Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 21 Juli 2016

Persetujuan atas Aturan KPU (RAMLAN SURBAKTI)

Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota telah disepakati oleh DPR dan pemerintah pada pertengahan Juni yang lalu.

Namun, UU yang telah diubah ini mengandung dua pasal yang dapat menimbulkan konsekuensi politik yang justru bertentangan dengan salah satu agenda reformasi. Yang dimaksud adalah Pasal 9 Huruf a yang menyangkut tugas dan wewenang KPU dalam penyelenggaraan pemilihan: "menyusun dan menetapkan peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan pemilihan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat, dan pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat". Ketentuan konsultasi ini sudah terkandung pada UU sebelumnya, tetapi tidak disertai ketentuan "yang keputusannya bersifat mengikat".

Pasal kedua adalah Pasal 22B Huruf a mengenai tugas dan wewenang Bawaslu dalam membuat peraturan Bawaslu yang juga mengharuskan adanya konsultasi dengan DPR dan pemerintah yang keputusannya bersifat mengikat. Dari ketentuan pasal ini dapat disimpulkan bahwa peraturan KPU dan peraturan Bawaslu hanya dapat berlaku jika disetujui DPR dan pemerintah.

Ancam kemandirian

Jika pemahaman ini benar, setidak-tidaknya terdapat dua akibat yang dapat ditimbulkan oleh kedua pasal ini.

Pertama, mengancam kemandirian KPU dan Bawaslu dalam melaksanakan semua tugas dan kewenangannya. Penyelenggara pemilu yang mandiri tidak hanya merupakan tuntutan agenda reformasi (karena penyelenggara pemilu berada di bawah kendali pemerintah selama Orde Baru sehingga hasil pemilu sudah ditetapkan/diketahui sebelum pemilu diselenggarakan) tetapi juga amanat Pasal 22E Ayat (5) UUD 1945. Penyelenggara pemilu yang mandiri berarti penyelenggara pemilu yang menyelenggarakan tugas dan wewenangnya tak di bawah kendali institusi lain, tetapi semata-mata berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sudah barang tentu UU yang mengatur tugas dan wewenang penyelenggara harus sejalan dengan UUD 1945.

Salah satu wujud kemandirian KPU dan Bawaslu adalah membuat peraturan tanpa persetujuan institusi lain. Namun, karena Indonesia negara hukum, peraturan KPU ataupun peraturan Bawaslu dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung jika tidak sesuai dengan UU, sesuai dengan ketentuan Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945.

Kemandirian penyelenggara pemilu sebagaimana dimaksud di atas tak menghalangi KPU ataupun Bawaslu melaksanakan konsultasi dengan DPR dan pemerintah sepanjang hal tersebut atas permintaan penyelenggara pemilu. Atas permintaan KPU, penyelenggara pemilu/KPU periode 2001-2007 pernah mengadakan konsultasi dengan Komisi II DPR perihal Pasal 45 UU No 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. KPU memandang perlu mengadakan konsultasi dengan Komisi II DPR untuk menanyakan apa maksud Pasal 45 tersebut. Ternyata tafsiran anggota Komisi II DPR atas pasal itu juga bermacam-macam sebagaimana tafsiran berbagai LSM pemantau pemilu. Dari konsultasi ini, KPU dapat menangkap "jiwa" Pasal 45 itu sehingga KPU dapat merumuskan peraturan KPU yang dapat diterima semua pihak.

Akibat kedua yang dapat terjadi karena ancaman kedua pasal tersebut adalah kualitas pemilu dapat mengalami degradasi. Salah satu faktor yang dapat menjamin pemilu berkualitas—yaitu pemilu demokratik—adalah UU Pemilu (electoral law). UU Pemilu akan dapat menghasilkan pemilu demokratik apabila dipenuhi dua syarat, yaitu UU Pemilu harus dirumuskan berdasarkan empat prinsip demokratis dan menjamin kepastian hukum. Empat prinsip demokrasi yang harus dijabarkan dalam UU Pemilu adalah asas-asas Pemilu Demokratik (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, serta diselenggarakan secara periodik), asas-asas Pemilu Berintegritas (transparan, akuntabel, akurasi, dan jujur), berbagai hak yang menyangkut pemilu (electoral right principles), dan keadilan pemilu (electoral justice).

Yang dimaksud dengan UU Pemilu yang menjamin kepastian hukum adalah UU Pemilu yang mengatur semua aspek pemilu (tidak mengandung kekosongan hukum), semua ketentuan pemilu konsisten satu sama lain (tidak mengandung ketentuan yang bertentangan satu sama lain), semua ketentuan mempunyai pengertian yang jelas dan tunggal (tidak mengandung ketentuan yang multitafsir), semua ketentuan dapat dijalankan secara operasional (tidak mengandung ketentuan yang tak dapat dilaksanakan). Tata kelola pemilu (electoral governance) terdiri dari empat aspek, yaitu hukum pemilu, proses penyelenggaraan pemilu, penyelenggara pemilu, serta sistem penegakan hukum dan penyelesaian sengketa pemilu.

Karena muatan hukum pemilu sebagaimana dimaksud di atas, maka dari keempat aspek, hukum pemilu merupakan aspek yang paling penting karena ketiga aspek tata kelola pemilu lainnya diatur dalam hukum pemilu. Apakah proses penyelenggaraan pemilu akan demokratis ataukah otoriter tergantung pertama-tama pada hukum pemilu. Apakah penyelenggara pemilu akan mandiri dan profesional ataukah tidak ditentukan dalam hukum pemilu. Dan apakah penegakan hukum dan penyelesaian sengketa pemilu akan adil dan tepat waktu ataukah tidak pertama-tama ditentukan dalam hukum pemilu.

Yang menjadi pertanyaan, apakah UU Pemilu selama ini sudah memenuhi kedua persyaratan ini? Semua UU Pemilu pasca- Orde Baru, yaitu UU No 2 Tahun 1999 untuk Pemilu 1999, UU No 12 Tahun 2003 untuk Pemilu 2004, UU No 10 Tahun 2008 untuk Pemilu 2009, dan UU No 8 Tahun 2012 untuk Pemilu 2014, belum ada yang sepenuhnya memenuhi kedua persyaratan. Setidak-tidaknya keempat UU Pemilu itu tak mampu menjamin kepastian hukum walaupun dengan derajat berbeda. UU yang paling buruk dari segi kepastian hukum adalah UU No 10 Tahun 2008, disusul UU No 2 Tahun 1999. Jika demikian, mengapa pemilu tetap dapat diselenggarakan walaupun dengan derajat kualitas berbeda? Salah satu faktor pendukungnya adalah KPU yang mampu "memperbaiki" kelemahan dalam kepastian hukum ini.

Peraturan KPU yang memperbaiki

Berikut sejumlah contoh peraturan KPU yang "memperbaiki" UU Pemilu sehingga pemilu dapat diselenggarakan berdasarkan prosedur dan aturan main yang jelas tetapi adil. Pertama, Pasal 45 UU No 12 Tahun 2003 mengenai alokasi kursi DPR kepada provinsi yang multitafsir (dua atau lebih penafsiran di Komisi II DPR, dua atau lebih penafsiran di antara ahli pemilu, dua atau lebih penafsiran di antara LSM pemilu) disederhanakan oleh KPU periode 2001-2007 untuk Pemilu 2004.

Tafsiran yang digunakan KPU tersebut belum ideal, tetapi mungkin penafsiran yang paling adil di antara begitu banyak tafsiran. Hasil alokasi kursi itu masih dipertahankan sampai kini (digunakan untuk Pemilu 2004, Pemilu 2009, dan Pemilu 2014). Namun terdapat satu aspek dari alokasi kursi DPR yang ditolak beberapa partai besar, yaitu jumlah kursi untuk provinsi yang mengalami pemekaran. Yang diterapkan KPU pada Pemilu 2004 adalah mengurangi sekurang-kurangnya tiga kursi dari provinsi induk untuk provinsi baru sesuai dengan jumlah penduduk provinsi baru hasil pemekaran. DPR dan pemerintah kemudian mengambil alih kewenangan alokasi kursi DPR kepada provinsi. Pada Pemilu 2009, DPR kemudian menetapkan jumlah kursi bagi provinsi induk tidak berubah walaupun satu dapil (beberapa kabupaten/kota) dari provinsi tersebut telah dikeluarkan menjadi wilayah dan penduduk provinsi baru.

Hasilnya, kita mewarisi suatu sistem alokasi kursi yang sangat tidak adil (sejumlah provinsi yang over representedalias memperoleh kursi berlebihan jika dibandingkan jumlah penduduknya).

Kedua, UU No 12 Tahun 2003 sama sekali tak mengatur prinsip pembentukan dapil (terutama jika melakukan penggabungan beberapa wilayah kabupaten/kota atau kecamatan). KPU periode 2001-2007 melengkapi UU ini sehingga kita memiliki Dapil DPR (juga Dapil DPRD Provinsi dan Dapil DPRD Kabupaten/Kota) seperti sekarang. Ketika DPR menetapkan empat dapil tambahan DPR, karena terjadi penambahan 10 kursi DPR menjadi 560 untuk Pemilu 2009, terciptalah dapil yang tiada duanya di dunia. Dua dari empat dapil tambahan itu merupakan penggabungan beberapa kabupaten/kota yang melanggar prinsip pembentukan dapil yang baik (dapil harus merupakan suatu kesatuan wilayah): Kota Bogor digabung dengan Kabupaten Cianjur menjadi suatu dapil tetapi melompati sebagian wilayah Kabupaten Bogor (Jawa Barat), dan Kota Banjar digabung dengan Kota Banjarmasin tetapi melompati sebagian wilayah Kabupaten Banjar (Kalimantan Selatan).

Terakhir, upaya KPU 2012-2017 (sekarang) melengkapi ketentuan tentang peningkatan keterwakilan perempuan di DPR dan DPRD. UU No 12 Tahun 2003 hanya mengimbau parpol memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen. UU No 10 Tahun 2008 mewajibkan parpol mengajukan sekurang-kurangnya 30 persen perempuan dan sekurangnya seorang perempuan untuk setiap tiga calon di setiap dapil tanpa sanksi bagi partai yang tak menaati. UU No 8 Tahun 2012 mengulangi ketentuan dengan rumusan sama dengan UU sebelumnya juga tanpa sanksi. Namun, rumusan penjelasan tentang ketentuan sekurangnya satu perempuan untuk setiap tiga calon menimbulkan pesan berbeda.

Dalam rumusan pasal untuk dapil dengan enam kursi, perempuan dapat mengisi dua nama calon tetapi dalam penjelasan perempuan hanya dapat mengisi satu nama calon, berapa pun jumlah kursi dapil. Atas usul dan desakan dari berbagai ormas sipil dan akademisi, KPU kemudian membentuk peraturan KPU yang berisi dua perbaikan: (a) sanksi bagi partai yang tak menaati ketentuan berupa larangan mengajukan daftar calon di dapil tempat partai tak menaati ketentuan itu, (b) mempertegas ketentuan yang menjamin perempuan dapat mengisi sekurangnya satu calon dari setiap tiga calon (daftar calon tetap suatu dapil dengan enam kursi dapat saja ditempati seluruhnya oleh perempuan). Saat konsultasi dengan Komisi II DPR, semua fraksi menolak sanksi tersebut dan meminta KPU menghapusnya. Tak jelas alasan penolakan ini, apakah karena KPU dinilai tak punya kewenangan membuat ketentuan sanksi ataukah keberatan atas sanksi diskualifikasi ini. KPU tetap menetapkan ketentuan sanksi tersebut.

KPU membuat ketentuan tersebut bukan tanpa alasan. Pertama, penerapan secara bertahap agar partai punya kesempatan mempersiapkan: imbauan pada 2004, kewajiban tanpa sanksi pada 2009 dan seharusnya kewajiban dengan sanksi pada 2014, dan sanksi yang ditetapkan KPU tak datang dari kepentingan partisan para anggota KPU tetapi konsekuensi logis dari kewajiban yang ditetapkan dalam UU. Lagi pula untuk apa membuat kewajiban jika tak disertai sanksi bagi yang tak menaatinya. Namun karena parpol tetap tak dapat menerima ketentuan sanksi itu, dalam Perubahan Kedua atas UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, DPR secara diam-diam (tanpa dijadikan tema pembahasan) membuat rumusan Pasal 9 Huruf a dan Pasal 22B Huruf a sebagaimana dikemukakan di atas.

Singkat kata, penerapan kedua pasal tersebut tak hanya mengingkari salah satu agenda reformasi dan melanggar Pasal 22E Ayat (5) UUD 1945, tetapi juga menutup kemungkinan KPU memperbaiki UU Pemilu yang tak menjamin kepastian hukum. Disebut menutup kemungkinan karena DPR dan pemerintah mungkin tak setuju atas prakarsa KPU tersebut. Dengan mengemukakan sejumlah contoh (dari banyak contoh) bagaimana KPU memperbaiki UU Pemilu sejak Pemilu 2004 dan karena itu ikut meningkatkan kualitas pemilu, maka keharusan KPU meminta persetujuan DPR dan pemerintah untuk pembuatan peraturan KPU akan menutup kesempatan perbaikan itu. Kecuali jika DPR dan pemerintah sudah begitu yakin bahwa UU Pemilu yang ditetapkan nantinya akan memenuhi kedua persyaratan di atas.

Saya meragukan keyakinan itu tak hanya karena empat UU Pemilu sebelumnya belum memenuhi persyaratan itu, tetapi juga karena DPR terdiri atas berbagai parpol yang syarat kepentingan kekuasaan. Dalam setiap partai terdapat banyak ahli yang dapat menyusun UU yang memenuhi kedua persyaratan itu, tetapi keputusan partai tidak dibuat oleh para ahli, bahkan mungkin tanpa mendengarkan hasil kajian para ahli.

RAMLAN SURBAKTI, GURU BESAR PERBANDINGAN POLITIK, FISIP UNIVERSITAS AIRLANGGA, WAKIL KETUA KPU 2001-2007, DAN ANGGOTA AIPI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Juli 2016, di halaman 6 dengan judul "Persetujuan atas Aturan KPU".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger