Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 29 Juli 2016

‎”Sabda Pandhita Ratu” (DAOED JOESOEF)

Akhirnya terwujud perombakan (reshuffle) Kabinet Kerja Presiden Jokowi yang menjadi gosip politik sejak awal 2016. Dalam komposisinya masih kelihatan wajah lama, ada tampil muka baru, anggota parpol dan tokoh independen yang dianggap berkeahlian spesifik.
HANDINING

Populis orisinal, Andrew Jackson, pernah berujar"any American could fill any office". Lenin pernah mengucap "any cook can run the state"Ucapan ini mengisyaratkan tidak hanya pemenuhan asas demokrasi, tapi juga tuntutan keterampilan demi penyelamatan demokrasi itu. Ia mencerminkan kesimpulan bijak dari Schumpeter, pemimpin mazhab ekonomi Austria abad XIX, bahwa krisis ekonomi bisa diatasi dengan mengadakan "komunikasi baru". Bukankah seorang koki restoran menjadi beken berkat kemampuannya menyajikan menu hasil kombinasi baru dari bahan makanan yang sama.

Setiap anggota kabinet tentu diharapkan oleh presiden punya visi yang sama dan serupa dengan dia karena di Indonesia, presiden adalah sekaligus kepala negara dan kepala pemerintahan, tidak hanya lambang, tetapi juga pelaksana utama misi negeri. Jadi, anggota kabinet yang berasal dari parpol diharapkan berikrar, terbuka atau dalam hati, seperti yang pernah ditandaskan oleh Nehru dan dicontoh Bung Karno, "when my loyalty to my country begins, my loyalty to my party ends".

Bagaimana dengan anggota kabinet non-parpol? Di balik anggapan "tenaga ahli" dia, menurut pembawaan alami kerjanya sebagai menteri, adalah juga politikus. Dia harus turut memberikan political judgements which are not random. Mustahil kalau dia "buta politik". Dia pasti mengemban sesuatu ide politis. Ide tidak pernah tampil sendirian bagai buah mangga atau jeruk, tetapi berkelompok seperti anggur atau duku. Klaster ide tentu mencerminkan keselarasan dan kekerabatan yang menyatakan baik temperamen maupun filosofi politik. Ide-ide politik berklaster; rakyat, terutama yang terpelajar, berklaster secara politis.

Permintaan "petunjuk" atau "arahan" dari para menteri tak terelakkan. Selaku pembantu presiden mereka sadar bahwa keputusan apa pun yang diambil pada akhirnya merupakan tanggung jawab presiden. Namun, baik presiden maupun menteri hendaknya tidak mengartikan istilah "pembantu" sebagai "batur" atau "pesuruh". Presiden harus bangga bahwa susunan kabinetnya terdiri atas warga negara terpelajar yang punya pendapat sendiri. Maka baik sekali jika setiap kebijakan pemerintah, sebelum diputus, dibahas bersama-sama secara komprehensif.

Setiap keputusan bersifat kolektif, hasil musyawarah demi mufakat, mengikat semua dan setiap anggota kabinet. Kalau dalam musyawarah ada perbedaan pendapat, masing-masing tahu dasar perbedaan itu. Kalau pikiran atau nuraninya tetap tidak mungkin menerima, dia pantas keluar dari kabinet. Menjadi intelektual bebas adalah hak asasinya.

Pemerintahan spesialis

Dapat dibayangkan betapa sulitnya seorang presiden memimpin sidang kabinet, apalagi yang paripurna. Kesulitan datang terutama dari kenyataan bahwa tokoh-tokoh terpelajar kita pada umumnya adalah spesialis. Pendidikan formal kita berbentuk piramida, semakin tinggi bertujuan semakin spesialistis. Pengetahuan tentang sesuatu semakin dalam, tetapi pemahaman keterkaitan dengan pengetahuan lain semakin kabur. Kepicikan ini bahkan bisa dan sudah terjadi di bidang pengetahuan pokok yang sama. Pemerintah memang diniscayakan semakin dikelola oleh "spesialis". Progres tentu menuntut aneka spesialisasi. Namun, spesialisasi mengabaikan banyak hal yang diperlukan. Hal ini lama-kelamaan membahayakan progres dan, akhirnya, peradaban.

Maka agar pemerintah berkinerja, presiden kita tak bisa lain harus pula berupa seorang spesialis, tetapi a specialist in the construction of the whole. Kalau NKRI diumpamakan sebuah kapal, tidak sekadar membuat cetak biru kapal, tetapi menetapkan tugas spesifik dari setiap awak kapal. Dia adalah seorang teknosof, teknokrat yang berfilosofi. Bukankah Pancasila dinyatakan sebagai filosofi dasar Negara-Bangsa.

Demi keberhasilan kerjanya, presiden mungkin memerlukan "penasihat" atau "pembisik". Mengenai hal ini, dia harus ekstra hati-hati, berinsting tajam. Dia harus bisa memilih penasihat yang korek dan tidak bakal mengurungnya bagai jalak dalam sangkar emas. Kerja penasihat memang enak, prestisius di mata publik, tetapi sering kali tidak bertanggung jawab. Dia memberi nasihat ABS—"asal Bapak senang". Jarang ada yang berani mengatakan bahwa apa-apa yang dikatakannya itu tidak abadi, tidak berlaku di setiap saat, that this too, shall pass away. Jarang yang ikhlas mengatakan bahwa dia tidak tahu jawaban yang diminta, tetapi tahu persis nama orang lain yang dianggapnya lebih bijak. Nasihat jujur dan korek ini dilakukan oleh para penasihat Firaun, sebagaimana dinarasikan dalam Alkitab, hingga Mesir selamat dari bencana paceklik selama tujuh tahun berturut-turut.

Walaupun kabinet di Indonesia secara konstitusional bersifat presidensial, dalam praktiknya sering direduksi menjadi kabinet parlementer, harus mampu "menghadapi" para wakil rakyat "Yang Mulia". Jakarta politics ternyata berupa suatu profesi yang kompleks, bukan vokasi. Presiden berurusan dengan profesional politik, tidak sedikit di antaranya sudah bercokol di parlemen sebelum dia tampil selaku kepala negara dan kepala pemerintahan, dan ingin tetap berada di situ lama sesudah sang presiden lengser.

Zaman citizen legislator, yaitu masa di mana tugas primer dari legislator berbeda dengan tugas eksekutif, telah berlaku. Niat utama pembentukan fraksi di parlemen adalah bagaimana menjegal pemerintah agar tidak berhasil. Melaluipoliticking, silat lidah alias pokrol bambu, dicari-cari kesalahan agar presiden gagal total. Mereka sibuk mengendus bau fulus proyek-proyek yang ditangani oleh eksekutif. Begitu rupa hingga ada kesan bahwa selain "mahal", politik adalah "kotor", yang sejatinya tidak begitu. Kita pantas bertanya bagaimana dengan cara yang kotor mau menghasilkan kinerja yang anggun? Politika ternyata jauh lebih sulit daripada yang kita pikirkan sesudah membaca buku teksnya.

Perombakan kabinet dan revolusi mental

Konsen utama dan terutama dari tulisan ini bukanlah teori, melainkan kondisi. Memang tak terelakkan, tetapi juga tidak akseptabel bagi masyarakat bahwa ia merupakan arena di mana para parpol bentrok terus-menerus, tidak hanya di antara sesamanya, tetapi lebih-lebih di lingkungannya sendiri. Bagaimana parpol seperti ini berambisi mengatur Negara-Bangsa kalau mengelola ketertiban dirinya sendiri tidak becus, bahkan merengek-rengek minta jatah kursi di kabinet. Justru kasus inilah yang terjadi sekarang berhubung filosofi publik kelihatan memberi angin melalui ekspektasi murahan, sedangkan lembaga-lembaga publik kelihatan tidak peduli pada motivasi egoistis.

Presiden terpilih Joko Widodo telah menggunakan hak prerogatifnya. Dia memutuskan melakukan reshufflekabinet. Sabda pandhita ratu. Memang ada masalah kondisional khas. Kendati batas fisik masih jauh di depan, kita ternyata mandek karena sudah mentok di batas intelektual. Di antara kedua batas itu, membentang ranah luas belum tergarap yang terus diincar oleh mata rakus negeri beriptek maju dengan dalih globalisasi.

Kita perlu kerja ekstra keras dan terarah guna mengatasi masalah kehidupan yang semakin kompleks. Ketika berurusan dengan yang kecil tak terhingga(the infinitely small), manusia sudah mampu menciptakan alat kerja penanganannya, yaitu "mikroskop". Orang lalu sanggup menyelami kedalaman terdalam dari "kehidupan", menemukan jaringan sel, virus, DNA, serta membuat progres dalam biologi dan pengobatan/penyembuhan.

Ketika berhadapan dengan yang besar tak terhingga manusia tahu membuat alat kerjanya, yaitu "teleskop". Dengan ini spirit human melek, mampu melihat keluasan alam semesta (kosmos) yang terus memuai, menapak tilas perjalanan benda-benda langit dan menyiapkan manusia "menguasai" jagat raya.

Ketika manusia bertemu dengan yang kompleks tak terhingga, dia belum sanggup membuat instrumen yang relevan. Yang dimilikinya hanya "otak telanjang", intelegensi dan logika tanpa peralatan untuk menghadapi keluasan dan kompleksitas hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Alat yang belum ada ini disebut "makroskop", ditempa dari kata "makro = besar" dan "skopein = pengamat". Ia adalah instrumen simbolis, disusun dari keseluruhan metode dan teknikalitas yang dicomot dari berbagai disiplin yang berbeda. Ia dianggap sebagai lambang dari suatu cara baru untuk menanggapi, memahami, dan bertindak, perlu dibiasakan melalui berpikir multidisiplin.

Hal ini merupakan masalah pendidikan formal, terutama di level universiter. Ia diperlukan oleh orang-orang yang merasa terpanggil untuk mengambil keputusan di bidang ilmu, politik, pemerintahan, industri, pertanian, hankam, semua hal yang pada pokoknya menyangkut hidup orang banyak. Bahkan kita semua berhubung ada kalanya setiap orang harus membuat pilihan yang menentukan bagi kepentingan pribadinya. Berarti tak ada kursi dalam kabinet bagi "menteri" yang bisanya hanya mengumbar senyum, menggunting pita dalam upacara resmi, dan membaca pidato yang sudah disiapkan staf. Ada tuntutan tambahan bagi siapa pun yang berambisi menjadi menteri. Kalau takut dilebur pasang, ya jangan berumah di tepi pantai.

Reshuffle kabinet secara esensial sama saja dengan mencipta ulang pemerintahan. Pada penciptaan ini kiranya melekat esensi makna dari "revolusi mental", yaitu tidak lagi melakukan sesuatu bagai business as usual. Kita ucapkan selamat bekerja dan semoga sukses!

DAOED JOESOEF, ALUMNUS UNIVERSITE PLURIDISCIPLINAIRES PANTHEON-SORBONNE

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Juli 2016, di halaman 7 dengan judul ""Sabda Pandhita Ratu"".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger