Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 28 Juli 2016

TAJUK RENCANA: Belajar dari Kejadian di Jepang (Kompas)

Sebanyak 39 orang berkebutuh-an khusus dilukai dengan pisau oleh Satoshi Uematsu (26). Akibatnya, 19 orang terbunuh, dan 20 orang luka parah.

Peristiwa di klinik Tsukui Yamayuri-En di Sagamihara, 50 kilometer sebelah barat Tokyo, Jepang, itu sungguh sangat mengejutkan, dan juga sangat disesalkan, bahwa peristiwa itu sampai terjadi. Membunuh 19 orang saja sudah mengerikan, apalagi yang dibunuh itu adalah orang-orang yang berkebutuhan khusus, yang justru seharusnya dilindungi.

Wajar jika rakyat Jepang terkejut dan sangat menyesalkan terjadinya peristiwa itu. Kejahatan seperti itu tidak pernah terjadi di Jepang, yang tercatat sebagai salah satu negara dengan tingkat kejahatan terendah di dunia. Tahun lalu, pembunuhan yang terjadi di Jepang, yang memiliki penduduk 130 juta orang, lebih sedikit daripada pembunuhan di kota Chicago, Amerika Serikat (AS), yang penduduknya tidak sampai 3 juta orang.

Satoshi Uematsu, yang kemudian menyerahkan diri kepada kepolisian setempat itu, diduga mengidap penyakit jiwa. Ia pernah bekerja di klinik itu dari tahun 2012 hingga awal Februari lalu. Ia dimasukkan ke rumah sakit jiwa, 19 Februari lalu, karena mengirimkan surat kepada ketua majelis rendah Jepang, yang isinya mengancam akan membunuh 470 orang berkebutuhan khusus di dua klinik tempatnya bertugas. Uematsu pun dipecat dari pekerjaannya.

Namun, dokter mengabaikan surat ancaman itu, dan 12 hari setelah ia dirawat di rumah sakit jiwa, ia diizinkan pulang. Uematsu didiagnosis menderita penyakit jiwa dan kecanduan ganja. Surat ancaman yang menyebutkan nama, alamat, dan nomor telepon Uematsu itu kemudian juga diteruskan kepada kepolisian setempat, tetapi tidak ada tanggapan yang memadai.

Baik dokter maupun kepolisian mengabaikan surat ancaman yang dibuat Uematsu, dan lima bulan kemudian Uematsu melaksanakan ancamannya. Dokter yang memeriksanya dan kepolisian setempat mempunyai alasan tersendiri untuk tidak menganggap serius ancaman yang dilontarkan Uematsu, dan kemudian, terbukti bahwa mereka salah.

Hal seperti itu bukan khas dokter dan kepolisian setempat di Sagamihara. Hal yang sama juga terjadi di negara lain. Salah satu contoh, serangan atas Menara Kembar New York, AS, 11 September 2001, yang akrab disebut 9/11. Sesungguhnya, sebelum peristiwa itu, sudah ada informasi intelijen awal yang masuk, tetapi diabaikan karena dinilai hal itu tidak mungkin dilakukan.

Melihat pengalaman dari beberapa peristiwa itu, negara mana pun perlu menyikapi dengan serius setiap informasi yang masuk, dan melakukan langkah pengamanan yang memadai. Sesal kemudian tidak berguna.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Juli 2016, di halaman 6 dengan judul "Belajar dari Kejadian di Jepang".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger