Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 27 Juli 2016

KKR Aceh dan Sisi Lain Luka (TEUKU KEMAL FASYA)

Akhirnya, setelah menunggu 10 tahun sejak UU Pemerintahan Aceh (UU No 11/2006) dan hampir tiga tahun sejak disahkan qanun tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi/KKR (Qanun No 17/2013), komisioner KKR Aceh terbentuk.

Pada 19 Juli lalu, DPR Aceh menetapkan tujuh nama komisioner dan tujuh cadangan. Nama-nama yang muncul sebagai komisioner, menurut penulis, memenuhi ekspektasi publik dan beragam. Ada berlatar belakang akademisi, penggiat HAM, pengacara, dan aktivis perempuan.

Jika dilihat, semuanya memiliki benang merah sebagai mantan aktivis 1998-1999. Ketika prahara kemanusiaan terbuka setelah runtuhnya kekuasaan Soeharto, mereka termasuk di antara yang terdepan. Para aktivis mahasiswa Aceh saat itu membentuk aliansi mahasiswa di Aceh dan perantauan. Di antara para komisioner itu ada di sana.

Di antara cacat kemanusiaan yang terjadi saat itu ialah pembantaian Tgk Bantaqiyah dan komunitasnya pada 23 Juli 1999 di Beutong Ateuh, Nagan Raya. Tragedi "Jumat Berdarah" itu meninggalkan sakit mendalam di masyarakat sekitar. "Otak" operasi, Letkol Sudjono, raib entah di mana. Yang terhukum dari kejahatan ini hanya "aneuk bileh", prajurit lapangan dengan putusan yang jauh dari rasa keadilan publik. Pengadilan koneksitas yang dibentuk untuk memberi maruah pada keadilan malah jadi pengadilan dagelan (Amran Zamzami, Tragedi Anak Bangsa: Pembantaian Tgk Bantaqiyah dan Santri-santrinya, 2001).

Mengungkap kebenaran

Sebagai amanat Pasal 229 dan Pasal 230 UU No 11/2006 dan Qanun No 17/2013, KKR Aceh dibentuk untuk mengungkap kebenaran terkait motif dan pola kejahatan masa lalu. Langkah ini juga sebagai salah satu imunisasi bagi perdamaian Aceh.

Metode yang digunakan adalah reparasi dengan pelbagai pendekatannya demi terwujudnya rekonsiliasi. Aspek humanisme adalah fondasi rekonsiliasi; sesuatu yang diabaikan selama bertahun-tahun di masa lalu. Di antara sandaran penting pelaksanaan KKR Aceh adalah UU No 5/1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, dan UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Meski rekonsiliasi adalah putusan politik, aspek humanisme harus paling utama. Mengecilkan nilai kemanusiaan dibandingkan politik hanya akan membentuk rekonsiliasi karikatural dan banal.

Ketentuan UU menyebutkan, KKR Aceh harus menjadi jalan lapang melihat setiap kekerasan tidak alamiah di masa lalu. Aspek desain dan motif politik adalah pembeda kasus pelanggaran HAM dengan kasus pidana biasa. Pelanggaran HAM atau sering disebut kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan luar biasa yang tidak boleh dilupakan begitu saja.

Oleh karena itu, kompetensi KKR Aceh tidak hanya pada kekerasan yang diinisiasi negara seperti Daerah Operasi Militer/DOM (17 Juli 1990-21 Mei 1998), tapi juga kekerasan yang diciptakan oleh para pihak berkonflik terhadap sipil ketika negara melemah (pasca pencabutan DOM, 7 Agustus 1998-15 Agustus 2005). Bahkan kekerasan saat dinamika politik lokal yang meninggalkan trauma sosial seperti konflik Pilkada 2012 penting juga ditelusuri agar tidak ada kejahatan kemanusiaan yang luput dari mata publik.

Bahkan, lini masa harus menyentuh kejadian 1 Maret 1946 dan setelahnya, ketika Teuku Nyak Arief sebagai kepala residen Aceh "dikudeta" oleh Tentara Perjuangan Rakyat (TPR) pimpinan Husin Al-Mujahid (Manuel Kaisiepo, "KaumUleebalang juga Nasionalis", Kompas, 3 Maret 1989).

Itu bukan hanya kudeta politik, melainkan juga merambat menjadi kejahatan massal atas nama revolusi sosial di wilayah Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur. Revolusi sosial muncul sebagai aksi pembersihan "kaum republik pembangkang" pimpinan Teuku Daud Cumbok, Teuku Mahmud Cumbok, Teuku Pakeh Sulaiman, dan Teuku Abdullah Titue pada 1 Desember 1945.

Kejadian ini tidak saja berhubungan dengan 1 Desember 1945 atau 1 Maret 1946, tapi lebih dalam lagi: kemunduran politik dan kultural uleebalang dalam sejarah Aceh modern. Reid mencatat prahara de-uleebalang-isasi ini sebagai keberhasilan wacana konfrontasiuleebalang versus ulama yang dimulai sejak 1913 dan mengalami titik penajaman paling parah pada masa pendudukan Jepang (Anthony Reid, The Blood of the People: Revolution and the End Traditional Rule in Northern Sumatra, 1979).

Luka masih ada

Luka itu masih ada dan berlanjut melalui marjinalisasi dan diskriminasi terhadap kaum uleebalang. Dalam pergolakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia(21 September 1953-8 Mei 1962), kaumuleebalang semakin menjadi masyarakat kelas dua. Ironisnya, sejarah konflik dengan kaum ulama diselesaikan dengan cara bermartabat melalui Ikrar Lam Teh (April 1957) dan pemberian Daerah Istimewa Aceh kekuasaan pelaksanaan Syariat Islam (16 Mei 1959), tapi pembunuhan dan penistaan terhadap kaum uleebalang malah berlanjut terutama melalui publikasi dan penerbitan buku-buku bernuansa sejarah yang rasis.

Refleksi ini terbaca saat seminar sejarahuleebalang Aceh di Banda Aceh, 21 Juli lalu. Seminar yang dilaksanakan Wareeh Keluarga Uleebalang(Wareeh KUB), didukung Forum Silaturahmi Keraton Nusantara (FSKN) Aceh dan TeukuCut.Net, menjadi salah satu tujuan. Seminar itu juga ingin melihat posisi luka sejarah itu sekarang, menjadi moment of truth dan testimonial keluarga korban.

Ada kisah Teuku Fadhlon tentang ayah dan paman-pamannya dieksekusi saat revolusi sosial. Ada cerita Teuku Otman yang trauma akibat pembantaian massal sehingga memilih tidak tinggal di Aceh. Ada cerita perampasan harta, istri, dan tanah kaum uleebalang sehingga banyak di antara mereka menjadi miskin tiba-tiba. Ada keturunan korban yang harus mengubah dan menghapus "Teuku" dan "Cut" di depan namanya demi sembunyi dari "mata tajam" publik, dll.

Padahal, seperti disinggung Anthony Reid,kaum uleebalang termasuk terdepan menggelorakan perlawanan ketika Sultan (Aceh) menyerah kepada Belanda pada 10 Januari 1903. Kekuasaan uleebalang yang tidak sentralistis dengan Sultan membuat itu bisa terjadi. Struktur politik konfederasi dan struktur adat dan ekonomi yang otonom membuat kaum uleebalang Aceh berbeda dengan hulubalang Melayu Deli pada era kolonial. Uleebalang Aceh pun berbeda dengan sistem raja Batak yang akhirnya hanya bertumpu pada kemargaan karena tidak pernah terwujud dalam kedaulatan politik riil (Reid, 1979: 10-16).

Sisi lain sejarah luka ini harus dilihat KKR Aceh sehingga tidak miopik pada luka-luka seputar kejahatan pada era DOM semata. Pendekatan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya tidak bisa disamakan. Demikian reparasi bagi keluarga korban uleebalang. Hal paling baik sesungguhnya pengungkapan kebenaran secara obyektif (truth seeking) dibandingkan pendekatan hukuman. Memorialisasi atas kasus ini penting demi menghapus stigma sejarah yang membuat di antara kelompok masyarakat masih ragu berjalan bersama.

TEUKU KEMAL FASYA, PRESIDEN JARINGAN TEUKU DAN CUT (TEUKU-CUT NETWORK)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Juli 2016, di halaman 7 dengan judul "KKR Aceh dan Sisi Lain Luka".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

1 komentar:

  1. Alhamdulillah saya mengapresiasi tulisan ini, semoga kita dapat melahirkan rekomendasi yang lebih bermartabat, salam hormat ppuntodewo@yahoo.com.

    BalasHapus

Powered By Blogger