Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 27 Juli 2016

Gravitasi Kekuasaan (BONI HARGENS)

Benarkah 10 juta pekerja asal Tiongkok masuk Indonesia?

Apakah perombakan kabinet untuk memperkuat kinerja pemerintah atau bukti kelemahan Kabinet Kerja? Fitnah dan fakta dalam demokrasi modern sering kali sulit dibedakan.

Banyak orang terhipnotis dengan kekuasaan tetapi lupa dengan pemaknaan deontologis darikekuasaan itu sendiri. Pendekatan postmodern melihat kekuasaan sebagai konsep terapung, yang bergerak secara dinamis dan kontekstual. Berbeda dengan konsep klasik yang memahami kekuasaan sebagai konsep mutlak yang tetap. Dinamika konsep kekuasaan tentu sejalan dinamika "berpikir" zaman.

Makanya, tak mengejutkan pada Pilpres 2014, orang sederhana dari Solo bernama Jokowi terpilih sebagai presiden mengalahkan jenderal dan tokoh politik lain yang mendominasi arus utama politik nasional. Begitu juga sosok bermata sipit, Ahok, yang kini menjabat Gubernur DKI. Dulu sulit dibayangkan, sekarang justru jadi kandidat terkuat pilgub mendatang.

Kekuasaan bukan lagi diskursus terbatas segelintir elite, melainkan diskursus publik, semua orang boleh terlibat. Dalam kondisi zaman seperti ini, mereka yang menggunakan paradigma lama justru ditinggalkan sejarah. Mereka yang doyan memainkan isu SARA dan sentimen primordial niscaya tergilas zaman.

Demokrasi mensyaratkan keterbukaan di segala dimensi. Keterbukaan ruang dan keterbukaan berpikir. Namun, keterbukaan itu pun sebuah simalakama dan menjadi tantangan serius.

Muncul fitnah, gosip, dan bualan yang berkecamuk dengan fakta dalam ruang publik yang terbuka. Ada fitnah, 10 juta tenaga kerja dari Tiongkok memasuki Indonesia. Konon, mereka menghuni rumah susun yang disediakan Pemprov DKI untuk warga pinggiran. Fitnah lain, pengampunan pajak adalah mainan para pengemplang pajak. Kebijakan yang berorientasi baik malah dituding dengan fitnah berlapis. Itu yang terjadi kalau "kebebasan berpendapat" diterjemahkan sebagai "keleluasaan berbual".

Media sosial dalam hal tertentu telah berperan sebagai agensi "pembualan sosial". Persis seperti yang dilakukanObor Rakyat waktu Pilpres 2014 untuk menyudutkan Jokowi. Siapa yang menggerakkan ini semua?

Kekuasaan itu ibarat sentrum gravitasi yang menarik semua benda di sekitarnya. Dalam fisika, gravitasi dipahami sebagai gaya tarik-menarik antarpartikel yang punya massa. Matahari punya gravitasi yang mengikat semua benda langit pada orbitnya.Bumi juga mempunyai gravitasi besar yang menarik makhluk hidup dan benda mati di sekitarnya.

Rupanya, kekuasaan juga pusat gravitasi yang menarik siapa saja untuk masuk ke dalam lingkaran. Segala cara dipakai untuk bisa masuk ke kekuasaan. Para ahli yang menganut paham pragmatisme lalu, dalam konteks ini, membatasi kekuasaan sebagai "siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana" (Lasswell,1948).

Politik fitnah

Efek gravitasi ini menarik. Kalau yang satu berkuasa, yang lain sibuk melakukan gerakan sentripetal, melingkar-lingkar tetapi mengarah ke pusat kekuasaan. Mereka ini yang menggerakkan politik fitnah. Targetnya bisa hari ini bisa juga lima tahun ke depan. Tradisi berdemokrasi macam ini melahirkan dua konsekuensi yang serius. Pertama, kekuasaan adalah sesuatu yang diperebutkan dan dipertahankan. Kedua, kekuasaan dijalankan untuk dikritik.

Konsekuensi yang pertama cenderung memperkuat tesis pragmatisme yang melihat kekuasaan bertujuan pada dirinya. Akibatnya cukup fatal. Yang berkuasa cenderung memikirkan strategi mempertahankan kekuasaan dan lupa melayani kepentingan umum. Periode kekuasaan pun dibelah secara simplisistis: "sebelum pemilu" dan "sesudah pemilu". Kapan rakyat dilayani?

Konsekuensi yang kedua berdampak positif bagi pembangunan demokrasi. Bagaimanapun, demokrasi hidup dari kritik. Kritik memungkinkan kekuasaan berjalan dalam rel yang benar. Tanpa kritik, kekuasaan bisa menjadi mutlak dan korup.

Maka, tak salah kalau ada yang menuding rencana reshuffle kabinet yang tengah digodok sebagai bukti kegagalan pemerintah membangun Kabinet Kerja yang benar-benar bekerja. Tudingan itu perlu dicermati sebagai dukungan supaya benar-benar ada pembenahan.

Namun, kritik juga perlu mempertimbangkan argumentasi pemerintah. Bahwa perombakan yang berulang mencerminkan paradigma Jokowi yang tak melihat jabatan/kekuasaan sebagai tujuan an sich. Kekuasaan bukan tujuan pada dirinya, melainkan sarana melayani publik sehingga menteri yang gagal berpikir dan lamban bekerja tentu saja perlu diganti karena revolusi mental harus dimulai dari atas.

Tentang kritik ini, ada pandangan yang keliru. Orang yang mencaci maki Presiden umumnya mengatasnamakan "kritik" untuk menyembunyikan kebencian terselubung. Padahal, kritik yang benar punya sejumlah kriteria: (1) ada motif baik, (2) dilakukan dengan cara etis, dan (3) punya intensi baik. Kalau motifnya kebencian, caranya dengan menyebar fitnah dan karikatur jorok, kita bisa menebak tujuannya: menghina dan menjatuhkan. Mereka inilah yang kalau melekat dengan sentrum gravitasi akan menjadikan kekuasaan sebagai tujuan pada dirinya.

BONI HARGENS, DIREKTUR LEMBAGA PEMILIH INDONESIA (LPI)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Juli 2016, di halaman 6 dengan judul "Gravitasi Kekuasaan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger