Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 28 Juli 2016

Laut Tiongkok Selatan//Tertipu Kursus//Masuk Provinsi (Surat Pembaca Kompas)

Laut Tiongkok Selatan

Kami mengusulkan agar dalam semua pemberitaan mengenai South China Sea, tidak lagi memakai istilah Laut Tiongkok Selatan. Mengapa? Tiongkok adalah nama sebuah negara (Chungkuok). Penggunaan kata Tiongkok pada nama laut ini, meluangkan pembenaran bahwa seluruh laut tersebut memang milik Tiongkok.

Dengan bertambahnya frekuensi dan jumlah kapal nelayan Tiongkok yang tertangkap mencuri ikan di perairan kepulauan Natuna, terbukti bahwa Pemerintah Tiongkok menegaskan klaim atas wilayah laut Natuna, yang mereka sebut sebagai traditional fishing ground.

Sangat ganjil melihat peta resmi Pemerintah Tiongkok dalam salah satu kapal yang tertangkap, yang menunjukkan seluruh perairan sekitar kepulauan Natuna sebagai kawasantraditional fishing ground mereka, dengan pulau Natuna milik Republik Indonesia di tengahnya (Kompas, 15-27/6).

Buku peta RRT itu memberikan pemahaman bahwa perairan Natuna masuk Hak Maritim RRT. Adapun kepentingan Maritim RRT mengacu pada keseluruhan laut di Asia Tenggara sampai Selat Malaka (Kompas, 28/6).

Tiongkok mengatakan, klaimnya berdasarkan garis imaginer berbentuk sembilan garis putus-putus (nine dash line), yang dibentuk berdasarkan jajaran kawasan-kawasan yang mereka sebutChinese Traditional Fishing Ground.

Sembilan garis putus-putus tersebut tumpang tindih dengan batas ZEE Indonesia yang resmi dan diakui dunia. Sembilan garis putus-putus tersebut tidak diakui Indonesia dan sudah dilaporkan kepada PBB.

Dengan demikian, kami mantap mengusulkan agar tidak lagi memakai istilah Laut Tiongkok Selatan. Istilah yang paling tepat untuk South China Sea adalah Laut Cina Selatan karena kata Cina di sini bukan nama negara. Kita tidak perlu ragu-ragu mempergunakan kata Cina.

Kami yakin hal ini tidak bertentangan dengan Keputusan Presiden RI Nomor 12 Tahun 2014 tanggal 12 Maret 2014.

RG PUDJO HARSONO, RESIDENCE-ONE, JL LENGKONG RAYA, BSD, TANGERANG SELATAN

Tertipu Kursus

Sekitar Juli 2015, saya mengantar anak saya yang duduk di kelas II SMU mendaftar ke kursus bahasa Inggris Easy Speak. Lokasi di gedung BPD, jalan Pemuda, Semarang.

Saya diterima staf TU dan mendapat penjelasan yang sesekali diselingi bahasa Inggris, kemudian saya harus membayar di muka Rp 11 juta untuk paket kursus privat selama 900 jam. Janjinya akan dibimbing sampai siap menghadapi TOEIC.

Saat kursus baru berjalan tiga bulan, tempat kursus tersebut tidak buka lagi dengan alasan akan pindah tempat baru. Namun, setelah dua bulan lebih tidak ada kabar.

Kami mencoba menelepon, dijawab bahwa tempat baru terlalu kecil dan sementara masih mencari lokasi lagi. Semula pertanyaan kami melalui telepon masih dijawab, tetapi lama-kelamaan telepon tidak lagi diangkat. Bahkan, nomor telepon cabang-cabang kursus Easy Speak di seluruh Indonesia yang tercantum pada buku modul tidak satu pun dapat dihubungi.

Saya sadar bahwa saya dan mungkin para konsumen lain telah tertipu. Sampai sekarang, kami tidak pernah mendapat penjelasan dari pihak Easy Speak. Mohon para pembaca waspada, lebih-lebih pada jasa yang meminta pembayaran di muka.

MOH SOFYAN HARAHAP, PERUMAHAN GRIYA MEDOHO ASRI, SEMARANG 50198

Masuk Provinsi

Perihal diberlakukannya kewenangan SMK/SMA ke provinsi, saya mengimbau kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengkaji ulang kebijakannya. Kebijakan ini akan melepaskan tanggung jawab pihak kabupaten/kota, padahal yang paling tahu masalah pendidikan menengah adalah kabupaten kota (wali kota/bupati) karena dekatnya jarak ke sekolah daripada ibu kota provinsi.

Sebagai contoh, di Aceh ibu kota provinsi di ujung barat. Hal ini akan menyulitkan pihak provinsi (gubernur) memantau langsung masalah sekolah. Belum lagi, perbedaan budaya dan bahasa antarkabupaten/kota.

Bagaimana pula jika ada anak putus sekolah di tingkat SMA? Pasti pihak kabupaten akan lepas tangan karena wewenang telah diambil alih provinsi. Belum lagi, masalah guru honor di sekolah.

Tingkat provinsi terlalu sibuk dengan hal politis sehingga mungkin kurang perhatian pada masalah pendidikan.

HERI SUSANTO, GURU SMKN 5 TELKOM, BANDA ACEH

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Juli 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger