Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 28 Juli 2016

Menanti Orkestrasi Tim Ekonomi (A PRASETYANTOKO)

Perombakan selalu mengundang harapan sekaligus celaan. Begitupun dengan perombakan kabinet kali ini. Untuk kedua kali dalam dua tahun pemerintahan, 

Presiden Joko Widodo melakukan perombakan (reshuffle) kabinet. Kali ini melibatkan 13 kementerian, ada empat menteri digeser, dan sembilan lainnya diganti. Perombakan kali ini lebih fokus pada kementerian bidang ekonomi.

Dalam perombakan kabinet ini, satu isu yang sangat menonjol adalah penunjukan Sri Mulyani Indrawati sebagai menteri keuangan. Ada begitu banyak pertanyaan dibalik kembalinya sosok Sri Mulyani, baik pada sisi personalnya (mengapa mau), alasan Presiden memintanya, dan tentu saja implikasi (politik) yang ditimbulkannya. Setiap kali nama Sri Mulyani disebut, selalu asosiasinya pada kasus Bank Century serta perseteruan dengan Golkar. Bisa jadi lanskap politik memang sudah berubah, tetapi seberapa solid sehingga riak tak membesar menjadi gelombang.

Bukan kebetulan jika persis sehari sebelum dilantik, Sri Mulyani dalam kuliah umum di Universitas Indonesia menyinggung soal rapuhnya perekonomian kita, terutama di tengah situasi global yang semakin berat. Dalam pidato pengantar sebelum pengumuman perombakan kabinet, Presiden juga menyoroti isu perekonomian sebagai alasan utamanya.

Paling tidak ada dua hal besar mengapa perombakan menteri (ekonomi) dilakukan. Pertama, Presiden menyadari perubahan lanskap perekonomian pada level global dan regional yang memerlukan kecepatan bertindak. Kedua, pada level domestik persoalan kemiskinan, kesenjangan, dan penyediaan lapangan kerja masih menjadi isu sentral. Navigasi kebijakan diperlukan guna menyelesaikan masalah domestik di tengah bayangan perlambatan global serta peningkatan persaingan regional.

Agenda jangka panjang

Apakah tim (ekonomi) kabinet baru mampu menghadapi sederet persoalan domestik, regional, dan global ini? Paling tidak, pasar merespons positif komposisi tim ekonomi, terutama kembalinya figur Sri Mulyani. Meskipun begitu, ujian sebenarnya bukanlah pada sentimen jangka pendek, melainkan prospek perekonomian jangka panjang.

Tidak semua sentimen positif berasal dari perombakan kabinet. Di luar itu, ada faktor lain yang sudah terlebih dahulu menopang kinerja pasar keuangan. Pertama, pemberlakuan Undang-Undang Pengampunan Pajak, dan kedua, gejolak pasar keuangan di negara maju, khususnya pasca keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Keduanya secara riil mendorong masuknya aliran modal jangka pendek. Kini sentimen positif bertambah dengan rilis komposisi kabinet, khususnya di bidang ekonomi.

Jika mau lebih spesifik, efek paling besar dari perombakan kabinet ini terletak pada figur Sri Mulyani sehingga ada pula terminologi yang beredar di pasar; yaitu "Sri Mulyani effect". Sepertinya kita telah menyaksikan suasana ini sebelumnya atau deja vu.Pada waktu Jokowi mendeklarasikan dirinya menjadi calon presiden di bawah Partai Demokrasi IndonesiaPerjuangan (PDI-P), pasar langsung bereaksi sangat positif. Waktu itu "Jokowi effect" menyumbang kenaikan indeks harga saham gabungan sekitar 3 persen. Kini, kalaupun ada "Sri Mulyanieffect", dampaknya pada indeks sekitar 1 persen.

Belajar dari pengalaman lalu, sentimen pasar modal tidak bisa dijadikan patokan. Sedikit saja terjadi perubahan situasi, sentimen sirna dengan cepat dan gelembung ekspektasi pun mengempis. Karena itu, ada dua pelajaran penting dari sana. Pertama, jangan terlalu percaya pada indikator jangka pendek. Isunya adalah bagaimana perekonomian jangka panjang dikelola. Jika prospek jangka panjangnya surut, ekspektasi bisa segera mengempis. Kedua, mengempisnya harapan lebih sering karena faktor politik.

Ada harapan, perombakan kali ini sekaligus menandai terkonsolidasinya politik pendukung pemerintah. Harus diakui, pengunduran Sri Mulyani dari Kabinet Indonesia Bersatu II pada tahun 2010 lebih akibat ketegangan politik. Kini, kembalinya Sri Mulyani pada posisi yang sama bisa menjadi simbol terbesar konsolidasi politik, ditandai dengan merapatnya Partai Golkar. Mungkin saja, itulah salah satu motif Presiden Jokowi memanggil kembali Sri Mulyani.

Pertanyaannya, seberapa kuat dan lama dukungan politik terkonsolidasi. Beberapa kekecewaan atas kembalinya Sri Mulyani pada posisi ini sering dikaitkan dengan pendekatan dan perspektif ekonominya yang dianggap terlalu liberal. Namun, isu ini sangat rentan disusupi motif politik, justru karena indikatornya tak jelas.

Pada jalur kementerian perekonomian, sebenarnya komando tetap ada di Menko Perekonomian yang tidak mengalami perubahan. Garis kebijakan dan strategi besar tentu mengikuti kerangka yang sudah dirancang oleh Darmin Nasution. Pada konteks ini, kita bisa berdebat soal pendekatan ekonomi yang kesimpulannya tak begitu relevan diketengahkan.

Pada bidang industri, masuknya Airlangga Hartarto yang memiliki rekam jejak panjang terkait dunia industri bisa menjadi modal positif. Tugas utama dari kementerian ini sebenarnya adalah merancang gambar besar pembangunan industri nasional. Keterlibatan Airlangga menyusun Undang-Undang Perindustrian bisa menjadi bekal yang baik. Sementara, Thomas Lembong dengan kompetensi utama di bidang investasi sangat cocok bergeser ke Badan Koordinasi Penanaman Modal.Masih ditambah dengan bergesernya Bambang Brodjonegoro ke Bappenas, sebenarnya jalur kementerian perekonomian terlihat makin solid.

Memang isu lama terkait koordinasi dengan Kementerian Kemaritiman masih tetap menjadi agenda. Tingkat kecocokan (chemistry) antara Menko Perekonomian dan Menko Kemaritiman tetap menjadi kunci. Apakah dengan pergantian dari Rizal Ramli ke Luhut Binsar Pandjaitanchemistry-nya lebih baik, waktulah yang masih akan mengujinya.

Koordinasi

Selain strategi ekonomi jangka panjang, faktor lain yang jauh lebih penting diperhatikan adalah dukungan politik pada pemerintah, khususnya kabinet baru ini. Dukungan terhadap Menteri Keuangan bisa menjadi indikator. Jika Sri Mulyani bisa fokus mengembangkan kemampuan teknokratisnya sebagai komandan fiskal tanpa ada gangguan politik, ada potensi tim ekonomi bisa jalan dengan baik. Bisa diduga, Presiden Jokowi sendiri menyatakan dukungan penuh kepada Sri Mulyani. Mirip dukungan Presiden terhadap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Bagi teknokrat, jaminan politik menjadi penting.

Arah kebijakan dan strategi jangka panjang kebijakan di bidang perekonomian sudah dihela oleh Menko Darmin Nasution. Jika menteri baru di bidang perekonomian bisa menyesuaikan diri dengan cepat dan tak punya banyak pertanyaan tentang arah ini, kinerjanya bisa ditingkatkan. Agenda besarnya menurunkan paket kebijakan perekonomian ke level peraturan teknis di berbagai kementerian dan lembaga.

Diagnosis tentang situasi ekonomi, baik domestik, regional, maupun global, sudah dirumuskan dengan baik oleh Sri Mulyani pada sesi kuliah umum sehari sebelum menduduki posisi menteri. Kini persoalannya, bagaimana menurunkan dalam rumusan kebijakan dengan formula yang pas sekaligus melakukan fungsi advokasi menjalankannya.

Jika tak ada masalah dengan kompetensi teknokratik sementara bisa diandaikan Presiden sendiri menjamin secara politik, maka satu agenda yang tersisa adalah koordinasi. Kemampuan melakukan permainan dalam orkestrasi kebijakan yang lebih luas menjadi kunci berhasil tidaknya tim (ekonomi) kabinet baru.

Waktu sudah tidak banyak, tidak ada lagi kemewahan melakukan perombakan kabinet lagi. Kini saatnya membuktikan orkestrasi, khususnya tim ekonomi.

A PRASETYANTOKO, EKONOM DI UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Juli 2016, di halaman 6 dengan judul "Menanti Orkestrasi Tim Ekonomi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger