Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 29 Juli 2016

Setelah Perombakan Kabinet (YUNARTO WIJAYA)

Perombakan kabinet jilid II menegaskan persoalan kohesivitas kabinet telah menjadi duri dalam daging dalam pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-Kalla). Ini tecermin dari pesan perdana yang disampaikan Presiden Jokowi kepada tim kerja barunya agar solid, kompak, serta bergotong royong dalam mewujudkan tujuan pembangunan yang sesuai dengan visi-misi presiden-wakil presiden.

Kehendak adanya kabinet yang kohesif mendapat garis bawah yang tebal karena juga diimbuhi dengan peringatan bahwa dalam kabinet kerja tidak ada yang namanya visi-misi menteri. Presiden Jokowi menginginkan para pembantunya bekerja sebagai sebuah tim. Dengan begitu, perombakan kabinet kali ini juga perlu dipahami sebagai upaya Jokowi untuk mengurangi potensi moral hazarddari manuver-manuver individual para menteri.

Kohesivitas kabinet pada tingkatan pertama sudah seharusnya bertumpu pada dialog internal yang deliberatif. Meminjam strategic triangle-nya Moore (Moore dan Sanjeev, 2004), dialog ini mengandaikan adanya public valuetentang kebijakan publik, legitimasi dan basis dukungan, serta kapasitas operasional untuk mencapai hasil yang diharapkan. Terkait ini, ada tiga tantangan yang segera menanti.

Tantangan ke depan

Pertama, visi-misi presiden-wakil presiden (Nawacita dan Trisakti) dapat dimaknai sebagai public value bagi kabinet kerja karena secara politik telah ditetapkan sebagai acuan pembangunan nasional (baca: RPJMN). Kata kunci dan sekaligus representasi dari visi-misi Jokowi-Kalla adalah kemandirian, kedaulatan, dan kepribadian bangsa. Persis di titik inilah permasalahan timbul karena mudah untuk ditafsirkan secara berbeda-beda dan karena itu berpotensi menjadi amunisi untuk mereproduksi (lagi) kegaduhan.

Sebagian kalangan, umpamanya, secara harfiah memahami kemandirian sebagai upaya memenuhi kebutuhan secara mandiri dan dilakukan mulai saat ini juga, apa pun risiko dan biayanya. Termasuk di dalamnya terkadang diimbuhi dengan keniscayaan peran dominan BUMN. Karena itu, setiap kebijakan yang berbau "impor", "PMA", serta "kerja sama pemerintah-swasta dan sejenisnya" langsung mendapat penjulukan sebagai bukti pengingkaran terhadap visi-misi yang telah dijanjikan Jokowi-Kalla.

Sebagian kalangan lain memberi tafsir yang lebih terbuka. Misalnya, memahami kemandirian sebagai ikhtiar membangun daya saing bangsa dan kesejahteraan rakyat. Karena itu, operasionalisasi tindakannya sudah selayaknya terbebas dari egoisme sektoral atau garis ideologi. Juru pandunya, sebagaimana dikatakan Kelly, Mulgan, dan Muers (2002), adalah apa yang menjadi alternatif pilihan terbaik bagi pengguna (baca: masyarakat dan bangsa).

Adanya penjelasan tentang tafsir yang dianut pemerintah memungkinkan berbagai pihak untuk mengetahui dan memahami titik berdiri pemerintah dalam mengarahkan pembangunan nasional. Meski tidak akan bisa memuaskan semua pihak, sekurangnya dapat jadi titik acuan bersama dalam membangun dialog dengan pemangku kepentingan di negeri ini.

Kedua, proses legitimasi dan dukungan politik terhadap pemerintah diyakini saat ini akan lebih kokoh dari sebelumnya. Ini terutama dikaitkan dengan kekuatan koalisi parpol pendukung pemerintah yang kini menjadi mayoritas di DPR setelah Golkar dan PAN mendapat afirmasi kursi di kabinet.

Meski demikian, pemerintahan Jokowi-Kalla tidak boleh terlalu percaya diri secara berlebihan. Pengalaman koalisi besar pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono membuktikan, dukungan itu tak faktual terutama ketika terjadi konflik ekonomi-politik pada aras elite. Kasus Century merupakan contoh terbaiknya.

Lagi pula, Kabinet Kerja saat ini tidak sebangun dengan kekuatan kursi milik parpol-parpol pengusung pemerintah sebagaimana menjadi kelaziman pada sistem parlementer. Justifikasi yang dibangun adalah terkait sejarah parpol: parpol pengusung dan parpol yang ikut belakangan. Justifikasi seperti ini hanya memberi ketenangan sementara waktu. Parpol yang memiliki kursi signifikan di DPR sangat berpeluang menginginkan insentif-insentif yang lain, terlebih jika merasa mendapat "beban" besar untuk mengamankan kebijakan pemerintah dalam proses legislasi.

Golkar, umpamanya, secara eksplisit sudah menyatakan keinginan agar pemerintah membicarakan terlebih dahulu dengan mereka terkait kebijakan-kebijakan strategis yang akan diambil (Kompas, 28/7/2016). Meski permintaan ini wajar dalam langgam berkoalisi, tak pelak ini dapat ditafsirkan berbeda dan berpotensi akan menjadi "penyanderaan" dalam bentuk lain. Pemerintahan SBY pernah mencoba dengan menghadirkan solusi dalam bentuk lembaga semacam sekretariat gabungan (setgab) dan terbukti gagal. Dengan kata lain, tarik-menarik koalisi ala parlementer dan dorongan ingin memperkuat pemerintahan presidensial berpotensi jadi tantangan yang tak ringan.

Ketiga, kapasitas operasional yang dibutuhkan untuk mewujudkan tujuan pembangunan sekurangnya bertumpu pada dua hal: pelaku dan regulasi. Dari sisi pelaku, pergantian dan pergeseran dalam perombakan kabinet jilid II relatif lebih memberi keyakinan. Meski memperhatikan faktor representasi politik, pilihan figurnya lebih mengarah pada individu-individu yang punya rekam jejak secara profesional alih-alih politisi karier.

Tantangannya kemudian adalah menata ulang regulasi agar kerja yang cepat sebagaimana dikehendaki Jokowi realistis untuk dilakukan. Pengalaman telah menunjukkan, kerja pemerintah banyak terbelenggu beragam aturan birokrasi yang menyebabkan implementasi program atau inovasi dalam pembangunan jadi sulit dilaksanakan.

Penataan regulasi ini terutama diarahkan untuk mengoherensikan dan atau menertibkan aturan-aturan yang selama ini kuat semangat sektoralnya dan karena itu juga kerap tumpang tindih atau bertentangan satu sama lain. Penataan aturan ini tentu saja juga harus dimaksudkan sebagai upaya memperkuat tata kelola pemerintahan dan bukan untuk memudahkan patgulipat dilakukan.

Sabuk pengaman

Perombakan kabinet jilid II dimaksudkan untuk mendongkrak kinerja pemerintah. Dalam sistem presidensial setengah hati seperti sekarang ini, kinerja pemerintah dipengaruhi dua hal: bagaimana eksekutif menjalankan peran dan fungsinya, serta bagaimana legislator dari parpol pengusung pemerintah berperan meloloskan regulasi yang dibutuhkan pemerintah untuk menjalankan program- programnya.

Kinerja eksekutif dipengaruhi motivasi dan juga preferensi terhadap kebijakan. Pihak eksekutif (baca: menteri) dapat saja tidak sepenuh hati menjalankan tugas dan atau mempunyai agenda sendiri. Semakin besar jarak preferensi antara kebijakan yang ia inginkan dengan apa yang diputuskan akan menentukan bagaimana sebuah program pemerintah dilaksanakan. Untuk menteri dari kalangan parpol, ini juga terkait dengan platform partainya. Dinamika ini perlu dikelola agar jadi energi positif alih-alih jadi beban bagi kerja pemerintah secara keseluruhan.

Kinerja legislator berpulang pada ada-tidaknya kedisiplinan parpol pengusung pemerintah dalam berkoalisi. Implikasinya, aturan main berkoalisi harus ditetapkan dengan tidak menggadaikan terwujudnya pemerintahan yang lebih presidensial. Ini bukan persoalan remeh- temeh, terutama mengingat pengalaman pemerintahan sebelumnya. Pemerintahan koalisi selalu ada dalam tekanan untuk retak karena berbagai alasan. Potensi ketidakstabilan seperti ini sudah jauh hari diingatkan oleh Mainwaring (1990) ketika sebuah negara mengombinasikan sistem presidensial dengan sistem multipartai. Selama tak ada keberanian menata ulang hal besar seperti ini, kita akan selalu dihadapkan pada persoalan yang sama dari waktu ke waktu, terutama lagi jika tak ada parpol yang benar-benar mendapat suara mayoritas.

Oleh karena itu, pemerintah sudah selayaknya membuka lebar partisipasi publik dalam aras yang lebih luas, tidak sekadar di tahapan akhir (baca: di aras pengawasan publik). Sangat disayangkan jika masih ada pemahaman bahwa partisipasi publik akan membuat pemerintah jadi lamban. Padahal, jika dikelola dengan tepat, partisipasi publik justru akan memberi basis legitimasi yang lebih kuat sekaligus mempercepat kerja pemerintah. Lebih dari itu, partisipasi publik merupakan sabuk pengaman yang paling konkret untuk mengatasi tekanan parpol yang tidak disiplin dalam berkoalisi.

YUNARTO WIJAYA, DIREKTUR EKSEKUTIF CHARTA POLITIKA INDONESIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Juli 2016, di halaman 6 dengan judul "Setelah Perombakan Kabinet".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger