioneran kabinet untuk mengontrol Soekarno. Selain itu, akan dibentuk Dewan Revolusi Pusat-Daerah yang akan memperkuat PKI.Namun, kudeta ini gagal karena Soeharto melawan, Soekarno menolak, dan pihak anti PKI bergerak melawan PKI.

Pola ketiga merupakan pola baru di mana PKI membonceng tokoh non-komunis, yakni Soekarno dalampayung ideologi Nasakom yang sebenarnya merupakan transisi di mana pada tahap akhirnya menjadi hanya akan ada "kom' saja. Seandainya kudeta sukses, maka akan dilaksanakan konsolidasi PKI untuk memonopoli kekuasaan seperti di negara komunis dengan menyingkirkan pihak non-PKI. Pola ini gagal di Indonesia tetapiberhasil di Kamboja di mana Pol Pot berkoalisi dengan Sihanouk (Staub, 1989).

Setelah Pol Pot menang pada tahun 1975, Sihanouk akan dibunuh tetapi berhasil dilindungi oleh Zhou Enlai (perdana menteri RRT), tetapi lima dari 14 anaknya dibunuh oleh partai komunis Kamboja.

Sementara, pola perebutan kekuasaan dengan perang gerilya tak dilakukan karena kondisi geografis tidak mendukung walaupun setelah tahun 1965 terdapat upaya ini di Blitar Selatan tetapi gagal.

Pembunuhan massal

Pada revolusi komunis yang sukses selalu terjadi pembunuhan massal dengan korban 100 juta orang (Courtuis, 1999) hingga 110 juta orang (Rummel, 1993). Jumlah korban di Soviet63 juta, RRT 39 juta, Kamboja 2 juta, Korea Utara 1,7 juta, Vietnam 1,7 juta, Polandia 1,6 juta, Yugoslavia 1 juta. Logika revolusi komunis berbeda dengan perang karena dalam revolusi yang harus dihancurkan bukan hanya pasukan musuh (kombatan), melainkan semua orang yang berbeda ideologi dan afiliasi politik (politicide) untuk membangun masyarakat komunis. Revolusi komunis ini berisiko menang total jika sukses seperti di negara komunis atau kalah total seperti PKI di Indonesia.

Pembunuhan massal di Indonesia tahun 1965 dengan jumlah korban 78.000-2 juta orang merupakan kasus unik di mana pihak komunis (PKI) yang menjadi korban.Korban di pihak PKI meliputi empat kategori: pimpinan, anggota aktif, anggota pasif, dan simpatisan.Dalam proses revolusi komunis yang berhasil akan terjadi korban yang banyak dipihak non-komunis seperti terlihat dalam sejarah. Sementara dalam pencegahan revolusi komunis di Indonesia terjadi juga korban meski secara persentase lebih sedikit. Korban di pihak PKI relatif besar karena jumlah penduduk Indonesia tahun 1965 sekitar 100 juta orang. Besarnya korban juga karena konflik yang terjadi kudeta sekaligus revolusi oleh sekitar 3 juta anggota aktifPKI, bukan hanya kudeta seperti kasus Madiun yang hanya didukungpasukan proFDR/PKI dan anggota PKI.

Pembunuhan massal ini terjadi karena pihak anti PKI mencegah titik balik (tipping point, lihat Schelling, 1972) yang dapat menguntungkan PKIkarenadi Jawa Tengah pendukung PKI di militer dan Biro Khusus PKI telah mengganti, menahan, bahkan membunuh pimpinan Korem di Yogyakarta serta membentuk Dewan Revolusi Daerah. Selain itu, pembunuhan massal ini berfungsi sebagai shock therapy guna menghasilkan demoralisasi pada sekitar 3 juta anggota PKI aktif dalam aksi revolusioner yang kian intensif sejak 1964.

Pembunuhan massal ini tak hanya pembalasan atas kudetaG30S/PKI, tetapi bertujuan menghancurkan PKI sebagai suatu organisasi agar tak melakukan konsolidasi dan mampu mengancam lagi seperti sebelum 1965. Pola demoralisasi ini dilakukan dalam perang olehInggris dengan mengebom kota di Jerman, sedangkan Amerika menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Hal ini bertujuan untuk mempercepat musuh menyerah dan mengurangi korban di pihak penyerang.

Gambar utuh ini menyimpulkan bahwa peran ideologi komunisme dan strategi pemimpin PKI menjadi penyebab mendasar revolusi dan kudeta PKI dalam upaya merebut kekuasaan atau makar. Keadaan ini membuat pihak non-PKI (pemerintah dan masyarakat) terpaksa bereaksi dengan membela diri ("hak untuk hidup")untuk mencegah keberhasilan PKI. Jika revolusi PKI berhasil, korban akan jatuh lebih banyak seperti terjadi di negara komunis. Kasus Madiun menunjukkan, korban bukan hanya pasukan pemerintah (kombatan), melainkan pegawai negeri dan warga, seperti ulama. Pihak anti PKI berpendapat keadaan saat itu tak dapat dilihat dengan "kacamata" masa kini yang tak mengalami realitas di lapangan saat itu. Berkaitan dengan hal ini,sebenarnya pemerintah perlu memberi penghargaan pada pihak anti PKI (parpol, ormas, kelompok, warga) yang telah berjasa mencegah pengomunisan Indonesia.

Rekonsiliasi

Berdasarkan gambar utuh ini, rekonsiliasi dalam kasus 1965 hendaknya dilihat dalam urutan proses, yaitu revolusi, kudeta, pembunuhan massal, dan rekonsiliasi. Kasus Indonesia menunjukkan Indonesia berhasil mencegah bencana ideologi komunis yang dilaksanakan melalui revolusi dan kudeta PKI. Jika dilihat dari sejarah Indonesia danperbandingan negara-negara komunis, rekonsiliasiagak unikkarena didasarkan pada revolusi dan kudeta komunis yang gagal. Format rekonsiliasidi Indonesia tak sama dengan Afrika Selatan, yang gambar besarnya apartheid.

Berdasarkan pembahasan di atas,tak tepat jika disimpulkanPKI menjadi pihak yang jadi korban dan tak bersalah dalam kasus 1965. Jika kita melihat gambar utuh kasus 1965, terlihat bahwa sebenarnya justru pemerintah dan pihak non-PKI yang sebenarnya calon korban revolusi PKI. Menurut penulis (Lembaran Sejarah, No 9, 2000) pihak non-PKI (negara dan pemerintah)tak perlumeminta maaf pada PKI atau anggotanya yang mencoba menerapkan ideologi komunis yang salah dan menjadi pihak yang kalah.

Sebenarnya yang harus meminta maaf adalah para mantan pemimpin atau tokoh PKI yang masih ada kepada negara dan masyarakat Indonesia karena mencoba menerapkan ideologi komunisme yang gagal. Mereka juga perlu meminta maaf pada para mantan anggota PKI, khususnya anggota pasif dan simpatisan PKI dan keluarganya yang hanya ikut-ikutan tetapi menanggung akibat dari revolusi gagal PKI. Sebenarnya mereka sendiri korban dari bencana ideologi komunis akibat dari tindakan pimpinan PKI.

Berbagai pihak berpendapat, saat ini telah terlaksana rekonsiliasi secara alamiah dalam kehidupan sehari-hari mulai dari perkawanan sampai perkawinandi antara kedua pihak. Demikian juga keturunan mantan anggota PKI telah diterima di masyarakat dan menduduki jabatan di bidang politik. Saat ini yang perlu didukung adalah upaya peningkatan reintegrasi mantan anggota PKI dan keluarganya ke masyarakat. Untuk ke depan perlu dilanjutkanmodel rekonsiliasi yang didasarkan asas kemanusiaan dan persatuansehingga dapat memberi kedamaian pada semua pihak.

Pembahasan di atasmenunjukkan penyebab dan proses kehancuran PKIperlu dipahami sebagai satu contoh dari revolusi sosial komunisme yang gagal di Indonesia. Peran ideologi komunisme yang menawarkan proses perubahan sosial secara revolusioner yanggagal ini telahmenjadi bagian penting dalam sejarah dunia pada abad ke-20. Analisis di atas diharapkan dapat menghasilkan rekonstruksi realitas serta pemaknaan baru bagi kehancuran PKI dalam sejarah Indonesia serta rekomendasi format rekonsiliasinya.

IWAN GARDONO SUJATMIKO, SOSIOLOG, PENGAJAR FISIP UI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Juli 2016, di halaman 6 dengan judul "Revolusi, Kudeta, Rekonsiliasi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

2 komentar:

  1. Realistis Dan Logis. Lanjutkan monitor perkembangan Dan perlunya pencerahan kpd Generasi Muda kita. Salam sukses

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus

Powered By Blogger